Dimuat di Harian Palembang Ekspres, 10 Juli 2017 |
Membumikan
sastra di Tanah Sriwijaya adalah sebuah tantangan. Konon katanya, masyarakat
kita sejak dahulu memang tercipta sebagai manusia pedagang. Jiwa berniaga yang
telah mendarah daging itu, seolah menjadi pemakluman bilamana hasrat bersastra
di kalangan masyarakat agak kurang.
Menjadikan
masyarakat menyukai sastra adalah upaya perjuangan ekstra. Untuk itu, berbagai acara diadakan guna
memanjakan para pengukir kata mulai dari workshop penulisan hingga kompetisi
mencipta. Lalu berlomba-lombalah para penyuka sastra mengikuti kegiatan adu
mumpuni itu—dari satu lomba ke lomba berikutnya—dari satu daerah ke daerah
lainnya. Ada satu hal yang sama. Mirisnya, jumlah pesertanya tak cukup membuat
hati bangga. Bilangannya hitungan jari kuku dan kaki. Hal lainnya, ternyata
pesertanya memiliki kesamaan rupa. Maksud saya, orang itu-itu saja. Kalaupun
bertambah hanya beberapa saja.
Tengok
pula keberadaannya di media massa. Beberapa surat kabar telah menyediakan
rubrik budaya sebagai penyalur kemampuan bersastra puisi ataupun cerita. Lalu
telisiklah lamat-lamat setiap nama yang terukir di halamannya. Hitunglah berapa
jumlah penulis asli kelahiran Sriwijaya yang karyanya termuat di sana. Beberapa
saja, pastinya! Sisanya? Penulis daerah tetangga.
Mari
beralih pula pada penjualan buku sastra. Di toko-toko buku, sastra sepertinya
masih sepi pembeli. Maka tak heran jika di pojokan hanya tersedia buku sastra
dalam jumlah tidak lengkap. Nasib sama juga menimpa perpustakaan daerah.
Buku-buku sastra hanya menghias tiga atau empat rak saja. Itupun buku-buku
lama. Dan coba susuri berapa banyak pembacanya. Akan kita temui fakta lirih
bahwa pembaca buku sastra hanya belasan atau puluhan saja per harinya. Itu pun
ternyata didominasi para mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra kerana ada tugas
kuliah.
Tertuju
pula pada penguasa. Pemerintah daerah dimanapun berada di Bumi Sriwijaya.
Seberapa besar kontribusi nyata mereka guna membangkitkan geliat sastra?
Sederhana saja—apa dan seberapa besar apresiasi mereka pada para pegiat sastra.
Apakah pernah mereka memberikan penghargaan kepada para sastrawan? Jangankan
uang pembinaan, piagam selembar pun tak ada. Mungkin ada! Tetapi sekali atau
dua kali saja. Bukan program tahunan melainkan program dadakan. Bergantung
selera penguasa.
Masyarakat begitu deru didera
lupa akan aksara. Atmosfir pula bak awan mendung tiada cerah. Jika hendak
dituruti, mungkinlah tak akan ada geliat sastra di Bumi Sriwijaya. Jangan
sampai hal itu terjadi. Mari berubah!
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!