Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Thursday 22 October 2020

Mondok: Cerminan Pemikiran dari Sudut Pandang Orang "Modern"

 

MONDOK:

CERMINAN PEMIKIRAN DARI SUDUT PANDANG ORANG “MODERN”

 

Banyak ragam perspektif pemikiran yang mendasari para orang tua tentang mengapa memasukkan anaknya mondok di pesantren. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, ternyata bagi kebanyakan orang “modern” momondokkan anak ke pesantren masih menjadi pilihan terakhir manakala mereka sudah menemui jalan buntu untuk mengatasi kenakalan anaknya. Pondok pesantren dianggap hanya sebagai tempat pelarian untuk mengatasi ketidakberdayaan orang tua dalam mendidik anaknya. Hal itu terekam dengan apik dalam film “Mondok” yang disutradarai oleh Dedi Setiadi. Film tersebut menceritakan seorang anak bernama Reyhan dengan kenakalan luar biasa. Karena kenakalannya itu, Reyhan dikeluarkan dari sekolah umum dan tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya. Pada akhirnya orang tua Reyhan memutuskan untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan harapan agar kelakuan anaknya tersebut berubah.

Film Mondok juga menggambarkan bagaimana perspektif pemikiran orang “modern” yang menganggap pondok pesantren masih sebagai tempat pendidikan yang terbelakang dan kurang maju. Pondok pesantren masih dianggap hanya sebagai tempat untuk menempa anak menjadi fanatik terhadap agama dan meninggalkan dunia. Pemikiran seperti itu acap ditemui di tengah masyarakat kita utamanya bagi mereka dengan latar belakang ilmu agama yang masih kurang. Hal tersebut tergambar jelas dalam salah satu adegan di mana Ibu Reyhan merasa bimbang memasukkan anaknya ke pesantren karena takut anaknya menjadi teroris karena terlalu fanatik dengan agama.

Namun sangat disayangkan, beberapa adegan dalam film Mondok ternyata masih menunjukkan inkonsistensi karakter. Orang tua Reyhan digambarkan sebagai sosok yang memiliki status sosial tinggi, kaya, dan berpikiran maju atau modern. Akan tetapi, karakter tersebut justru menjadi bias (inkonsisten) sebagaimana terlihat pada adegan saat orang tua Reyhan mencari informasi mengenai pondok pesentren. Orang tua Reyhan berkeliling ke seluruh penjuru tempat dan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya mengenai pesantren mana saja yang mengajarkan musik kepada santrinya. Kelakuan orang tua Reyhan dalam film tersebut alih-alih mendukung karakter modern, justru menggambarkan kekolotan. Orang dengan pendidikan tinggi dan berpikiran modern tentu tidak akan mungkin memiliki kelakuan “udik” dalam hal mencari informasi mengenai profil sekolah (pesantren). Cukup dengan memanfaatkan teknologi (internet), segala informasi mengenai apapun dapat diakses dengan mudah dan cepat.

Inkonsistensi berikutnya ditunjukkan pada adegan saat orang tua Reyhan terkejut bahwa di pesantren, anaknya tersebut diharuskan salat Tahajud dan melakukan aktivitas mandiri lainnya, seperti mencuci piring dan baju. Mengapa bisa terkejut? Karena orang tua Reyhan tidak mengetahui aktivitas di pesantren tempat anaknya mondok. Mengapa mereka bisa tidak tahu? Bukankah sebagai orang yang “modern” dengan pendidikan tinggi, seharusnya segala informasi berkaitan dengan tempat pendidikan anak sudah diketahui sejak awal pendaftaran. Orang “modern” tentu akan bertanya sedetil mungkin mengenai segala fasilitas, termasuk aktivitas harian di pondok pesantren tersebut apalagi jika menyangkut masa depan pendidikan anaknya.

Terlepas dari inkonsistensi tersebut, film Mondok patut diapresiasi karena memberikan pelajaran bagi kita (orang tua) bahwasanya anggapan mendidik anak secara “Modern” berarti memberikan kebebasan tanpa batas untuk melakukan apa saja kepada anaknya—itu adalah pemikiran yang salah. Orang tua harus mengajarkan dengan jelas nilai-nilai kebaikan sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi dengan moral atau akhlak yang baik.

Thursday 15 October 2020

TANAH HARAPAN TANAH CITA-CITA

 

Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fberitadiy.pikiran-rakyat.com%2Fentertainment%2Fpr-70716238%2Fsinopsis-dan-trailer-film-tanah-cita-cita-pendidikan-yang-out-of-the-box-di-bima-ntb&psig=AOvVaw3mvCGocENxJZYX7k3cCROj&ust=1602859254580000&source=images&cd=vfe&ved=2ahUKEwiNzZyV6rbsAhWABrcAHYy4A7cQr4kDegUIARCMAQ
(Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fberitadiy.pikiran-rakyat.com%)

TANAH HARAPAN TANAH CITA-CITA
(Alamsari)

Perubahan untuk menggapai masa depan dan asa. Itulah yang ingin disampaikan dalam film Tanah Cita-Cita. Film yang disutradarai Anton Mabruri (2016) menceritakan seorang kepala sekolah (Rayhan) di sebuah SD yang menginginkan perubahan di dalam metode pembelajaran. Siswa tidak harus belajar di kelas, tetapi mereka bisa belajar di mana saja. Menurut Rayhan metode pembelajaran konvensional  hanya membuat siswa jemu belajar sehingga tidak akan meningkatkan mutu pendidikan.

Perubahan yang dilakukan Rayhan mendapat banyak pertentangan. Dari kalangan internal—Adalah Asta Cita, seorang guru muda yang baru datang dari kota. Pada awal kedatangannya, Ibu Cita begitu kaget dengan kondisi sekolah, di mana anak-anak diberikan kebebasan dalam belajar. Ibu Cita berulang kali protes kepada Rayhan karena menurutnya metode pembelajaran seperti itu hanya membuat siswa menjadi tidak disiplin. Sebagai pemimpin, Rayhan berusaha menjelaskan dengan sabar. Tidak hanya itu, ia juga mempraktikan langsung metodenya itu. Rayhan meminta Ibu Cita mengikutinya bersama anak-anak untuk belajar di hutan, pantai, atau kebun. Di sana, Rayhan memberi materi pelajaran melalui cara yang menarik, misalnya meminta anak mengumpulkan dedaunan untuk menjelaskan mengenai klorofil atau mengajak anak membakar jagung sambil belajar sejarah. Seiring waktu, Ibu Cita akhirnya memberikan dukungan penuh kepada Rayhan karena menurutnya metode itu berhasil membawa perubahan.

Film Tanah Cita-Cita sebenarnya semakin menarik dengan adanya alur benturan budaya. Pacoa jara adalah tradisi unik sekaligus menjadi lambang martabat diri masyarakat Bima. Budaya pacoa jara dalam film Tanah Cita-Cita diwujudkan melalui sosok anak lelaki bernama Bima. Suatu waktu ketika Rayhan mengajak siswa belajar di hutan, Bima terjatuh dan kakinya terluka. Ayah Bima (Zainal) marah besar kepada Rayhan karena akibat kaki anaknya yang terluka itu, Bima tidak bisa latihan pacoa jara. Kemarahan Zainal kepada Rayhan semakin menjadi-jadi manakala termakan hasutan Nasrudin (Pak Kades). Nasrudin yang sejak awal sudah membenci Rayhan—menghasut Zainal dan orang tua siswa lainnya agar melakukan protes kepada Rayhan. Kebencian Nasrudin bermula dari gosip yang tersebar di desa bahwa Rayhan akan mencalonkan diri menjadi kades. Nasrudin tidak ingin Rayhan menjadi saingannya.

Namun sayang, benturan antara gagasan Rayhan dengan budaya setempat (pacoa jara) belum mampu digarap dengan baik. Akibatnya, banturan budaya tersebut hanya sekadar menjadi pemanis alur cerita. Ide sentral “perubahan” yang ingin ditunjukan dalam film ini, menjadi hambar dan antiklimaks. Padahal jika benturan budaya tersebut ditonjolkan sejak awal cerita, tentu film ini akan menjadi sangat menarik.

Kehambaran ide “perubahan” juga terlihat dalam salah satu adegan, dimana pada puncaknya Rayhan didatangi warga untuk dimintai pertanggungjawaban terkait ide apa yang ia terapkan di sekolah. “Saya ingin melahirkan inovasi baru. Sekolah sebagai taman belajar. Siswa datang dengan senang, belajar dengan riang, dan meninggalkan sekolah dengan berat hati.” Akan tetapi, pemikiran yang dilontarkan Rayhan dalam cerita tersebut harusnya belum mampu memantik konflik diantara keduanya. Mengapa? Karena ide briliant yang disampaikan dalam cerita tersebut pada prinsipnya hanyalah ide biasa. Ide tersebut adalah lumrah dan banyak ditemui di berbagai sekolah sehingga ide tersebut bukanlah masalah besar yang harus mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Terlepas dari kehambaran ide cerita, Film Tanah Cita-Cita menyisipkan pesan moral bahwasnya Tanah Indonesia adalah tanah cita-cita bagi siapa saja yang ingin mewujudkannya.