MONDOK:
CERMINAN PEMIKIRAN DARI SUDUT PANDANG ORANG “MODERN”
Banyak ragam perspektif pemikiran yang
mendasari para orang tua tentang mengapa memasukkan anaknya mondok di
pesantren. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia,
ternyata bagi kebanyakan orang “modern” momondokkan anak ke pesantren masih
menjadi pilihan terakhir manakala mereka sudah menemui jalan buntu untuk
mengatasi kenakalan anaknya. Pondok pesantren dianggap hanya sebagai tempat
pelarian untuk mengatasi ketidakberdayaan orang tua dalam mendidik anaknya. Hal
itu terekam dengan apik dalam film “Mondok” yang disutradarai oleh Dedi
Setiadi. Film tersebut menceritakan seorang anak bernama Reyhan dengan
kenakalan luar biasa. Karena kenakalannya itu, Reyhan dikeluarkan dari sekolah umum
dan tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya. Pada akhirnya orang tua Reyhan
memutuskan untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan harapan agar kelakuan
anaknya tersebut berubah.
Film Mondok juga menggambarkan bagaimana
perspektif pemikiran orang “modern” yang menganggap pondok pesantren masih
sebagai tempat pendidikan yang terbelakang dan kurang maju. Pondok pesantren
masih dianggap hanya sebagai tempat untuk menempa anak menjadi fanatik terhadap
agama dan meninggalkan dunia. Pemikiran seperti itu acap ditemui di tengah
masyarakat kita utamanya bagi mereka dengan latar belakang ilmu agama yang
masih kurang. Hal tersebut tergambar jelas dalam salah satu adegan di mana Ibu Reyhan
merasa bimbang memasukkan anaknya ke pesantren karena takut anaknya menjadi
teroris karena terlalu fanatik dengan agama.
Namun sangat disayangkan, beberapa
adegan dalam film Mondok ternyata masih menunjukkan inkonsistensi karakter. Orang
tua Reyhan digambarkan sebagai sosok yang memiliki status sosial tinggi, kaya,
dan berpikiran maju atau modern. Akan tetapi, karakter tersebut justru menjadi
bias (inkonsisten) sebagaimana terlihat pada adegan saat orang tua Reyhan
mencari informasi mengenai pondok pesentren. Orang tua Reyhan berkeliling ke
seluruh penjuru tempat dan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya
mengenai pesantren mana saja yang mengajarkan musik kepada santrinya. Kelakuan
orang tua Reyhan dalam film tersebut alih-alih mendukung karakter modern,
justru menggambarkan kekolotan. Orang dengan pendidikan tinggi dan berpikiran
modern tentu tidak akan mungkin memiliki kelakuan “udik” dalam hal mencari
informasi mengenai profil sekolah (pesantren). Cukup dengan memanfaatkan teknologi
(internet), segala informasi mengenai apapun dapat diakses dengan mudah dan
cepat.
Inkonsistensi berikutnya ditunjukkan
pada adegan saat orang tua Reyhan terkejut bahwa di pesantren, anaknya tersebut
diharuskan salat Tahajud dan melakukan aktivitas mandiri lainnya, seperti
mencuci piring dan baju. Mengapa bisa terkejut? Karena orang tua Reyhan tidak
mengetahui aktivitas di pesantren tempat anaknya mondok. Mengapa mereka bisa
tidak tahu? Bukankah sebagai orang yang “modern” dengan pendidikan tinggi,
seharusnya segala informasi berkaitan dengan tempat pendidikan anak sudah
diketahui sejak awal pendaftaran. Orang “modern” tentu akan bertanya sedetil
mungkin mengenai segala fasilitas, termasuk aktivitas harian di pondok
pesantren tersebut apalagi jika menyangkut masa depan pendidikan anaknya.
Terlepas dari inkonsistensi tersebut, film Mondok patut diapresiasi karena memberikan pelajaran bagi kita (orang tua) bahwasanya anggapan mendidik anak secara “Modern” berarti memberikan kebebasan tanpa batas untuk melakukan apa saja kepada anaknya—itu adalah pemikiran yang salah. Orang tua harus mengajarkan dengan jelas nilai-nilai kebaikan sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi dengan moral atau akhlak yang baik.