Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Tuesday 24 August 2021

Mengembangkan Bakat Anak

 

 

“Di usianya yang masih muda, anakku menjadi juara satu. Dia mengikuti lomba membaca puisi yang diadakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuasin. Setiap tahun, acara serupa selalu diadakan dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.”

 

Bakat anakku dalam membaca puisi sudah terlihat sejak dini. Ketika itu aku sedang membaca buku kumpulan puisi karya Taufik Ismail. Iseng kuberikan buku itu ke anakku yang masih berusia enam tahun. Kuminta dia membacakan satu puisi. Anakku membacakannya dengan variasi intonasi yang menurutku cukup baik. Padahal dia baru sekali membaca puisi yang cukup rumit itu. Beberapa waktu kemudian, kuminta dia membacakan puisi lainnya. Anakku menunjukkan kemampuan yang sama seperti sebelumnya. Sejak itulah, aku berpikir mungkin ini adalah bakat terpendam anakku yang harus dikembangkan.

Sejak usia tiga tahun saat anakku sudah bisa berbicara—aku selalu mengajaknya membuat puisi bersama. Ketika melihat bunga, menatap rembulan, atau merasakan desir angin—aku membuatkannya puisi lalu memintanya untuk mengulangi kembali. Mungkin karena itulah anakku menjadi terbiasa dengan puisi.

Di usia tujuh tahun, iseng aku menyuruh anakku menulis puisi yang mendeskripsikan objek sederhana. Ketika aku membacanya, aku takjub dengan kemampuannya menulis puisi itu. Menurutku hasil karyanya cukup bagus karena aku tahu tidak setiap anak seusianya bisa menulis puisi. Anak di jenjang SMP saja terkadang masih belum bisa membuat puisi. Untuk itulah aku berupaya mengembangkan bakat puisinya itu.

Suatu hari wali kelas menghubungiku untuk menyuruh anakku mewakili sekolah dalam lomba membaca puisi. Aku menyambut maksud tersebut dengan rasa bahagia. Tidak setiap anak bisa beruntung mewakili sekolah dalam ajang lomba. Segera saja kuminta anakku menulis puisi dengan tema lingkungan. Selanjutnya puisi itu kami sunting bersama.

Esoknya kuminta anakku berlatih membaca puisi. Dia pun berlatih seharian. Lalu kami memulai rekaman. Hasil rekaman tersebut kuserahkan kepada pihak sekolah untuk selanjutnya dikirimkan ke panitia lomba. Aku tidak memikirkan menang atau kalah. Hal yang terpenting adalah memberikan kesempatan baginya untuk berpartisipasi menunjukkan bakatnya.

Satu bulan menunggu. Tiba-tiba pesan whatsapp masuk. Wali kelas mengabarkan berita gembira. Anakku berhasil menjadi juara satu untuk jenjang sekolah dasar. Di usianya yang baru 8 tahun, anakku berhasil mengalahkan peserta lain yang berusia jauh di atasnya. Prestasi yang sangat membanggakan.

   

 

Tuesday 18 May 2021

Masihkah Kamu Mau Mubazir?

 Masihkah Kamu Mau Mubazir?

(Alamsari)

 

Dokumen Pribadi

Masih ingat nestapa kehidupan dulu. Saya dibesarkan dalam keluarga dengan kondisi ekonomi lemah. Orang tua tidak berpunya. Untuk makan saja susah. Tidak jarang, Emak harus berutang ke warung. Makan sekali sehari sudah biasa bagi kami. Hanya makan nasi, ditaburi gula atau garam. Sesekali pakai kerupuk atau kemplang.

Pernah tetangga depan rumah mengadakan sedekah. Saya memanjat jendela, mengintip dari celah-celah—berdoa semoga Emak pulang membawa ayam. Saya sangat ingin memakannya. Bagi kami, ayam adalah makanan mewah. Suatu ketika saya melihat ada ayam di tanah. Saya mengambil ayam itu, mencuci lalu menyantapnya. Tidak hanya ayam, saya juga pernah makan pempek, bahkan buah pisang yang sudah dibuang ke tanah.

Saat libur sekolah, saya bersama kakak pergi ke rumah Uwak. Di sana, kami mengais sampah di TPA. Tidak hanya kami—ada banyak orang yang mencari rezeki di tumpukan sampah yang menggunung itu. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika kami mendapati banyak makanan sisa yang masih layak makan. Ada roti, macroni, ciki, coklat, serta banyak makanan lain yang belum pernah kami cicipi. Pernah, saya mengalami keracunan akibat makan coklat yang ditemukan di tempat pembuangan sampah. Keringat mengucur dan perut serasa mual. Untung saja, setelah muntah badan saya agak baikan.

Cerita saya adalah sekelumit dari banyak kisah sedih di luar sana. Di banyak tempat, jamak terlihat orang yang rela mengais makanan di sampah—untuk bertahan hidup. Miris memang! Di saat masih banyak yang kelaparan—sebagian besar orang justru “berhura-hura”. Mereka dapat makan apa saja—kalau kenyang tinggal buang ke sampah. Seolah membuta—tidak peka dengan bunyi keroncongan dari perut-perut tubuh ceking di antara kita.

 

Masalah Sampah Makanan di Indonesia

Sampah makanan menjadi masalah pelik bagi kita. Tahukah kamu, setiap tahun terdapat 13 juta ton sampah makanan di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 500 kali berat monas; setara dengan jumlah makanan untuk 28 juta orang; dan setara dengan nominal 27 triliun rupiah. Coba bayangkan! Jumlah yang sangat besar bukan? Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi peringkat kedua negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia, setelah Arab Saudi.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2018—rumah tangga menjadi penyumbang sampah terbesar, yakni sebesar 62%; pasar traditional 13%; pusat perniagaan 7%; kantor 5%; fasilitas publik 3%; dan sisanya 6% berasal dari sumber lainnya. Penelitian mengenai sampah makanan juga pernah dilakukan oleh Wulansari, dkk. Mereka melakukan penelitian terkait sampah makanan dari warung makan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Dari hasil penelitiannya, didapatkan bahwa dalam satu tahun warung makan di Kabupaten Bogor menghasilkan sekitar 6.383 ton sampah makanan. Sekitar 70% sampah makanan tersebut didominasi oleh nasi sisa.

Di Indonesia—sampah makanan memang belum menjadi isu penting. Masih dianggap remeh sebagai hal sepele. Siapapun dapat menyantap makanan apapun yang mereka sukai. Mereka bebas makan sekenyang-kenyangnya. Namun, satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan—andaikan makanan tersebut tidak habis, jangan pernah dibuang. Membuang makanan adalah perbuatan yang tidak mencerminkan karakter Pancasila. Tengoklah di sekitar kita—masih banyak orang miskin yang kelaparan. Bagi mereka, makanan adalah hal yang mewah. Sebagai manusia, harusnya kita memiliki empati kepada sesama. Menempatkan diri pada posisi mereka yang di bawah. Munculkan hati nurani. Jangan jadikan makananmu menjadi sia-sia.

Gaya Hidup Minim Sampah Makanan

Perilaku membuang sampah makanan (food waste behaviour) memang menjadi masalah serius bagi kita. Kesadaran akan pentingnya makanan bagi kehidupan masih sangat rendah. Bagi sebagian besar orang—makanan masih dianggap sebagai menu pemenuhan kebutuhan perut—tidak banyak yang memahami bahwa di balik hal tersebut terdapat esensi nilai atau norma yang patut dijunjung. Nilai atau norma tersebut berkaitan dengan etika atau tanggung jawab bahwasanya apapun makanan yang dimakan harus dapat dipertanggungjawabkan.  

Ketika saya kecil, Emak selalu berkata “Habiskan nasimu. Jangan dibuang. Nanti dia akan menangis.” Waktu itu saya hanya bertanya dalam hati, apakah benar nasi bisa menangis? Apakah ini hanya sebuah dongeng? Saya belum paham maksud dari perkataan Emak. Seiring waktu—barulah saya pahami bahwa apa yang Emak ucapkan dulu memiliki maksud mulia. Habiskan makananmu atau jangan dimakan sama sekali sebab ada banyak orang yang kelaparan di luar sana.

Perilaku membuang sampah makanan memang tidak sesuai dengan prinsip dasar kemanusiaan. Sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari hal tersebut. Selain disebabkan oleh faktor lingkungan (sosiokultural)—perilaku membuang sampah juga erat kaitannya dengan kurangnya edukasi terhadap manfaat dan dampak sampah makanan tersebut. Untuk itu penting bagi kita menjadikan isu sampah makanan sebagai bagian sentral dalam kehidupan. Setiap individu wajib berpartisipasi aktif dalam mengurangi sampah makanan untuk kemaslahatan bersama.