Analisis Semiotik pada Kumpulan Fabel-Fabel Politik
Mengusir Matahari Karya Kutowijoyo
1.
Latar Belakang
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu,
untuk dapat memahaminya haruslah dianalisis. Dalam analisis karya sastra harus
diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya
sastra akan dapat dipahami. (Hill dikutip oleh Pradopo, 1995: 108)
Dalam kesusastraan dikenal bermacam-macam
jenis sastra (genre). Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan
drama.. Menurut Basuki
(2004:4) di dalam karya sastra terkandung nilai kehidupan seperti ajaran moral,
tradisi, pedoman hidup, dll. Dengan kata lain karya sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat pada zamannya. Karya sastra dipandang sebagai salah satu hasil
karya yang memuat sumber yang paling otentik dan dapat memberikan informasi
sejarah dan pemikiran yang pernah berkembang pada kurun waktu tertentu (Bafadal,
2005:3).
Nurgiyantoro (1995 : 22-23) membagi unsur yang membangun sebuah
karya sastra (prosa) atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur yang dimaksud, misalnya, peristiwa,
cerita plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau
gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara langsung mempengaruhi bangunan
atau sistem organisme karya sastra.
Karya sastra meupakan hasil kreatifitas
pengarangnya. Sebagai karya sastra, tentunya bahasa yang digunakannya pun
merupakan bahasa yang bersifat konotatif (tersirat) karena banyak digunakan
makna kias dan makna lambang (majas). Kumpulan fabel-fabel politik
Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo merupakan salah satu bentuk dari karya
sastra bergenre prosa. Kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari tersebut
merupakan hasil kreatifitas pengarangnya terhadap peristiwa pada masannya.
Dalam buku tersebut diceritakan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
kekuasaan Orde Baru yang sudah berlangsung selama 32 tahun. Peristiwa-peristiwa
tersebut misalkan peristiwa demonstrasi-demonstrasi mahasiswa, pemerintahan
Presiden Habibi, dan reaksi masyarakat terhadap gelombang reformasi. Semua
peristiwa tersebut dituangkan dalam bentuk cerita berjenis fabel artinya
penokohan dalam cerita tersebut diperankan oleh binatang yang berperan sebagai
manusia dalam menjalankan kehidupan. Fabel adalah cerita tentang kehidupan yang
diperankan oleh binatang. Cerita ini dimaksudkan agar menjadi teladan bagi
kehidupan manusia pada umumnya. Fabel-fabel
yang ditulis dalam rentang waktu dua tahun ini mencoba menyoroti perjalanan
politik bangsa menjelang pemilu 1997. gerakan Reformasi, lengsernya presiden
ke-2 (Soeharto) dan pertentangan politik pada awal pemerintahan presiden ke-3
(Habibie).
Berkaitan dengan hal tersebut, bahasa yang
digunakan dalam cerita fabel tersebut tentunya merupakan bahasa konotasi. Artinya,
bahasa yang digunakan dalam fabel tersebut merupakan bahasa metafora yang
didalamnya terkandung makna yang tidak sebenarnya. Menurut Pardopo (1995:118),
sebuah karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Lebih lanjut
ia mengatakan tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan
konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
optimal. Oleh karena itu, agar makna suatu karya sastra dapat dimengerti secara
optimal diperlukan suatu pendekatan yang tepat. Salah satu pendekatan yang
sesuai digunakan dalam mengkaji sistem tanda tersebut adalah pendekatan
semiotik.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Adapun semiotik
yaitu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra,
penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa
yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri
(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai
makna (Preminger dikutip oleh Pradopo, 1995: 119).
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah
sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda
harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda
harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan
menyajikan Di dalam semiotik tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier)
dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang
menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang
ditandai oleh penanda itu yang artinya. Contohnya kata “ ibu ”merupakan tanda
berupa satuan bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Tanda itu
tidak haya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara
penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks, dan
simbol.
Dalam fabel politik tersebut, terdapat salah satu
fabel yang berjudul Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing. Dalam fabel tersebut
terdapat tanda-tanda yang perlu dicarikan maknanya. Sebagai gajah merupakan
tanda yang melambangkan binatang yang besar dan kuat. Sedangkan kambing
merupakan tanda yang melambangkan binatang yang kecil dan lemah. Namun, dibalik
tanda itu, gajah dipakai untuk menandakan seorang penguasa yang yang memiliki
nafsu yang kuat yang selalu ingin berkuasa sedangkan kambing melambangkan
rakyat atau masyarakat yang tertindas dan sengasara diakibatkan penindasan sang
penguasa.
Penelitian tentang semiotik sudah banyak dilakukan. Wijayanti pernah melakukan peneltian tentang semiotika
dengan judul Poligami dalam Media Perempuan : Analisis Semiotik pada Majalah Femina
dan Paras. Penelitian
tersebut berusaha menemukan gagasan dominan dalam teks poligami yang
dimuat majalah Femina dan Paras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Femina dan
Paras memiliki gagasan dominan yang berbeda walau keduanya sama-sama majalah perempuan.
Femina yang terus terang menyatakan diri sebagai majalah anti poligami memiliki
gagasan dominan yang berbeda dengan Paras yang tidak anti poligami. Penelitian
lainnya dilakukan oleh Walidin dan Suratno dengan judul penelitian Membaca
Al-Mutannabbi dan Hubungannya dengan Tiga Penguasa Abbasiyah : Kajian Semiotik.
Dari hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan yang terjalin erat antara Al-Mutanabbi dengan tiga
penguasa Abbasiyah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu karakter al-Mutanabbi
(setia, teguh pendirian, suka menolong, cerdas, sopan, dan juga arogan),
karakteristik puisi (diplomasi, kontradiksi, hiperbola, pars pro toto),
dan pola hubungan yang diciptakan (perlindungan, persahabatan,
simbiosismutualsime). Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini
berusaha untuk menerapkan kajian semiotic dalam upaya untuk mengungkap makna
dalam karya sastra. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya terletak pada objeknya. Jika pada penelitian-penelitian sebelumnya
lebih banyak menganalisis puisi atau syair, dalam penelitian ini objek yang
dikaji adalah karya sastra prosa bentuk fabel.
Berkaitan dengan hal tersebut peneliti mencoba untuk melakukan
penelitian dengan judul Analisis Semiotik pada Kumpulan Fabel-Fabel Politik Mengusir Matahari Karya Kuntowijoyo.
2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah struktur yang membangun prosa
pada kumpulan fable-fabel Mengusir
Matahari
karya Kuntowijoyo?
2.
Makna apa yang terkandung dalam tanda-tanda pada kumpulan
fabel-fabel Mengusir Matahari
karya
Kuntowijoyo ?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan struktur
yang membangun prosa pada kumpulan fable-fabel Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo
2. Mendeskripsikan makna apa yang terkandung
dalam tanda-tanda pada kumpulan fabel-fabel Mengusir
Matahari karya Kuntowijoyo.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. memberikan masukan dalam pengembangan apresiasi sastra
khususnya bidang prosa;
2. menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam studi sastra dengan tinjauan semiotika.
5. Landasan Teori
A. Teori Struktural
Penelitian sastra
seharusnya bertolak dari interprestasi dan analisis karya sastra itu sendiri
(Wellek dan Warren, 1989 : 157). Pendekatan yang bertolak dari dalam karya
sastra itu disebut pendekatan objektif. Analisis struktural adalah bagian yang
terpenting dalam merebut makna di dalam karya sastra itu sendiri. Karya sastra
mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas unsur yang saling berhubungan. Untuk
mengetahui kaitan antar unsur dalam karya sastra itu sangat tepat jika
penelaahan teks sastra diawali dengan pendekatan struktural.
Strukturalisme sering
digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita
harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia
karya sastra antara lain alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan
amanat (Ratna, 2004:19-94) Analisis struktur dapat dilakukan dengan cara
mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur
intrinsik yang bersangkutan.(Nurgiyantoro, 2000: 37).
Menurut Stanton dan Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 1995 : 67), tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Tokoh menurut Nurgiyantoro (1995: 173) adalah pelaku, sekaligus
penderita kejadian dan penentu perkembangan cerita baik itu dalam cara
berfikir, bersikap, berperasaan, berperilaku, dan bertindak secara verbal
maupun non verbal. Latar menurut Sudjiman (1991 : 44), adalah segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Alur menurut Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113), adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang
satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Adapun
Aminuddin (2000: 80-81) menambahkan bahwasanya dalam memahami watak tokoh
utama, pembaca dapat menelusurinya lewat (1) tuturan pengarang terhadap
karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran
lingkungannya maupun cara berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4)
melihat bagaimana tokoh it berbicara tentang dirinya, (5 memahami bagaimana
jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7)
melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya, (8) melihat bagaimana
tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9 melihat
bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
B.
Teori Semiotik
Menganalisis karya sastra berarti memahami
makna karya sastra. Untuk menganalisis karya sastra, selain berdasarkan
strukturalisme, juga diperlukan analisis berdasrkan teori yang lain yang
disebut dengan teori semiotik. (Pradopo dalam Jabrohim, 2001 : 98)
Menurut Hartoko (1986:131), semiotik dari
kata Yunani ”semeion” yang berarti tanda. Ilmu yang meneliti tanda –
tanda, sistem–sistem tanda dan proses suatu tanda diartikan. Tanda adalah
sesuatu yang menunjukkan kepada barang lain, yang mewakili barang lain itu.
Tanda bersifat representatif. Tanda dan hubungan dengan dengan tanda – tanda
lain, dengan barang yang dilambangkan, dan dengan orang yang memakai tanda itu.
Bila ini diterapkan pada tanda–tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat
tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai relasi
antara pengemban arti (signifiant), apa yang diartikan (signifie)
bagi seorang (pembaca) yang mengenal sistem bahasa yang mengena sistem bahasa
yang bersangkutan.
Pierce (dalam Sukada, 1987: 35) menawarkan tiga kelompok tanda
berdasarkan jenis hubungan antara item pembaca makna, dengan item yang
ditunjukkannya :
1. Icon, adalah tanda yang menggunakan kesamaan, atau
ciri-ciri bersama, dengan apa yang dimaksudkannya. Misalanya, kesamaan antara
sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya.
2. Indeks, adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal
dengan apa yang diwakilinya. Misalnya asap merupakan suatu tanda adanya api,
dan arah angin menunjukkan suatu tanda cuaca.
3. Simbol, adalah hubungan antara item penanda dengan item
yang ditandainnya, yang tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan kesepakatan
masyarakat semata-mata. Misalnya, gerakan tangan yang bergetar, dan lampu merah
berarti ”berhenti” . pada dasarnya, contoh utama jenis ini adalah kata-kata,
yang menunjukkan suatu bahasa.
Adapun menurut
Pradopo (2003: 120) bahwa ikon adalah tanda yang menunjukkan
adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan
itu adalah hubungan persamaan, gambar kuda sebagai (penanda) yang menandai kuda
(petanda). Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal
atau sebab-akibat antara penanda dengan petandanya. Misalnya api menandai api,
alat penanda angin menunjukkan arah angin dan lain sebagainya. Simbol adalah
tanda yang bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu itu ditentukan oleh
konvensi. Kata ibu dalam bahasa Indonesia merupakan tanda berupa satuan bunyi
yang menandai arti: orang yang melahirkan kita. Dan orang Inggris menyebutnya
mother, sedangkan orang Prancis menyebutnya denagan La mere dan
sebagainya.
Dalam teks kesastraan ketiga jenis tanda
tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu
dikatakan sebagai ikon, ia haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung
penunjukkan ikon, menunjukkan banyaknya ciri ikon dibanding dengan dua jenis
tanda yang lain. Begitu pula terhadap indeks dan simbol, ketiganya sulit
dikatakan mana yang paling baik karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran,
dan perasaan. Dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda berupa
indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan
sebab akibat
Dalam
sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan
tanda bahasa yang bermakna, yang
pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode
sastra semiotik dikenal metode
hubungan
intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra
daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa karya sastra
itu
tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu
dari sebuah sistem konvensi atau
kode
sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra
yang lain yang lahir sebelumnya,
baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang
lain. Untuk memberikan makna atau
konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan
sistem tanda dalam hipogramnya
dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut
berupa konvensi-konvensi tambahan
dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya makna karya sastra
Berkaitan dengan analisis secara semiotik tersebut,
Paradopo (2002:273), mengjabarkan dua masalah yang berkaitan dengan aplikasi
model semiotik ini adalah sbb:
- Menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan
pembaca
- Menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur, berdasarkan
unsure atau elemen yang membentuknya.
Kedua
hal tersebut memiliki kaitan yang erat. Di satu pihak pengarang melalui
kata-katanya sebagai pembawa makna ke dalam struktur karya sastra, di pihak
lain pembacalah yang menafsirkan makna-makna tersebut. Keduanya senantiasa
bersumber pada konvensi-konvensi budaya yang telah berlangsung sebagaimana
dikandung dalam realita.
6. Metodologi Penelitian
Adapun metode penelitian yang dilakukan pada
skripsi ini ialah sebagai berikut :
A.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode
deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk struktur karya sastra
fabel politik Mengusir Matahari dan mendeskripsikan makna dari penanda dan
petanda yang terdapat dalam fabel tersebut. ini tujuan peneliti dapat tercapai
Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan.. Data yang dikumpulkan berupa
buku-buku acuan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri
atas dua kategori yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data
primer berupa kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo.
Data sekunder berfungsi untuk lebih memperjelas, menguatkan masalah yang akan
dibahas.
B.
Tahap Analisis Data
Tahap analisis data yang dilakukan adalah dengan
dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan struktur yang membangun fabel
tersebut. Setelah itu, peneliti mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat
dalam teks fabel serta mencari panandanya. Agar memberikan makna secara
mendalam terhadap penanda tersebut, tanda-tanda yang ada dalam karya satra
dibandingkan dengan tanda-tanda yang memungkinkan diproduksi makna karya sastra
tersebut.
C. Sumber Data
Data yang dijadikan sebagai objek penelitian
dengan menggunakan kajian semiotik dalam penelitian ini bersumber dari kumpulan
fabel-fabel politik Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo. Dalam buku tersebut
terdapat 89 cerita fabel. Mengingat keterbatasan waktu, maka tidak semua fabel
yang akan diteliti, akan tetapi peneliti hanya akan menganalisis 20 fabel saja.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggubnakan teknik acak (random sampling). Artinya peneliti akan
mengambil fabel-fabel yang ada secara acak tanpa adanya
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Daftar Pustaka
Aminuddin.
2000. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Basuki,
Anhari, dkk. 1989. ”Metode Penelitian
Sastra Lama”. Diktat Kuliah. Semarang : Fakultas Sastra Undip
Kuntowijyo. 1999. Mengusir Matahari:
Fabel-Fabel Politik. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmat D. 2003. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman,
Panuti dan Aart Van Zoest. 1996. Serba-Serbi
Semiotika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Wellek dan Werren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta
: gramedia