Darurat Sinetron
Oleh Alamsari,
M.Pd.
(Tenaga Pendidik
di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Banyak sinetron
Indonesia yang tak laik konsumsi. Ceritanya tak bernilai seni. Para penggiat
industri kreatif ini seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
sinetron yang dibuatnya. Jangan sampai masyarakat yang harus menerima getahnya.
Siapa
yang tak pernah nonton sinetron? Tentu kita sepakat hampir tak ada satu orang
pun di antara kita yang belum pernah menontonnya, kecuali mereka yang
benar-benar tak punya tv di rumah. Anak-anak—dewasa, pria—wanita, begitu
antusias menonton sinetron yang disajikan itu. Beberapa tahun terakhir, memang
dunia persinetronan di tanah air mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal
itu terbukti dari banyaknya tayangan sinetron yang ditampilkan di berbagai
stasiun televisi dalam setiap harinya.
Besarnya
jumlah penduduk Indonesia disertai tingginya animo masyarakat harus diakui memang
menjadi peluang besar bagi para penggiat industri kreatif untuk berlomba-lomba menciptakan
dan menyuguhkan tontonan yang disenangi masyarakat. Bayangkan, dalam sekali
episode saja tayangan sinetron dengan rating tinggi dapat meraup
keuntungan ratusan juta hingga satu milyar rupiah. Sebuah pendapatan yang
sangat fantastis. Sehingga wajar jika persaingan antar dunia persinetronan
semakin gencar. Siapa yang mampu berpikir kreatif tentulah ia yang akan
mendapatkan rating tertinggi.
Namun
disadari atau tidak, persaingan untuk selalu dapat menyuguhkan sinetron yang
disukai dan banyak disenangi penonton secara perlahan telah membuat sinetron kehilangan
jati dirinya. Seyogyanya sinetron yang ditayangkan haruslah menampilkan cerita
yang sesuai dengan kultur budaya dan karakter yang berlaku di tengah kehidupan
masyarakat kita. Faktanya? Ruh yang seharusnya dimilki sinetron sekarang telah
bereinkarnasi dalam wujud yang menakutkan dan membahayakan. Bukan lagi menampilkan
cerita yang mengutamakan moral bangsa, justru sinetron sekarang hanya berlomba-lomba
mengejar popularitas (rating) demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Mengutip pernyataan Rieke Mustika (Pusat Litbang Aptika IKP), “Televisi
(sinetron) sebagai industri bisnis semakin menunjukkan kecenderungan orientasi
komersil dibandingkan memberikan perhatian pada upaya pembentukan nilai-nilai
moral yang berkepribadian dan beridentitas kebangsaan”.
Beberapa
kali menonton sinetron, saya selaku penulis merasakan keprihatinan yang begitu
mendalam. Melihat banyak sinetron yang sangat jauh dari kata laik. Laik dalam
arti benar-benar pas dan cocok untuk dikonsumsi sehari-hari oleh berbagai
kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa.Walaupun memang pada dasarnya fungsi
sinetron itu sendiri adalah sebagai media hiburan semata bagi masyarakat, namun
tentu harus tetap diiringi dengan fungsi pendidikan (edukasi) dalam setiap
ceritanya. Fungsi edukasi adalah mutlak harus lebih ditonjolkan dalam setiap
tayangan mengingat sinetron yang merupakan
hasil cipta kreatif pengarangnya adalah bagian dari sebuah seni dan
harus dipertanggungjawabkan kepada penikmatnya.
Kita ingat dulu ada beberapa sinetron yang begitu bagus dan berkualitas.
Sebut saja Kiamat Sudah Dekat, Si Doel
Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, Rumah Masa Depan dan masih ada segelintir sinetron lagi. Namun seiring
perkembangan zaman, sinetron
sekarang mengalami banyak perubahan dan banyak yang tidak berkualitas. Hanya
sekedar menampilkan adegan-adegan tak bermakna. Contohnya saja dalam sinetron
komedi atau laga, lebih banyak ditampilkan adegan kekerasan di dalamnya. Tokoh
jahat selalu sukses melawan tokoh baik. Seorang anak yang mengerjai orang yang
lebih tua atau seorang anak yang tertawa ketika melihat temannya kesusahan. Di
latar sebuah sekolah, ada pula anak baik yang dikerjai oleh teman-teman
sekelasnya. Ada adegan tokoh jahat berniat membunuh tokoh baik. Belum lagi
narasi yang mengandung unsur penindasan,
kekerasan, caci maki, begitu banyak ditemukan. Sungguh sangat memprihatinkan.
Tokoh dan
penokohannya pun sungguh mengada-ada dan cenderung menyerupai dongeng atau
cerita fantasi. Ada tokoh yang bisa berbicara dengan peri. Anak sekolah selalu
digambarkan tak terlepas dari kehidupan percintaan dan rebutan pacar. Tokoh
remaja putri yang baik digambarkan dengan memakai rok mini dan baju yang seksi.
Anak sekolah bajunya dikeluarkan semua dan yang wanita rok sekolahnya
seksi-seksi. Banyak pula anak sekolah yang ditampilkan memiliki rambut yang
gondrong, kribo seperti Edi Brokoli, rambut seperti sapu lidi, atau tokoh
dengan rambut yang dikepang ala vampir. Anak perempuan akan merasa senang jika
dicium pacarnya. Ada pula sinetron yang mengaku religius, manampilkan tokoh
wanita berjilbab dan pria alim. Namun ternyata adegannya digambarkan pacaran
dan pegangan tangan. Tokoh baiknya digambarkan begitu penyabar hingga walupun
disiksa bertubi-tubi dia rela menerima. Tokoh dan penokohan dalam cerita
sinetron kita sungguh berlebih-lebihan. Padahal, nyatanya di tengah masyarakat
kita tak ada yang seperti itu.
Jika kita amati, sinetron
yang ditayangkan di Indonesia lebih banyak menampilkan adegan-adegan yang menjauhkan penonton dari realitas yang ada.
Cerita-cerita yang disajikan banyak menampilkan orang-orang kaya, berlatar rumah
mewah, mobil mewah, individualis, materialistis, dan bersifat konsumtif. Demi
mengejar keuntungan, sinetron akan dipanjangkan manakala sinetron tersebut
mendapatkan penonton yang banyak. Di sisi lain, jika sinetron yang ditampilkan
kurang mendapat animo dari masyarakat, maka sang produser akan segera mengakhirinya
demi menghemat pengeluaran. Hal itu tentunya akan mempengaruhi cerita dan
berdampak pada kualitas sinetron itu sendiri. Pada akhirnya, nilai-nilai yang ingin disampaikan pada
masyarakat pun menjadi bias dan menyimpang.
Apa yang akan terjadi jika tontonan
seperti itu dikonsumsi setiap hari bagi kita pun anak-anak kita? Tentunya
perlahan akan merasuk ke dalam jiwa dan merusak kepribadian dan karakter
penikmatnya. Karakter yang seharusnya dimilki yang sesuai dengan kultur budaya dan
karakter masyarakat Indonesia, seperti adab sopan santun, toleransi, kerja
keras, dll. Jika kita hubungkan dengan realita sekarang, kita secara gamang
dapat menemukan ada anak yang berkelahi, memperkosa, atau bahkan membunuh
temannya sendiri karena mengikuti tayangan yang ditontonnya. Realitanya banyak
pula anak-anak yang masih usia sekolah yang berpacaran dan jauh dari
sifat-sifat keterpelajaran. Memang masih terlalu kabur jika peristiwa tersebut
dikaitkan sebagai akibat dari tayangan yang tak laik konsumsi. Di Indonesia
sendiri memang belum ada pembuktian secara ilmiah terkait ada atau tidaknya
pengaruh signifikan terhadap perubahan karakter penontonnya, namun tetap saja harus
diantisipasi sedini mungkin dampak tersebut.
Sinetron
yang dibuat tentu harus disertai rasa tanggung jawab yang besar. Seorang
penggiat industri kreatif haruslah memikirkan pula dampak yang ditimbulkan
sinetron yang dibuatnya bagi penontonnya. Mengingat masyarakat (baca:penonton)
adalah sebagai pengapresiasi dari hasil cipta kreatif tersebut. Tanpa adanya
penonton, akan sia-sia sajalah apa yang telah dihasilkan itu. Jangan sampai hanya
sekedar asal menelurkan sinetron tetapi ujung-ujungnya sinetron yang dihasilkan
tidaklah berkualitas sama sekali.
Menanggapi
krisis sinetron tak laik konsumsi di Indonesia ini seharusnya Komisi Penyiaran
Indonesia, Komnas HAM, dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan secara
langsung haruslah dapat mengambil kebijakan yang pro masyarakat. Misalnya, membatasi
atau menyensor sinetron yang tak laik konsumsi itu. Walaupun beberapa hal
mungkin sudah dilakukan pihak-pihak tersebut, contohnya mewajibkan setiap
tayangan memberikan kode R (remaja), BO (bimbingan orang tua), atau SU (semua
umur) di sudut kiri tayangannya, Namun tetap saja kenyataanya selama ini
pihak-pihak yang bersangkutan cenderung melakukan pembiaran terhadap
tayangan-tayangan yang tak laik tersebut. Alhasil, sinetron-sinetron yang
asal-asalan dan tidak bernilai semakin banyak dan subur di tanah air.
Karakter
masyarakat (penonton) kita yang “gelap pikir” juga semakin membuat para
penggiat industri kreatif senang. Mereka tak perlu bersusah-susah memikirkan skenario
sinetron yang digarapnya apalagi memikirkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Toh sejelek apapun sinetron yang dibuat, ujung-ujungnya masih banyak
pula yang menontonnya. Yang terpenting uang terus mengalir. Jika demikian,
tinggallah kita selaku penonton yang menuai getahnya. Untuk itu diperlukan
keterbukaan pikiran bagi setiap pengonsumsi sinteron. Jangan hanya sekedar
menonton namun kita harus menjadi penonton cerdas yang mampu memilah-milah dan
mengambil apa manfaat sinetron yang ditontonnya.
Jangan sampai dibiarkan
berlarut-larut. Sedini mungkin semua pihak yang terkait harus bekerja sama
mengatasi krisis sinetron tak laik konsusmsi itu. Tujuannya tentu saja agar
kultur budaya dan karakter kepribadian asli masyarakat Indonesia tidak hilang
begitu saja.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!