Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Thursday 9 October 2014

Artikel

Darurat Sinetron
Oleh Alamsari, M.Pd.
(Tenaga Pendidik di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Banyak sinetron Indonesia yang tak laik konsumsi. Ceritanya tak bernilai seni. Para penggiat industri kreatif ini seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap sinetron yang dibuatnya. Jangan sampai masyarakat yang harus  menerima getahnya.
Siapa yang tak pernah nonton sinetron? Tentu kita sepakat hampir tak ada satu orang pun di antara kita yang belum pernah menontonnya, kecuali mereka yang benar-benar tak punya tv di rumah. Anak-anak—dewasa, pria—wanita, begitu antusias menonton sinetron yang disajikan itu. Beberapa tahun terakhir, memang dunia persinetronan di tanah air mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal itu terbukti dari banyaknya tayangan sinetron yang ditampilkan di berbagai stasiun televisi dalam setiap harinya.
Besarnya jumlah penduduk Indonesia disertai tingginya animo masyarakat harus diakui memang menjadi peluang besar bagi para penggiat industri kreatif untuk berlomba-lomba menciptakan dan menyuguhkan tontonan yang disenangi masyarakat. Bayangkan, dalam sekali episode saja tayangan sinetron dengan rating tinggi dapat meraup keuntungan ratusan juta hingga satu milyar rupiah. Sebuah pendapatan yang sangat fantastis. Sehingga wajar jika persaingan antar dunia persinetronan semakin gencar. Siapa yang mampu berpikir kreatif tentulah ia yang akan mendapatkan rating tertinggi.
Namun disadari atau tidak, persaingan untuk selalu dapat menyuguhkan sinetron yang disukai dan banyak disenangi penonton secara perlahan telah membuat sinetron kehilangan jati dirinya. Seyogyanya sinetron yang ditayangkan haruslah menampilkan cerita yang sesuai dengan kultur budaya dan karakter yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat kita. Faktanya? Ruh yang seharusnya dimilki sinetron sekarang telah bereinkarnasi dalam wujud yang menakutkan dan membahayakan. Bukan lagi menampilkan cerita yang mengutamakan moral bangsa, justru sinetron sekarang hanya berlomba-lomba mengejar popularitas (rating) demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mengutip pernyataan Rieke Mustika (Pusat Litbang Aptika IKP), “Televisi (sinetron) sebagai industri bisnis semakin menunjukkan kecenderungan orientasi komersil dibandingkan memberikan perhatian pada upaya pembentukan nilai-nilai moral yang berkepribadian dan beridentitas kebangsaan”.
Beberapa kali menonton sinetron, saya selaku penulis merasakan keprihatinan yang begitu mendalam. Melihat banyak sinetron yang sangat jauh dari kata laik. Laik dalam arti benar-benar pas dan cocok untuk dikonsumsi sehari-hari oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa.Walaupun memang pada dasarnya fungsi sinetron itu sendiri adalah sebagai media hiburan semata bagi masyarakat, namun tentu harus tetap diiringi dengan fungsi pendidikan (edukasi) dalam setiap ceritanya. Fungsi edukasi adalah mutlak harus lebih ditonjolkan dalam setiap tayangan mengingat sinetron yang merupakan  hasil cipta kreatif pengarangnya adalah bagian dari sebuah seni dan harus dipertanggungjawabkan kepada penikmatnya.
Kita ingat dulu ada beberapa sinetron yang begitu bagus dan berkualitas. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat, Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, Rumah Masa Depan dan masih ada segelintir sinetron lagi. Namun seiring perkembangan zaman, sinetron sekarang mengalami banyak perubahan dan banyak yang tidak berkualitas. Hanya sekedar menampilkan adegan-adegan tak bermakna. Contohnya saja dalam sinetron komedi atau laga, lebih banyak ditampilkan adegan kekerasan di dalamnya. Tokoh jahat selalu sukses melawan tokoh baik. Seorang anak yang mengerjai orang yang lebih tua atau seorang anak yang tertawa ketika melihat temannya kesusahan. Di latar sebuah sekolah, ada pula anak baik yang dikerjai oleh teman-teman sekelasnya. Ada adegan tokoh jahat berniat membunuh tokoh baik. Belum lagi narasi  yang mengandung unsur penindasan, kekerasan, caci maki, begitu banyak ditemukan. Sungguh sangat memprihatinkan.
Tokoh dan penokohannya pun sungguh mengada-ada dan cenderung menyerupai dongeng atau cerita fantasi. Ada tokoh yang bisa berbicara dengan peri. Anak sekolah selalu digambarkan tak terlepas dari kehidupan percintaan dan rebutan pacar. Tokoh remaja putri yang baik digambarkan dengan memakai rok mini dan baju yang seksi. Anak sekolah bajunya dikeluarkan semua dan yang wanita rok sekolahnya seksi-seksi. Banyak pula anak sekolah yang ditampilkan memiliki rambut yang gondrong, kribo seperti Edi Brokoli, rambut seperti sapu lidi, atau tokoh dengan rambut yang dikepang ala vampir. Anak perempuan akan merasa senang jika dicium pacarnya. Ada pula sinetron yang mengaku religius, manampilkan tokoh wanita berjilbab dan pria alim. Namun ternyata adegannya digambarkan pacaran dan pegangan tangan. Tokoh baiknya digambarkan begitu penyabar hingga walupun disiksa bertubi-tubi dia rela menerima. Tokoh dan penokohan dalam cerita sinetron kita sungguh berlebih-lebihan. Padahal, nyatanya di tengah masyarakat kita tak ada yang seperti itu.
Jika kita amati, sinetron yang ditayangkan di Indonesia lebih banyak menampilkan adegan-adegan yang  menjauhkan penonton dari realitas yang ada. Cerita-cerita yang disajikan banyak menampilkan orang-orang kaya, berlatar rumah mewah, mobil mewah, individualis, materialistis, dan bersifat konsumtif. Demi mengejar keuntungan, sinetron akan dipanjangkan manakala sinetron tersebut mendapatkan penonton yang banyak. Di sisi lain, jika sinetron yang ditampilkan kurang mendapat animo dari masyarakat, maka sang produser akan segera mengakhirinya demi menghemat pengeluaran. Hal itu tentunya akan mempengaruhi cerita dan berdampak pada kualitas sinetron itu sendiri. Pada akhirnya,  nilai-nilai yang ingin disampaikan pada masyarakat pun menjadi bias dan menyimpang.  
Apa yang akan terjadi jika tontonan seperti itu dikonsumsi setiap hari bagi kita pun anak-anak kita? Tentunya perlahan akan merasuk ke dalam jiwa dan merusak kepribadian dan karakter penikmatnya. Karakter yang seharusnya dimilki yang sesuai dengan kultur budaya dan karakter masyarakat Indonesia, seperti adab sopan santun, toleransi, kerja keras, dll. Jika kita hubungkan dengan realita sekarang, kita secara gamang dapat menemukan ada anak yang berkelahi, memperkosa, atau bahkan membunuh temannya sendiri karena mengikuti tayangan yang ditontonnya. Realitanya banyak pula anak-anak yang masih usia sekolah yang berpacaran dan jauh dari sifat-sifat keterpelajaran. Memang masih terlalu kabur jika peristiwa tersebut dikaitkan sebagai akibat dari tayangan yang tak laik konsumsi. Di Indonesia sendiri memang belum ada pembuktian secara ilmiah terkait ada atau tidaknya pengaruh signifikan terhadap perubahan karakter penontonnya, namun tetap saja harus diantisipasi sedini mungkin dampak tersebut.
Sinetron yang dibuat tentu harus disertai rasa tanggung jawab yang besar. Seorang penggiat industri kreatif haruslah memikirkan pula dampak yang ditimbulkan sinetron yang dibuatnya bagi penontonnya. Mengingat masyarakat (baca:penonton) adalah sebagai pengapresiasi dari hasil cipta kreatif tersebut. Tanpa adanya penonton, akan sia-sia sajalah apa yang telah dihasilkan itu. Jangan sampai hanya sekedar asal menelurkan sinetron tetapi ujung-ujungnya sinetron yang dihasilkan tidaklah berkualitas sama sekali.
Menanggapi krisis sinetron tak laik konsumsi di Indonesia ini seharusnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komnas HAM, dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan secara langsung haruslah dapat mengambil kebijakan yang pro masyarakat. Misalnya, membatasi atau menyensor sinetron yang tak laik konsumsi itu. Walaupun beberapa hal mungkin sudah dilakukan pihak-pihak tersebut, contohnya mewajibkan setiap tayangan memberikan kode R (remaja), BO (bimbingan orang tua), atau SU (semua umur) di sudut kiri tayangannya, Namun tetap saja kenyataanya selama ini pihak-pihak yang bersangkutan cenderung melakukan pembiaran terhadap tayangan-tayangan yang tak laik tersebut. Alhasil, sinetron-sinetron yang asal-asalan dan tidak bernilai semakin banyak dan subur di tanah air.
Karakter masyarakat (penonton) kita yang “gelap pikir” juga semakin membuat para penggiat industri kreatif senang. Mereka tak perlu bersusah-susah memikirkan skenario sinetron yang digarapnya apalagi memikirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Toh sejelek apapun sinetron yang dibuat, ujung-ujungnya masih banyak pula yang menontonnya. Yang terpenting uang terus mengalir. Jika demikian, tinggallah kita selaku penonton yang menuai getahnya. Untuk itu diperlukan keterbukaan pikiran bagi setiap pengonsumsi sinteron. Jangan hanya sekedar menonton namun kita harus menjadi penonton cerdas yang mampu memilah-milah dan mengambil apa manfaat sinetron yang ditontonnya.
Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Sedini mungkin semua pihak yang terkait harus bekerja sama mengatasi krisis sinetron tak laik konsusmsi itu. Tujuannya tentu saja agar kultur budaya dan karakter kepribadian asli masyarakat Indonesia tidak hilang begitu saja.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!