Negeri
Krisis Generasi
Oleh
Alamsari, M.Pd.
(Guru
SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Padahal
aksi heroik itu seyogyanya memang sudah menjadi bagian dari karakter bangsa
Indonesia. Jika aksi heroik tersebut sudah mampu menjadikan seseorang sebagai
pahlawan, artinya negara kita sedang mengalami krisis generasi.
Beberapa waktu lalu marak diperbincangkan aksi heroik tiga
pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Bogor yang berhasil menggagalkan
upaya pemerkosaan oleh tukang ojek terhadap gadis berusia 14 tahun. Aksi yang
berani dan sungguh luar biasa mengingat tak banyak lagi ditemui remaja yang
memiliki rasa sosial yang tinggi. Untuk itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) memberikan penghargaan berupa piagam dan beasiswa sebagai tanda jasa
atas apa yang dilakukan tiga siswa tersebut. Bahkan KPAI pun sampai menyebut
ketiganya sebagai pahlawan.
Apa yang
dilakukan KPAI sesungguhnya sebagai respons wajar terhadap aksi heroik yang
jarang dilakukan. Di satu sisi, kita patut berbangga atas aksi kepahlawanan berupa
tindakan berani mempertaruhkan nyawa demi menolong sang korban. Apalagi
mengingat di usia yang masih terbilang muda, mereka telah memiliki rasa
kesosialan yang begitu tinggi. Namun di sisi lain kita perlu merasa prihatin
karena aksi heroik itu sekaligus memberi tamparan yang begitu keras kepada kita
bahwa di era modernisasi sekarang ternyata begitu sulit mencari pemuda dengan
kepekaan sosial yang tinggi.
Karakter
Bangsa
Jika
aksi heroik yang dilakukan itu sudah mampu menjadikan seseorang di zaman
sekarang sebagai pahlawan, artinya harus diakui Indonesia sedang dalam krisis
generasi. Padahal aksi heroik itu memang seharusnya
sudah menjadi bagian dari karakter bangsa. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia
sendiri terkenal akan karakter masyarakatnya yang begitu bermartabat. Kepedulian
sosial yang tinggi adalah satu dari sekian banyak karakter bangsa kita.
Sekedar menapak tilas, Bung Karno pernah mengatakan “Berikan
aku sepuluh pemuda akan kuguncang dunia”. Bukan tanpa pertimbangan Bung
Karno berkata demikian. Jika kita menilik kualitas dan karakteristik generasi
terdahulu harus diakui para pemuda terdahulu memang sungguh luar biasa. Mereka
memegang teguh karakter bangsanya. Sehingga melalui tangan-tangan merekalah,
Indonesia mampu mencapai masa kegemilangannya.
Bandingkan dengan generasi sekarang! Sebagai seorang pendidik, jujur
saya katakan, sungguh sangat memprihatinkan. Semakin pesatnya perkembangan
zaman, semakin kikis pula karakter masyarakat kita. Indonesia yang dahulu
terkenal akan karakter bangsanya yang berketuhanan, berkesosialan tinggi,
bersatu padu, dan selalu mengutamakan musyawarah dalam setiap tindakan, justru sebaliknya.
Modernisasi perlahan telah mengubah karakter bangsa. Sikap individualistis
semakin meraja lela. Masyarakat kita tak lagi ramah, mudah berpecah belah, dan
sangat sulit mencari orang yang peduli akan nasib sesamanya yang kesusahan. Tak
banyak lagi orang dengan tingkat empati yang tinggi. Bangsa kita telah
terjerembab ke dalam era modernisasi.
Saya sendiri pernah mengalami secara langsung dampak hilangnya
kepedulian sosial yang tinggi itu. Ketika suatu hari saya berjalan di salah
satu pasar yang ada di Palembang, dari belakang seorang pencopet dengan
terang-terangan membuka tas saya dan berusaha mengambil laptop yang ada di
dalamnya. Padahal aksi tersebut disaksikan oleh banyak mata. Penjual, pembeli
semua menyaksikan namun hanya diam saja. Alangkah mirisnya perasaan saya waktu
itu.
Pengalaman buruk saya mungkin hanyalah secuil dari banyaknya
pengalaman-pengalaman buruk yang melanda masyarakat kita. Ki Supriyoko dalam
tulisannya Membangun Kembali Karakter Bangsa, pernah mengutip sebuah kalimat
bijak "When wealth is lost, nothing is lost; when health is
lost, something is lost; (but) when character is lost everything is lost".
Maksudnya "Ketika kekayaan hilang, tidak ada yang hilang; ketika kesehatan
hilang,ada sesuatu yang hilang; (namun) ketika karakter hilang, segalanya telah
hilang. Benar adanya, jika karakter yang seharusnya melekat pada jati diri anak
bangsa sudah hilang, tak tahu lagi akan jadi apa bangsa kita ini.
Kembali Pada Hakikatnya
Indonesia menghadapi krisis terbesar dalam sejarah. Lebih besar
dari krisis ekonomi tahun 1998 yang pernah melanda. Bangsa kita menghadapi
krisis “generasi”. Tak heran begitu banyak persoalan terkait hilangnya karakter
generasi bangsa. Pemerkosaan, tawuran, korupsi, hanyalah sederet bukti
penyimpangan sosial dari pudarnya karakter itu. Lebih memprihatinkan, penyimpangan
sosial yang terjadi bahkan telah menjalar dalam setiap lini kehidupan.
Sebagai pihak yang bersentuhan secara langsung dengan karakter
anak, bagi para orang tua dan tenaga pendidik, krisis generasi ini memang
menjadi momok yang begitu menakutkan. Betapa tidak, hilangnya karakter dalam
diri anak bangsa, telah nampak begitu nyata. Tawuran hanya
gara-gara persoalan sepele, misalnya rebutan pacar, kalah main bola, atau hanya
gara-gara tersinggung atas perkataan temannya. Anak muda begitu mudah marah dan
diprovokasi. Sikap individualistis juga sudah mewabah. Sedikit anak muda yang
mau membantu yang kesulitan. Penghormatan kepada sesama juga sudah hilang.
Jarang sekali kita melihat seorang anak yang membantu orang tua menyeberang
jalan dan mempersilahkan orang tua untuk duduk duluan di dalam bis kota seperti
dulu. Anak muda sekarang sudah tidak memiliki rasa sopan dan santun.
Realita
tersebut hanyalah beberapa dari sekelumit realita yang marak terjadi
akhir-akhir ini. Pemerintah sendiri menyadari ancaman
krisis “generasi” yang melanda negeri. Oleh karena itu, sejak tahun 2011 lalu
pemerintah melalui Kemdiknas merasa perlu mengeluarkan secara tertulis 16 karakter
yang wajib dikembangkan di setiap sekolah. Fokus dari program tersebut adalah
pembentukan karakter anak bangsa sedari dini. Tujuannya agar kelak generasi
kita yang hampir “hilang” dapat kembali pada hakikatnya. Walaupun terlambat,
setidaknya program tersebut dapat membawa angin segar bagi keberlangsungan
generasi kita di masa yang akan datang.
Akhirnya,
mengutip pernyataan Thomas Lickona (Sudarwanto, 2012), salah satu tanda kehancuran
suatu bangsa adalah kaburnya batasan moral baik-buruk. Jikalau masyarakat kita
sudah tak mampu lagi membedakan mana yang hak dan mana yang bathil; mana yang
benar dan mana yang salah, maka tinggal menunggu waktu saja, bangsa kita akan
menemui kehancurannya. Kita tentu tak ingin hal itu terjadi pada kita. Oleh
karena itu, mulai sekarang bersama-sama kita bekerja sama mengembalikan
karakter bangsa kita ke hakikatnya semula. Tak ada kata terlambat. Jika kita
bersungguh-sungguh, suatu saat kelak, bangsa Indonesia akan kembali menjadi
bangsa yang bermartabat. Semoga saja!
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!