Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Monday 20 November 2023

Menciptakan Iklim Merdeka Belajar di Sekolah

 


Merdeka belajar sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pendidikan merupakan salah satu terobosan baru dalam upaya mengatasi rendahnya kualitas pendidikan. Hasil Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2018 menempatkan pendidikan Indonesia pada peringkat 72 dari 78 negara. PISA digunakan untuk mengevaluasi sistem pendidikan suatu negara dengan mengukur kinerja siswa dalam tiga bidang, yakni matematika, sains, dan literasi. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan mengingat dari tahun ke tahun, hasil PISA Indonesia tidak kunjung memberikan hasil yang membaik. Padahal sebagai negara yang besar dan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, Indonesia seharusnya mampu bersaing dengan negara-negara di dunia, utamanya dengan negara tetangga. Berdasarkan hal tersebutlah, Mas Menteri Nadiem akhirnya mengeluarkan empat program pokok pendidikan dikenal dengan istilah merdeka belajar.

Kegiatan pembelajaran menjadi salah satu fokus pembenahan yang termaktub dalam istilah merdeka belajar tersebut. Selama ini kegiatan pembelajaran dianggap belum merdeka dan kenyataannya memang belum "merdeka". Contoh sederhana—banyak pembelajaran di kelas yang belum kreatif. Pembelajaran bersifat kaku—hanya sekedar transfer informasi dengan sedikit interaksi berarti. Guru-guru mengajar dengan gaya yang monoton tanpa ada aktivitas pembelajaran yang mengasyikkan. Guru mengajar tanpa kreatifitas—hanya mengejar penyampaian materi untuk mencapai indikator pencapaian kompetensi. 

Ketika ditanya kepada siswa, apa arti sekolah bagimu? Mereka dengan lantang menjawab bahwa sekolah adalah tempat untuk belajar. Hanya tempat belajar. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan di sekolah selain belajar. Sekolah dapat menjadi tempat bermain yang menyenangkan, tempat bersosialisasi dan berkomunikasi, tempat berinovasi dan berkreasi. Sekolah harusnya menjadi tempat yang nyaman selayaknya rumah kedua bagi anak dan bukannya justru menjadi tempat yang menakutkan. Harus jujur diakui—saat ini betapa banyak siswa yang lebih senang jika kelasnya kosong karena guru tidak hadir di sekolah. Mereka lebih senang jika hari libur tiba. Siswa lebih senang jika sekolah pulang cepat, dan lain sebagainya.

Merdeka belajar memang terlahir berawal dari hal sedemikian. Ruang-ruang kelas dianggap tidak hidup. Aktivitas pembelajaran belum memiliki ruh. Guru dan siswa hanya sekedar melaksanakan aktivitas seremonial dan rutinitas biasa tanpa bermakna. Ruh pembelajaran itulah yang sebenarnya menjadi kunci dari merdeka belajar. Lalu bagaimanakah upaya menciptakan iklim merdeka belajar tersebut? Setiap guru pada prinsipnya harus mampu merancang aktivitas merdeka belajar. Untuk itu, beberapa hal yang dapat dilakukan, yakni melakukan pengaturan kelas, penggunaan media atau metode, dan merancang aktivitas pembelajaran.

Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?

 


Pendidikan yang merdeka harus diawali dari kemerdekaan dalam belajar. Anak didik dilahirkan dengan membawa kodrat yang beragam. Guru ibarat petani dan anak didik umpama benih. Tugas guru adalah menuntun dan mengarahkan agar anak tidak tersesat.”

Pada masa kolonial Belanda, pendidikan diselenggarakan sebagai misi terselubung untuk mendapatkan timbal balik yang menguntungkan bagi penjajah. Rakyat Indonesia hanya diberikan pengajaran berupa keterampilan dasar seadanya, seperti membaca, menulis, dan berhitung untuk selanjutnya dijadikan sebagai pekerja yang membantu usaha dagang Belanda dan antek-anteknya. Pada tahun 1922, Taman Siswa yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara lahir sebagai wujud kemerdekaan dan kebebasan rakyat Indonesia dalam pendidikan. Ki Hajar Dewantara membawa semangat baru dalam fase pendidikan Indonesia yang lebih merdeka.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Penyelenggaraan pendidikan menjadi fondasi dasar untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Menyadari pentingnya arti pendidikan tersebut, pemerintah menaruh perhatian serius dalam upaya memajukan pendidikan Indonesia semakin bermutu dan berdaya saing global melalui program merdeka belajar.
Apakah pendidikan kita sudah merdeka? Pertanyaan menggelitik sebenarnya. Secara harfiah memang pendidikan Indonesia sudah terbebas dari penjajahan, tetapi secara maknawi masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Pada kenyataanya, pendidikan Indonesia masih belum merdeka dalam belajar. Selama ini guru terjebak dalam aktivitas membuat administrasi pembelajaran yang kompleks dan menyita pikiran dan waktu. Skenario pembelajaran yang dibuat pada praktiknya tidak terlaksana dengan baik dikarenakan guru tertekan target pencapaian kompetensi anak didik yang pada akhirnya hanya diukur kelulusannya melalui ujian nasional. Anak didik dipaksa untuk belajar secara seragam tanpa mempertimbangkan keberagaman kemampuan. Pelaksanaan pembelajaran di kelas menjadi tidak menarik dan terkungkung dalam penjara kurikulum.

IDENTIFIKASI POTENSI MELALUI KEGIATAN LITERASI: PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN SISWA UNGGUL MENUJU INDONESIA MAJU BERMUTU

            Setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi. Potensi yang dimiliki anak sangat beragam. Potensi merupakan kemampuan dasar yang berkemungkinan untuk dikembangkan1. Upaya mengembangan potensi pada anak perlu dilakukan sedini mungkin. Tujuannya adalah untuk menjadikan potensi tersebut berkembang menjadi kompetensi. Untuk itulah, identifikasi potensi pada peserta didik harus dilakukan.

Identifikasi potensi dapat dilakukan oleh individu itu sendiri. Namun sangat disayangkan, tidak sedikit peserta didik yang justru kesulitan untuk mengenali potensi yang dimilikinya. Dalam studi yang saya lakukan di sekolah tempat saya bertugas, hampir 80 persen peserta didik justru belum mengetahui potensi apa yang dimilikinya. Peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut potensi (kemampuan) masing-masing dan memerlukan bimbingan dan pengarahan serta pendampingan yang konsisten menuju ke arah titik optimal potensinya2. Oleh karena itulah, identifikasi potensi perlu dilakukan oleh pihak sekolah untuk membantu peserta didik menemukan potensinya dengan lebih cepat. Salah satu cara untuk melakukan identifikasi terhadap potensi peserta didik adalah dengan melalui kegiatan literasi di sekolah.

Untuk melaksanakan identifikasi potensi melalui literasi tersebut, pihak sekolah harus merancang aktivitas literasi yang berbasis pada identifikasi potensi. Ada banyak kegiatan literasi yang dapat dilaksanakan di sekolah, misalnya aktivitas membaca selama 15 sampai 30 menit sebelum memulai pembelajaran. Perpustakaan sekolah sebagai basis kegiatan literasi memiliki peran besar dalam upaya menciptakan iklim literasi di lingkungan sekolah. Melalui aktivitas membaca 15 sampai 30 menit diharapkan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan kualitas diri peserta didik.

Kegiatan literasi di sekolah pada hakikatnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi potensi. Kegiatan literasi di sekolah bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional, bahasa, spiritual, dan estetika.3 Melalui kegiatan literasi, sekolah mampu mengetahui potensi apa saja yang ada pada peserta didik. Hal tersebut sangat penting guna membantu sekolah dalam merencanakan tindak lanjut bagi peserta didik sehingga mampu mendorong pengembangan potensi menjadi lebih optimal.

Monday 21 February 2022

Dilema Etika

Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, tentu kita tidak luput dari dilema etika. Apa itu dilema etika? Dilema etika adalah pertentangan batin antara sesuatu yang benar dihadapkan pada hal lain yang juga benar dalam sudut pandang tertentu. 

Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang layak harus dibuat (Arens dan Loebbecke, dikutip oleh Eko Suhascaryo)

Lebuh lanjut Eko Suhascaryo memberikan contoh situasi yang sering kali memunculkan dilema, yakni sebagai berikut. 

Ini untuk tujuan baik, atau di akhir membenarkan caranya.

Hal ini akan menggoda untuk mengambil jalan pintas dalam melakukan pengambilan keputusan ketika hasil akhirnya akan menjadi hal yang baik.

Loyalitas ganda.

Banyak orang merasa memiliki kewajiban untuk mempromosikan kepentingan dari kelompok atau teman khususnya. Ini dapat menjadi tidak etis ketika meluas ke memastikan bahwa keuntungan untuk kelompok atau individu khusus dengan mengorbankan kelompok atau individu lainnya.

Penyembunyian.

Kita semua sering kali menghindari memberikan umpan balik yang negatif atau mengungkapkan pendapat yang orang lain tidak akan suka, karena kita peduli tentang perasaan orang atau kita tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.

Namun, tidak jujur ​​adalah tidak menghormati, kuncinya adalah berbagi informasi negatif atau tidak setuju dengan orang lain dengan cara tetap berkomunikasi secara hormat.

Tak seorangpun akan tahu.

Kita mungkin akan memaafkan perilaku yang tidak memenuhi standar etika karena “tidak ada yang akan dirugikan”.

Menggunakan posisinya untuk mempengaruhi hal-hal yang kurang sesuai kepada bawahan/staf, meminta bantuan khusus atau fasilitas, atau berbagi informasi rahasia kepada orang lain mungkin tampak mudah dan tidak berbahaya, tetapi etika kepercayaan dilanggar.

Semua orang melakukannya.

Ketika banyak orang lain bertindak dengan cara-cara yang tidak etis, bukanlah izin bagi kita untuk juga berperilaku yang tidak etis.

Praktek atau sistem di beberapa organisasi dan kelompok mungkin begitu mendarah daging bahwa mereka tampaknya dapat diterima bahkan jika mereka secara etika dipertanyakan. Pemimpin etis akan selalu mengevaluasi perilakunya terhadap kode etik.