Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Wednesday 15 October 2014

Proposal Penelitian Deskriptif



 

Analisis Semiotik pada Kumpulan Fabel-Fabel Politik

Mengusir Matahari Karya Kutowijoyo


1.      Latar Belakang
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah dianalisis. Dalam analisis karya sastra harus diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. (Hill dikutip oleh Pradopo, 1995: 108)
Dalam kesusastraan dikenal bermacam-macam jenis sastra (genre). Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama.. Menurut Basuki (2004:4) di dalam karya sastra terkandung nilai kehidupan seperti ajaran moral, tradisi, pedoman hidup, dll. Dengan kata lain karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat pada zamannya. Karya sastra dipandang sebagai salah satu hasil karya yang memuat sumber yang paling otentik dan dapat memberikan informasi sejarah dan pemikiran yang pernah berkembang pada kurun waktu tertentu (Bafadal, 2005:3).
Nurgiyantoro (1995 : 22-23) membagi unsur yang membangun sebuah karya sastra (prosa) atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur yang dimaksud, misalnya, peristiwa, cerita plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Karya sastra meupakan hasil kreatifitas pengarangnya. Sebagai karya sastra, tentunya bahasa yang digunakannya pun merupakan bahasa yang bersifat konotatif (tersirat) karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo merupakan salah satu bentuk dari karya sastra bergenre prosa. Kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari tersebut merupakan hasil kreatifitas pengarangnya terhadap peristiwa pada masannya. Dalam buku tersebut diceritakan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru yang sudah berlangsung selama 32 tahun. Peristiwa-peristiwa tersebut misalkan peristiwa demonstrasi-demonstrasi mahasiswa, pemerintahan Presiden Habibi, dan reaksi masyarakat terhadap gelombang reformasi. Semua peristiwa tersebut dituangkan dalam bentuk cerita berjenis fabel artinya penokohan dalam cerita tersebut diperankan oleh binatang yang berperan sebagai manusia dalam menjalankan kehidupan. Fabel adalah cerita tentang kehidupan yang diperankan oleh binatang. Cerita ini dimaksudkan agar menjadi teladan bagi kehidupan manusia pada umumnya. Fabel-fabel yang ditulis dalam rentang waktu dua tahun ini mencoba menyoroti perjalanan politik bangsa menjelang pemilu 1997. gerakan Reformasi, lengsernya presiden ke-2 (Soeharto) dan pertentangan politik pada awal pemerintahan presiden ke-3 (Habibie).
Berkaitan dengan hal tersebut, bahasa yang digunakan dalam cerita fabel tersebut tentunya merupakan bahasa konotasi. Artinya, bahasa yang digunakan dalam fabel tersebut merupakan bahasa metafora yang didalamnya terkandung makna yang tidak sebenarnya. Menurut Pardopo (1995:118), sebuah karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Lebih lanjut ia mengatakan tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Oleh karena itu, agar makna suatu karya sastra dapat dimengerti secara optimal diperlukan suatu pendekatan yang tepat. Salah satu pendekatan yang sesuai digunakan dalam mengkaji sistem tanda tersebut adalah pendekatan semiotik.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Adapun semiotik yaitu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger dikutip oleh Pradopo, 1995: 119).
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan Di dalam semiotik tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yang artinya. Contohnya kata “ ibu ”merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Tanda itu tidak haya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks, dan simbol.
Dalam fabel politik tersebut, terdapat salah satu fabel yang berjudul Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing. Dalam fabel tersebut terdapat tanda-tanda yang perlu dicarikan maknanya. Sebagai gajah merupakan tanda yang melambangkan binatang yang besar dan kuat. Sedangkan kambing merupakan tanda yang melambangkan binatang yang kecil dan lemah. Namun, dibalik tanda itu, gajah dipakai untuk menandakan seorang penguasa yang yang memiliki nafsu yang kuat yang selalu ingin berkuasa sedangkan kambing melambangkan rakyat atau masyarakat yang tertindas dan sengasara diakibatkan penindasan sang penguasa.
Penelitian tentang semiotik sudah banyak dilakukan. Wijayanti  pernah melakukan peneltian tentang semiotika dengan judul Poligami dalam Media Perempuan : Analisis Semiotik pada Majalah Femina dan Paras. Penelitian tersebut berusaha menemukan gagasan dominan dalam teks poligami yang dimuat majalah Femina dan Paras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Femina dan Paras memiliki gagasan dominan yang berbeda walau keduanya sama-sama majalah perempuan. Femina yang terus terang menyatakan diri sebagai majalah anti poligami memiliki gagasan dominan yang berbeda dengan Paras yang tidak anti poligami. Penelitian lainnya dilakukan oleh Walidin dan Suratno dengan judul penelitian Membaca Al-Mutannabbi dan Hubungannya dengan Tiga Penguasa Abbasiyah : Kajian Semiotik. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang terjalin erat antara Al-Mutanabbi dengan tiga penguasa Abbasiyah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu karakter al-Mutanabbi (setia, teguh pendirian, suka menolong, cerdas, sopan, dan juga arogan), karakteristik puisi (diplomasi, kontradiksi, hiperbola, pars pro toto), dan pola hubungan yang diciptakan (perlindungan, persahabatan, simbiosismutualsime). Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini berusaha untuk menerapkan kajian semiotic dalam upaya untuk mengungkap makna dalam karya sastra. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada objeknya. Jika pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak menganalisis puisi atau syair, dalam penelitian ini objek yang dikaji adalah karya sastra prosa bentuk fabel.  Berkaitan dengan hal tersebut peneliti mencoba untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Semiotik pada Kumpulan Fabel-Fabel Politik Mengusir Matahari Karya Kuntowijoyo.

2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah struktur yang membangun prosa pada kumpulan fable-fabel Mengusir Matahari
    karya Kuntowijoyo?
2.      Makna apa yang terkandung dalam tanda-tanda pada kumpulan fabel-fabel Mengusir Matahari
    karya Kuntowijoyo ?

3.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Mendeskripsikan struktur yang membangun prosa pada kumpulan fable-fabel Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo
2.      Mendeskripsikan makna apa yang terkandung dalam tanda-tanda pada kumpulan fabel-fabel Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo.

4.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. memberikan masukan dalam pengembangan apresiasi sastra khususnya bidang prosa;
2. menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam studi sastra dengan tinjauan semiotika.

5.      Landasan Teori 
A.    Teori Struktural

Penelitian sastra seharusnya bertolak dari interprestasi dan analisis karya sastra itu sendiri (Wellek dan Warren, 1989 : 157). Pendekatan yang bertolak dari dalam karya sastra itu disebut pendekatan objektif. Analisis struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam karya sastra itu sendiri. Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas unsur yang saling berhubungan. Untuk mengetahui kaitan antar unsur dalam karya sastra itu sangat tepat jika penelaahan teks sastra diawali dengan pendekatan struktural.
Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia karya sastra antara lain alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat (Ratna, 2004:19-94) Analisis struktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan.(Nurgiyantoro, 2000: 37).
Menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 67), tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tokoh menurut Nurgiyantoro (1995: 173) adalah pelaku, sekaligus penderita kejadian dan penentu perkembangan cerita baik itu dalam cara berfikir, bersikap, berperasaan, berperilaku, dan bertindak secara verbal maupun non verbal. Latar menurut Sudjiman (1991 : 44), adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Alur menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113), adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
            Adapun Aminuddin (2000: 80-81) menambahkan bahwasanya dalam memahami watak tokoh utama, pembaca dapat menelusurinya lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungannya maupun cara berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh it berbicara tentang dirinya, (5 memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9 melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
B.     Teori Semiotik
            Menganalisis karya sastra berarti memahami makna karya sastra. Untuk menganalisis karya sastra, selain berdasarkan strukturalisme, juga diperlukan analisis berdasrkan teori yang lain yang disebut dengan teori semiotik. (Pradopo dalam Jabrohim, 2001 : 98)
            Menurut Hartoko (1986:131), semiotik dari kata Yunani ”semeion” yang berarti tanda. Ilmu yang meneliti tanda – tanda, sistem–sistem tanda dan proses suatu tanda diartikan. Tanda adalah sesuatu yang menunjukkan kepada barang lain, yang mewakili barang lain itu. Tanda bersifat representatif. Tanda dan hubungan dengan dengan tanda – tanda lain, dengan barang yang dilambangkan, dan dengan orang yang memakai tanda itu. Bila ini diterapkan pada tanda–tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai relasi antara pengemban arti (signifiant), apa yang diartikan (signifie) bagi seorang (pembaca) yang mengenal sistem bahasa yang mengena sistem bahasa yang bersangkutan.
            Pierce (dalam Sukada, 1987: 35) menawarkan tiga kelompok tanda berdasarkan jenis hubungan antara item pembaca makna, dengan item yang ditunjukkannya :
1. Icon, adalah tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama, dengan apa yang dimaksudkannya. Misalanya, kesamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya.
2. Indeks, adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Misalnya asap merupakan suatu tanda adanya api, dan arah angin menunjukkan suatu tanda cuaca.
3. Simbol, adalah hubungan antara item penanda dengan item yang ditandainnya, yang tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata. Misalnya, gerakan tangan yang bergetar, dan lampu merah berarti ”berhenti” . pada dasarnya, contoh utama jenis ini adalah kata-kata, yang menunjukkan suatu bahasa.
            Adapun menurut Pradopo (2003: 120) bahwa ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, gambar kuda sebagai (penanda) yang menandai kuda (petanda). Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab-akibat antara penanda dengan petandanya. Misalnya api menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin dan lain sebagainya. Simbol adalah tanda yang bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu itu ditentukan oleh konvensi. Kata ibu dalam bahasa Indonesia merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita. Dan orang Inggris menyebutnya mother, sedangkan orang Prancis menyebutnya denagan La mere dan sebagainya.
            Dalam teks kesastraan ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, ia haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung penunjukkan ikon, menunjukkan banyaknya ciri ikon dibanding dengan dua jenis tanda yang lain. Begitu pula terhadap indeks dan simbol, ketiganya sulit dikatakan mana yang paling baik karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan perasaan. Dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan sebab akibat
            Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertektualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas ituperlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya makna karya sastra
            Berkaitan dengan analisis secara semiotik tersebut, Paradopo (2002:273), mengjabarkan dua masalah yang berkaitan dengan aplikasi model semiotik ini adalah sbb:
  1. Menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca
  2. Menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur, berdasarkan unsure atau elemen yang membentuknya.
            Kedua hal tersebut memiliki kaitan yang erat. Di satu pihak pengarang melalui kata-katanya sebagai pembawa makna ke dalam struktur karya sastra, di pihak lain pembacalah yang menafsirkan makna-makna tersebut. Keduanya senantiasa bersumber pada konvensi-konvensi budaya yang telah berlangsung sebagaimana dikandung dalam realita.

6.      Metodologi Penelitian
Adapun metode penelitian yang dilakukan pada skripsi ini ialah sebagai berikut :
A.    Metode dan Teknik Pengumpulan Data
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk struktur karya sastra fabel politik Mengusir Matahari dan mendeskripsikan makna dari penanda dan petanda yang terdapat dalam fabel tersebut. ini tujuan peneliti dapat tercapai
            Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan.. Data yang dikumpulkan berupa buku-buku acuan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer berupa kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo. Data sekunder berfungsi untuk lebih memperjelas, menguatkan masalah yang akan dibahas.

B.     Tahap Analisis Data
Tahap analisis data yang dilakukan adalah dengan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan struktur yang membangun fabel tersebut. Setelah itu, peneliti mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam teks fabel serta mencari panandanya. Agar memberikan makna secara mendalam terhadap penanda tersebut, tanda-tanda yang ada dalam karya satra dibandingkan dengan tanda-tanda yang memungkinkan diproduksi makna karya sastra tersebut.

C.    Sumber Data
Data yang dijadikan sebagai objek penelitian dengan menggunakan kajian semiotik dalam penelitian ini bersumber dari kumpulan fabel-fabel politik Mengusir Matahari karya Kuntowijoyo. Dalam buku tersebut terdapat 89 cerita fabel. Mengingat keterbatasan waktu, maka tidak semua fabel yang akan diteliti, akan tetapi peneliti hanya akan menganalisis 20 fabel saja. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggubnakan teknik acak (random sampling). Artinya peneliti akan mengambil fabel-fabel yang ada secara acak tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Basuki, Anhari, dkk. 1989. ”Metode Penelitian Sastra Lama”. Diktat Kuliah. Semarang : Fakultas Sastra Undip

Kuntowijyo. 1999. Mengusir Matahari: Fabel-Fabel Politik. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmat D. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1996.  Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Wellek dan Werren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : gramedia


No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!