Orang Indonesia
Malas Membaca!
Oleh Alamsari,
M.Pd.
(Tenaga Pendidik
di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Masyarakat
kita amnesia. Mereka malas membaca. Bagaimana mau cerdas kalau malas membaca?
Wajar saja jika Indonesia tak maju-maju sebab negara maju haruslah diawali
dengan masyarakatnya yang cerdas dan berpikiran maju.
“Buku adalah gerbang ilmu sedangkan
membaca adalah kuncinya” Itulah slogan yang sudah begitu sering kita dengar.
Slogan yang sederhana dan begitu bermakna. Bahkan untuk memperingatinya, pada
tanggal 17 Mei yang lalu, pemerintah menetapkannya sebagai hari Buku Nasional.
Tujuannya tak lain adalah untuk selalu mengingatkan masyarakat tentang
pentingnya membaca buku. Melalui hari buku tersebut diharapkan masyarakat kita
semakin gemar membaca buku, kapanpun dan dimanapun.
Namun, kenyataannya masyarakat kita
seperti amnesia. Mereka tahu bahwa buku itu sangat bermanfaat tetapi mereka
sendiri malas membacanya. Data dari UNESCO tahun 2011, menyebutkan dari
negara-negara di ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang
memiliki minat membaca paling rendah, yakni 1000:1. Artinya dari seribu
penduduk di Indonesia hanya satu orang saja yang memiliki minat membaca buku
yang tinggi. Survey lainnya dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun
2006 yang menyimpulkan bahwa hanya 23,5% saja penduduk Indonesia yang
menjadikan membaca sebagai sumber informasi.
Menilik pada realita tersebut tentunya
sungguh sangat ironis. Mengingat baru saja kita memperingati hari Kebangkitan Nasional,
nyatanya masyarakat Indonesia sekarang masih belum bangkit. Bangkit bukan dalam
arti melawan penjajah untuk menghilangkan ketertindasan. Namun, bangkit untuk
melawan kemiskinan dan kebodohan. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat sekarang
bisa bangkit kalau mereka sendiri malas membaca buku? Padahal buku adalah
sumber ilmu. Banyak hal yang dapat kita pelajari di dalamnya. Mulai dari
sejarah, peradaban, teknologi, dll. Melalui membaca buku juga akan meningkatkan
pengetahuan, memperluas wawasan, dan mempertajam cakrawala berpikir kita. Jika
demikian adanya, wajar saja jika negara kita selalu tak beranjak posisinya
sebagai negera berkembang karena logikanya untuk menjadi negara maju tentu
diawali dengan masyarakatnya yang cerdas dan berpikiran maju.
Mirisnya lagi, rendahnya minat
membaca buku ternyata tidak hanya menjangkiti orang-orang dewasa saja, namun
sudah menjalar sampai pada anak-anak (baca:generasi) kita. Laporan Bank Dunia menyebutkan
bahwa tingkat membaca anak-anak usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya 51,7%
saja. Jauh di bawah Filipina (52,6%), Thailand (65,1%) dan Singapura (74,0%).
Apa jadinya jika anak-anak yang kelak akan menjadi generasi penerus perjuangan
bangsa sudah malas membaca? Tentunya negara kita akan menetaskan generasi yang
kurang cerdas, tidak kritis, dan berwawasan sempit.
Faktor
Penyebab
Kurangnya minat membaca buku yang
mendera masyarakat kita sebenarnya tak lepas atas beberapa faktor penyebab. faktor
penyebab tersebut berhubungan dengan kultur budaya masyarakat, mahalnya harga
buku, dan kurang serta terbatasnya akses terhadap buku itu sendiri.
Kita tentu masih ingat, bertahun-tahun
yang lalu, sewaktu kita kecil orang tua kita memiliki kebiasaan bertutur
cerita. Menjelang tidur, orang tua kita akan menceritakan satu atau beberapa
kisah kepada anaknya. Sebuah tradisi yang sangat bagus. Entah disadari atau
tidak, menurut hemat penulis tradisi tersebut tentu dapat memberikan efek
positif terhadap upaya mendorong minat membaca di kalangan masyarakat terutama
di kalangan anak-anak kita.
Tradisi menyuruh anak untuk belajar pada
malam hari juga sangat baik. Setiap malam orang tua tak lupa berulang-ulang
kali menyuruh dan mengingatkan anaknya untuk belajar (membaca buku). Hingga tak
heran jika orang tua kita dulu berhasil mencetak generasi yang cerdas dan
berwawasan luas. Namun, tradisi yang pernah dilestarikan itu kini telah hilang.
Orang tua dan anak-anaknya sudah begitu tergoda dengan pesatnya kemajuan
teknologi dan informasi. Kini, masyarakat kita lebih senang menonton televisi
atau mendengar radio saja. Sedangkan untuk membaca buku tampaknya tidak begitu
berselera.
Harga buku yang begitu mahal juga
menjadi penyebab utama kenapa minat membaca masyarakat rendah. Kemampuan
ekonomi masyarakat yang sebagian besar menegah ke bawah memunculkan paradigma bahwa
buku bukanlah sebagai kebutuhan. Masyarakat kita masih menjadikan sandang,
pangan, dan papan sebagai kebutuhan yang utama dan harus dipenuhi. Sehingga,
wajar jika tak terpikirkan oleh mereka untuk sekedar membeli buku apalagi
membacanya. Selama ketiga kebutuhan hidup tersebut terpenuhi, sudah cukup
baginya.
Sewaktu penulis masih mengeyam
pendidikan strata 1, pernah suatu ketika dosen penulis bertanya “Berapa buku
yang sudah kalian miliki?” Ketika itu penulis mencoba menghitung-hitung jumlah
buku yang pernah dibeli. Ternyata dalam satu tahun penulis hanya membeli
sepuluh buku saja. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang
seharusnya. Apa yang penulis utarakan hanyalah sekedar contoh yang mewakili
begitu banyaknya masyarakat kita yang minim kesadaran membaca buku. Namun
itulah realitanya. Harga buku yang mahal mau tak mau menjadikan masyarakat kita
harus pikir-pikir untuk membelinya.
Sebenarnya harga buku yang mahal
tersebut dapat diatasi melalui peran serta pemerintah dalam pemberian kemudahan
akses terhadap buku itu sendiri. Salah satu wujudnya yakni, melalui penyediaan
perpustakaan masyarakat yang lengkap dan memadai. Namun realitanya, sungguh
jauh dari apa yang diharapkan. Di setiap daerah hanya memiliki satu
perpustakaan saja. Bahkan ada beberapa daerah yang masih belum memiliki
perpustakaan. Lokasi perpustakaan yang jauh dari pusat kota juga berimbas pada
kurangnya minat masyarakat untuk datang kesana sekedar membaca-baca. Padahal
perpustakaan yang baik seharusnya didirikan di lokasi yang strategis dan mudah
dijangkau masyarakat.
Idealnya, di suatu daerah haruslah
memiliki lebih dari satu perpustakaan dengan jumlah koleksi yang banyak,
lengkap dan terbaru. Sebagai contoh, di kota Palembang hanya terdapat satu
perpustakaan saja. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari
satu juta jiwa, jumlah tersebut tentu tidak akan tertampung hanya dengan satu
perpustakaan. Belum lagi jumlah buku yang tersedia juga masih terbilang minim.
Tentu tidak akan sebanding dengan jumlah penduduk sebanyak itu. Setidaknya
butuh lima atau sepuluh perpustakaan besar dengan koleksi ratusan ribu buku
untuk dapat menampung dan memenuhi kebutuhan baca masyarakat kita.
Selain perpustakaan sebenarnya
pemerintah memiliki program “Mobil Pintar”. Sebuah mobil yang didesain secara
khusus dan didalamnya terdapat banyak buku. Pengoperasiannya pun sederhana,
Mobil Pintar akan berkeliling masuk dari kampung ke kampung untuk melayani
masyarakat yang ingin membaca. Namun, tampaknya program tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Mobil Pintar yang sudah banyak menghabiskan dana hanya
terbengkalai saja. Jarang sekali terlihat beroperasi masuk kampung ke kampung.
Padahal, jika program tersebut terlaksana dengan baik, tentu akan sangat
berimbas dalam menciptakan masyarakat yang gemar membaca di pelosok-pelosok kota/daerah
yang jauh dari pusat kota.
Untuk mengatasi rendahnya minat membaca
buku yang menjangkiti masyarakat kita, tentunya diperlukan kerjasama yang erat
dari berbagai pihak. Orang tua, guru, dan pemerintah haruslah bersama-sama
mencari solusi untuk menciptakan masyarakat yang sadar baca. Jika kita benar-benar serius untuk memberantas
malas baca di tengah masyarakat kita itu, pada akhirnya nanti, penulis yakin
apa yang diharapkan akan benar-benar terwujud, yakni menjadikan Indonesia
sebagai negara yang maju dan bermartabat. Semoga saja!
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!