Antara Monpera dan Ampera
Oleh Alamsari
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
“Katakan
padaku Rasti, berita apa yang kau dengar pagi ini? Tampaknya kau begitu
terburu-buru, kupikir pasti ada berita yang begitu penting untuk kau
ceritakan.” Ucapku pada Rasti; istriku. Sudah hampir setahun kami menikah. Saat
ini, istriku pun tengah mengandung tujuh
bulan.
Rasti
datang dengan muka pucat dan nafas yang terengah-engah. Padahal belum lama ia
pergi mengawal murid-muridnya Kunjungan Edukatif ke berbagai tempat bersejarah
di kota Palembang. Tetapi, pagi ini baru saja Rasti pergi ia pun pulang dengan
berlinang air mata. Seraya memberikan sebuah koran yang dibawanya kepadaku.
Koran itu tampak tak berbentuk lagi karena runyek digenggam dengan begitu erat hingga
pada beberapa bagiannya tampak seperti akan sobek.
Kubaca
koran yang diberikannya padaku dengan seksama. “Tentu ada sesuatu yang begitu
penting” Pikirku. Namun, kubaca halaman demi halaman, tak ada satupun berita yang
aneh. Menurutku semua berita yang ada dalam koran itu biasa-biasa saja. Tak ada
yang perlu ditangisi.
“Tidakkah
mas menyesalinya?” Gumam Rasti padaku.
“Apa
maksud perkataanmu Rasti? Aku sungguh tak mengerti.” Ucapku padanya
Rasti
terdiam sesaat. Mulutnya gemetaran menahan tangis yang menderanya.
“Mas
masih ingat perempuan tua yang selalu ada di depan Monpera?” Tanyanya tiba-tiba
padaku.
Aku
mencoba mengingat-ingat. Ada banyak perempuan tua di sana.
“Perempuan
tua yang setiap pagi selalu duduk bersimpuh tepat di depan Monpera mas!” Tutur
Rasti mencoba mengingatkanku tentang perempuan tua itu.
“Oh…Perempuan
itu. Ya! Aku ingat. Lalu kenapa dengannya?” Tanyaku penasaran.
Mendengarku
bertanya demikian, tangisan Rasti semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin
deras. Sesekali ia juga sesegukan karena tangisnya itu.
“Perempuan
tua itu mas. Ia mati mas. Jasadnya ditemukan terbujur membiru tepat di depan Monpera
mas.” Ucap Rasti menjelaskan peristiwa yang menimpa perempauan tua itu padaku.
“Oh…Begitu
rupanya. Lalu apa hubungannya denganmu? Dengan kita Rasti? Biarkan saja.
Bukankah kita bukan keluarganya.” Ucapku
Rasti
terdiam lagi. Dari raut wajahnya menampakkkan penyesalan yang begitu mendalam.
Tak berapa lama, ia pun bangkit lalu dengan sisa tenaga yang ada ia berjalan
terseok-seok menuju ke kamar. Tak berapa lama ia keluar kembali sambil memegang
poster gambar Garuda Pancasila yang sebelumnya dipajang di dinding kamar.
“
Mas tahu gambar apa ini?” Tanyanya padaku.
Aku
menjadi sangat heran. Aku bingung dengan maksud pertanyaannya.
“Apa
hubungan Pancasila dengan kematian perempuan itu” Pikirku dalam hati.
Belum
sempat aku berkata, Rasti tiba-tiba berujar lagi.
“Mas
tahu Monpera itu kan? Tepat di tengah-tengahnya ada lambang Pancasila juga kan?”
Ucapnya lagi.
Aku
hanya mengangguk. Aku belum mengerti alur pembicaraan itu. Benakku masih
dihujani tanda tanya besar. Aku sungguh tak tahu gerangan apa yang terjadi.
“Coba
terangkan padaku apa makna Monpera itu mas?” Tanyanya lagi.
“Ya
Rasti Monpera itu kan Monumen Perjuangan Rakyat. Ya kan?” Jawabku.
Rasti
terdiam lagi untuk kesekian kalinya. Tak lama kemudian ia pun menangis lagi.
“Bukankah
di sebelah Monpera berdiri kokoh Ampera mas?” Tanyanya lagi padaku.
“Ya!
Kau benar Rasti. Siapa yang tak tahu Ampera. Itukan jembatan kebanggan
Palembang. Jembatan yang penuh dengan sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa ini.”
“Ya
mas. Aku juga tahu itu. Lalu di depan Ampera ada sebuah tugu”
Aku
semakin heran dengan pertanyaannya. Kali ini Rasti sudah terlampau jauh.
Kupikir mungkin ia sudah terlalu letih karena memang sudah beberapa hari ini ia
disibukkan dengan tugas tambahan dari kepala sekolahnya. Lagi pula kandungannya
yang juga sudah begitu besar tentu membuatnya lebih mudah lelah.
“Kau
tentu lebih tahu dariku Rasti. Kau kan guru sejarah. Tak perlu kau tanyakan hal
itu padaku.” Ucapaku padanya.
“Di
depannya ada Tugu Malari mas. Mas tahu kan apa makna Malari itu?’ Tanyanya
padaku.
Pikiranku
tiba-tiba menerawang jauh. Mencoba mengingat kembali peristiwa lampau yang
begitu bersejarah itu. Kisah di balik Tugu Malari. Pertempuran antar pribumi
melawan penjajah yang banyak menelan korban jiwa.
“Mas…Perempuan
tua itu kau sering melihatnya kan?” Tanyanya lagi.
“
Ya Rasti. Aku sering melihatnya. Kau pun juga pernah melihatnya”
“Ya.
Mas tentu melihatnya. Setiap hari mas melihatnya karena mas memang melintasi
jalanan itu setiap hari”
Ya!
Perempuan tua itu memang sering kulihat. Kala hendak berangkat kerja, setiap
pagi, tepat di depan Monpera, aku memang selalu melihatnya. Perempuan itu duduk
bersimpuh di depannya ada kaleng kecil. Bajunya lusuh. Wajah, tangan, dan kakinya
dekil semua.
“Kapan
terakhir kali mas melihatnya”
Aku
terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali aku melihat
perempuan tua itu.
“Seingatku
empat hari yang lalu Rasti”
Ya!
Memang seingatku empat hari yang lalu aku masih melihatnya duduk di depan Monpera.
Hanya saja aku melihat hal yang berbeda. Waktu itu kulihat wajahnya tidak
biasa. Kulihat ia begitu pucat. Bajunya pun basah semua. Mungkin semlaman ia tak
beranjak dari sana sehingga hujan yang turun semalam membasahi sekujur tubuhnya.
Ia juga memegang sebuah bambu. Namun, bukan bambu runcing seperti senjata yang
para pejuang gunakan sewaktu melawan penjajah. Tetapi bambu yang dipegangnya
sama sekali tak runcing. Kupikir mungkin untuk menopang tubuhnya yang sudah renta
dan tak kuat lagi berjalan. Keesokan harinya, kala pagi kembali datang aku
sudah tak melihatnya lagi di sana. Kupikir ia pulang ke rumahnya atau mungkin
ia sudah pindah ke tampat yang lain.
“Sudahlah
Rasti. Aku heran denganmu. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?”
Rasti
kemudian terdiam. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar. Aku pun segera
menyusulnya. Kulihat ia berbaring. Mungkin ia sungguh begitu letih.
“Kapan
terakhir kali mas memberikan sedekah padanya?” Tanyanya lagi.
“Empat
hari yang lalu Rasti. Ya! Empat hari yang lalu, tepat sehari sebelum ia tak
kelihatan lagi di sana”
“Apakah
ia menerima uang yang mas berikan? Berapa banyak yang mas berikan?”
“Sudahlah
Rasti. Cukup! Untuk apa kau tanya hal itu. Untuk apa kau terlalu memperhatikan
nasibnya?” Suaraku meninggi.
Aku
kemudian berdiri menghadap jendela kamar. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhirup
udara segar pagi hari. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tak ingin bertengkar
dengan istriku. Apalagi hanya gara-gara masalah sepeleh seperti ini.
“Kau
tahu Rasti, di depan Monpera itu ada Masjid Agung. Masjid besar; kebanggaan
Palembang. Jemaahnya juga banyak.”
Kau
tahu pula. Jalanan itu setiap hari dilewati walikota. Gubernur pun tak jarang
lewat di sana. Kalau presiden datang juga pasti lewat di sana.”
Kulihat
Rasti perlahan berhenti menangis. Tampaknya ia sudah mulai tenang. Ia pun menatapku
dalam-dalam. Baru kali ini aku melihat tatapannya yang begitu tajam.
“Mas
perempuan tua itu mati dengan tubuh bersimbah darah mas. Tubuhnya penuh dengan
luka cakaran mas.” Ucap Rasti padaku.
Aku
semakin heran dengan perkataannya.
“Ah
sudahlah Rasti. Lupakanlah. Aku mau berangkat kerja dulu.”
Aku
pun segera keluar kamar. Bergegas memasang sepatu lalu segera berangkat ke
kantorku.
“Itu
cakaran Garuda mas. Garuda yang telah membunuhnya.” Ucap Rasti yang tiba-tiba
sudah berdiri di depan pintu rumah.
Aku
terus melaju menyusuri jalanan kota Palembang yang sudah begitu macet dan
sesak. Kota ini telah begitu pesat kemajuannya. Pembangunan di sana-sini.
Mal-mal semakin bertambah jumlahnya. gedung-gedung pun semakin tinggi menjulang.
Mobil dan motor ssudah tak berbilang. Pertanda perekonomian kota Palembang
semakin mapan seiring dengan semakin mapannya perekonomian warganya. Namun di
sisi lain, memang tak dapat dipungkiri, kemajuan kota ini hanya mampu dinikmati
oleh orang-orang kaya ataupun orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas saja.
Sisanya, pengemis, anak jalanan, gelandangan, harus tersingkir dari kota ini.
Kala
tiba mobilku melewati Monpera. Aku tak melihat lagi perempuan tua itu seperti
yang diceritakan istriku. Tanda-tandanya pun tak ada. Tak ada ceceran darah
ataupun garis polisi. Tak ada pula riuh orang yang lalu lalang memperbincangkan
kematian perempuan tua itu. Mungkin kematiannya memang tak penting. Toh,
perempuan tua itu memang bukan siapa-siapa. Namun, aku masih melihat hal yang
sama. Monpera yang ditengahnya ada lambang Burung Garuda. Disampingnya ada
Ampera yang berdiri gagah. Di depannya ada tugu saksi sejarah perjuangan rakyat
merebut kemerdekaan bumi pertiwi dari tangan penjajah.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!