Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Thursday 9 October 2014

Cerpen

Antara Monpera dan Ampera
Oleh Alamsari
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
“Katakan padaku Rasti, berita apa yang kau dengar pagi ini? Tampaknya kau begitu terburu-buru, kupikir pasti ada berita yang begitu penting untuk kau ceritakan.” Ucapku pada Rasti; istriku. Sudah hampir setahun kami menikah. Saat ini, istriku pun tengah mengandung  tujuh bulan.
Rasti datang dengan muka pucat dan nafas yang terengah-engah. Padahal belum lama ia pergi mengawal murid-muridnya Kunjungan Edukatif ke berbagai tempat bersejarah di kota Palembang. Tetapi, pagi ini baru saja Rasti pergi ia pun pulang dengan berlinang air mata. Seraya memberikan sebuah koran yang dibawanya kepadaku. Koran itu tampak tak berbentuk lagi karena runyek digenggam dengan begitu erat hingga pada beberapa bagiannya tampak seperti akan sobek.
Kubaca koran yang diberikannya padaku dengan seksama. “Tentu ada sesuatu yang begitu penting” Pikirku. Namun, kubaca halaman demi halaman, tak ada satupun berita yang aneh. Menurutku semua berita yang ada dalam koran itu biasa-biasa saja. Tak ada yang perlu ditangisi.
“Tidakkah mas menyesalinya?” Gumam Rasti padaku.
“Apa maksud perkataanmu Rasti? Aku sungguh tak mengerti.” Ucapku padanya
Rasti terdiam sesaat. Mulutnya gemetaran menahan tangis yang menderanya.
“Mas masih ingat perempuan tua yang selalu ada di depan Monpera?” Tanyanya tiba-tiba padaku.
Aku mencoba mengingat-ingat. Ada banyak perempuan tua di sana.
“Perempuan tua yang setiap pagi selalu duduk bersimpuh tepat di depan Monpera mas!” Tutur Rasti mencoba mengingatkanku tentang perempuan tua itu.
“Oh…Perempuan itu. Ya! Aku ingat. Lalu kenapa dengannya?” Tanyaku penasaran.
Mendengarku bertanya demikian, tangisan Rasti semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin deras. Sesekali ia juga sesegukan karena tangisnya itu.
“Perempuan tua itu mas. Ia mati mas. Jasadnya ditemukan terbujur membiru tepat di depan Monpera mas.” Ucap Rasti menjelaskan peristiwa yang menimpa perempauan tua itu padaku.
“Oh…Begitu rupanya. Lalu apa hubungannya denganmu? Dengan kita Rasti? Biarkan saja. Bukankah kita bukan keluarganya.” Ucapku
Rasti terdiam lagi. Dari raut wajahnya menampakkkan penyesalan yang begitu mendalam. Tak berapa lama, ia pun bangkit lalu dengan sisa tenaga yang ada ia berjalan terseok-seok menuju ke kamar. Tak berapa lama ia keluar kembali sambil memegang poster gambar Garuda Pancasila yang sebelumnya dipajang di dinding kamar.
“ Mas tahu gambar apa ini?” Tanyanya padaku.
Aku menjadi sangat heran. Aku bingung dengan maksud pertanyaannya.
“Apa hubungan Pancasila dengan kematian perempuan itu” Pikirku dalam hati.
Belum sempat aku berkata, Rasti tiba-tiba berujar lagi.
“Mas tahu Monpera itu kan? Tepat di tengah-tengahnya ada lambang Pancasila juga kan?” Ucapnya lagi.
Aku hanya mengangguk. Aku belum mengerti alur pembicaraan itu. Benakku masih dihujani tanda tanya besar. Aku sungguh tak tahu gerangan apa yang terjadi.
“Coba terangkan padaku apa makna Monpera itu mas?” Tanyanya lagi.
“Ya Rasti Monpera itu kan Monumen Perjuangan Rakyat. Ya kan?” Jawabku.
Rasti terdiam lagi untuk kesekian kalinya. Tak lama kemudian ia pun menangis lagi.
“Bukankah di sebelah Monpera berdiri kokoh Ampera mas?” Tanyanya lagi padaku.
“Ya! Kau benar Rasti. Siapa yang tak tahu Ampera. Itukan jembatan kebanggan Palembang. Jembatan yang penuh dengan sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa ini.”
“Ya mas. Aku juga tahu itu. Lalu di depan Ampera ada sebuah tugu”
Aku semakin heran dengan pertanyaannya. Kali ini Rasti sudah terlampau jauh. Kupikir mungkin ia sudah terlalu letih karena memang sudah beberapa hari ini ia disibukkan dengan tugas tambahan dari kepala sekolahnya. Lagi pula kandungannya yang juga sudah begitu besar tentu membuatnya lebih mudah lelah.
“Kau tentu lebih tahu dariku Rasti. Kau kan guru sejarah. Tak perlu kau tanyakan hal itu padaku.” Ucapaku padanya.
“Di depannya ada Tugu Malari mas. Mas tahu kan apa makna Malari itu?’ Tanyanya padaku.
Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh. Mencoba mengingat kembali peristiwa lampau yang begitu bersejarah itu. Kisah di balik Tugu Malari. Pertempuran antar pribumi melawan penjajah yang banyak menelan korban jiwa.
“Mas…Perempuan tua itu kau sering melihatnya kan?” Tanyanya lagi.
“ Ya Rasti. Aku sering melihatnya. Kau pun juga pernah melihatnya”
“Ya. Mas tentu melihatnya. Setiap hari mas melihatnya karena mas memang melintasi jalanan itu setiap hari”
Ya! Perempuan tua itu memang sering kulihat. Kala hendak berangkat kerja, setiap pagi, tepat di depan Monpera, aku memang selalu melihatnya. Perempuan itu duduk bersimpuh di depannya ada kaleng kecil. Bajunya lusuh. Wajah, tangan, dan kakinya dekil semua.
“Kapan terakhir kali mas melihatnya”
Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali aku melihat perempuan tua itu.
“Seingatku empat hari yang lalu Rasti”
Ya! Memang seingatku empat hari yang lalu aku masih melihatnya duduk di depan Monpera. Hanya saja aku melihat hal yang berbeda. Waktu itu kulihat wajahnya tidak biasa. Kulihat ia begitu pucat. Bajunya pun basah semua. Mungkin semlaman ia tak beranjak dari sana sehingga hujan yang turun semalam membasahi sekujur tubuhnya. Ia juga memegang sebuah bambu. Namun, bukan bambu runcing seperti senjata yang para pejuang gunakan sewaktu melawan penjajah. Tetapi bambu yang dipegangnya sama sekali tak runcing. Kupikir mungkin untuk menopang tubuhnya yang sudah renta dan tak kuat lagi berjalan. Keesokan harinya, kala pagi kembali datang aku sudah tak melihatnya lagi di sana. Kupikir ia pulang ke rumahnya atau mungkin ia sudah pindah ke tampat yang lain.
“Sudahlah Rasti. Aku heran denganmu. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?”
Rasti kemudian terdiam. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar. Aku pun segera menyusulnya. Kulihat ia berbaring. Mungkin ia sungguh begitu letih.
“Kapan terakhir kali mas memberikan sedekah padanya?” Tanyanya lagi.
“Empat hari yang lalu Rasti. Ya! Empat hari yang lalu, tepat sehari sebelum ia tak kelihatan lagi di sana”
“Apakah ia menerima uang yang mas berikan? Berapa banyak yang mas berikan?”
“Sudahlah Rasti. Cukup! Untuk apa kau tanya hal itu. Untuk apa kau terlalu memperhatikan nasibnya?” Suaraku meninggi.
Aku kemudian berdiri menghadap jendela kamar. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhirup udara segar pagi hari. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tak ingin bertengkar dengan istriku. Apalagi hanya gara-gara masalah sepeleh seperti ini.
“Kau tahu Rasti, di depan Monpera itu ada Masjid Agung. Masjid besar; kebanggaan Palembang. Jemaahnya juga banyak.”
Kau tahu pula. Jalanan itu setiap hari dilewati walikota. Gubernur pun tak jarang lewat di sana. Kalau presiden datang juga pasti lewat di sana.”
Kulihat Rasti perlahan berhenti menangis. Tampaknya ia sudah mulai tenang. Ia pun menatapku dalam-dalam. Baru kali ini aku melihat tatapannya yang begitu tajam.
“Mas perempuan tua itu mati dengan tubuh bersimbah darah mas. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran mas.” Ucap Rasti padaku.
Aku semakin heran dengan perkataannya.
“Ah sudahlah Rasti. Lupakanlah. Aku mau berangkat kerja dulu.”
Aku pun segera keluar kamar. Bergegas memasang sepatu lalu segera berangkat ke kantorku.
“Itu cakaran Garuda mas. Garuda yang telah membunuhnya.” Ucap Rasti yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu rumah.
Aku terus melaju menyusuri jalanan kota Palembang yang sudah begitu macet dan sesak. Kota ini telah begitu pesat kemajuannya. Pembangunan di sana-sini. Mal-mal semakin bertambah jumlahnya. gedung-gedung pun semakin tinggi menjulang. Mobil dan motor ssudah tak berbilang. Pertanda perekonomian kota Palembang semakin mapan seiring dengan semakin mapannya perekonomian warganya. Namun di sisi lain, memang tak dapat dipungkiri, kemajuan kota ini hanya mampu dinikmati oleh orang-orang kaya ataupun orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas saja. Sisanya, pengemis, anak jalanan, gelandangan, harus tersingkir dari kota ini.
Kala tiba mobilku melewati Monpera. Aku tak melihat lagi perempuan tua itu seperti yang diceritakan istriku. Tanda-tandanya pun tak ada. Tak ada ceceran darah ataupun garis polisi. Tak ada pula riuh orang yang lalu lalang memperbincangkan kematian perempuan tua itu. Mungkin kematiannya memang tak penting. Toh, perempuan tua itu memang bukan siapa-siapa. Namun, aku masih melihat hal yang sama. Monpera yang ditengahnya ada lambang Burung Garuda. Disampingnya ada Ampera yang berdiri gagah. Di depannya ada tugu saksi sejarah perjuangan rakyat merebut kemerdekaan bumi pertiwi dari tangan penjajah.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!