![]() |
(Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fberitadiy.pikiran-rakyat.com%) |
Perubahan untuk menggapai masa depan dan
asa. Itulah yang ingin disampaikan dalam film Tanah Cita-Cita. Film yang
disutradarai Anton Mabruri (2016) menceritakan seorang kepala sekolah (Rayhan)
di sebuah SD yang menginginkan perubahan di dalam metode pembelajaran. Siswa tidak
harus belajar di kelas, tetapi mereka bisa belajar di mana saja. Menurut Rayhan
metode pembelajaran konvensional hanya membuat
siswa jemu belajar sehingga tidak akan meningkatkan mutu pendidikan.
Perubahan yang dilakukan Rayhan mendapat
banyak pertentangan. Dari kalangan internal—Adalah Asta Cita, seorang guru muda
yang baru datang dari kota. Pada awal kedatangannya, Ibu Cita begitu kaget
dengan kondisi sekolah, di mana anak-anak diberikan kebebasan dalam belajar. Ibu
Cita berulang kali protes kepada Rayhan karena menurutnya metode pembelajaran seperti
itu hanya membuat siswa menjadi tidak disiplin. Sebagai pemimpin, Rayhan berusaha
menjelaskan dengan sabar. Tidak hanya itu, ia juga mempraktikan langsung metodenya
itu. Rayhan meminta Ibu Cita mengikutinya bersama anak-anak untuk belajar di
hutan, pantai, atau kebun. Di sana, Rayhan memberi materi pelajaran melalui
cara yang menarik, misalnya meminta anak mengumpulkan dedaunan untuk
menjelaskan mengenai klorofil atau mengajak anak membakar jagung sambil belajar
sejarah. Seiring waktu, Ibu Cita akhirnya memberikan dukungan penuh kepada Rayhan
karena menurutnya metode itu berhasil membawa perubahan.
Film Tanah Cita-Cita sebenarnya semakin
menarik dengan adanya alur benturan budaya. Pacoa
jara adalah tradisi unik sekaligus menjadi lambang martabat diri masyarakat
Bima. Budaya pacoa jara dalam film
Tanah Cita-Cita diwujudkan melalui sosok anak lelaki bernama Bima. Suatu waktu ketika
Rayhan mengajak siswa belajar di hutan, Bima terjatuh dan kakinya terluka. Ayah
Bima (Zainal) marah besar kepada Rayhan karena akibat kaki anaknya yang terluka itu,
Bima tidak bisa latihan pacoa jara.
Kemarahan Zainal kepada Rayhan semakin menjadi-jadi manakala termakan hasutan Nasrudin
(Pak Kades). Nasrudin yang sejak awal sudah membenci Rayhan—menghasut Zainal
dan orang tua siswa lainnya agar melakukan protes kepada Rayhan. Kebencian
Nasrudin bermula dari gosip yang tersebar di desa bahwa Rayhan akan mencalonkan
diri menjadi kades. Nasrudin tidak ingin Rayhan menjadi saingannya.
Namun sayang, benturan antara gagasan Rayhan
dengan budaya setempat (pacoa jara)
belum mampu digarap dengan baik. Akibatnya, banturan budaya tersebut hanya sekadar
menjadi pemanis alur cerita. Ide sentral “perubahan” yang ingin ditunjukan
dalam film ini, menjadi hambar dan antiklimaks. Padahal jika
benturan budaya tersebut ditonjolkan sejak awal cerita, tentu film ini akan menjadi
sangat menarik.
Kehambaran ide “perubahan” juga terlihat
dalam salah satu adegan, dimana pada puncaknya Rayhan didatangi warga untuk
dimintai pertanggungjawaban terkait ide apa yang ia terapkan di sekolah. “Saya ingin melahirkan inovasi baru. Sekolah
sebagai taman belajar. Siswa datang dengan senang, belajar dengan riang, dan
meninggalkan sekolah dengan berat hati.” Akan tetapi, pemikiran yang
dilontarkan Rayhan dalam cerita tersebut harusnya belum mampu memantik konflik diantara
keduanya. Mengapa? Karena ide briliant yang disampaikan dalam cerita tersebut
pada prinsipnya hanyalah ide biasa. Ide tersebut adalah lumrah dan banyak
ditemui di berbagai sekolah sehingga ide tersebut bukanlah masalah besar yang
harus mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Terlepas dari kehambaran ide cerita, Film Tanah Cita-Cita menyisipkan pesan moral bahwasnya Tanah Indonesia adalah tanah cita-cita bagi siapa saja yang ingin mewujudkannya.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!