TULISAN INI ADALAH TULISANKU YANG DIMUAT DI TRIBUN SUMSEL TANGGAL 25 FEBRUARI 2015.
SAATNYA GURU BARU
Oleh Alamsari, M. Pd.
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
(Wakil Ketua MGMP Bahasa Indonesia Kab. Ogan Ilir)
“Merosotnya
kualitas pendidikan Indonesia tak terlepas dari kualitas guru itu sendiri.
Harus diakui, begitu banyak masalah yang diderita guru kita. Masalah itu sudah
sedemikian kompleksnya hingga membuat pendidikan menjadi kritis”
Guru adalah
sosok yang digugu dan ditiru. Upayanya dalam mencerdaskan anak bangsa
menjadikan guru sebagai tokoh sentral yang perlu mendapatkan perhatian khusus
sebab di tangan gurulah keberhasilan pendidikan ditentukan. Guru yang
berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Lulusan yang
berkualitas akan menjadikan pendidikan menjadi unggul. Namun kenyataannya,
harus diakui guru kita telah “terlelap” dalam tidurnya hingga mereka lupa jika
waktu telah berganti dan zaman semakin canggih. Akibatnya, masih kita temui banyak
guru yang mengajar dengan pola lama, yakni mengajar seperti menuangkan air ke
dalam gelas kosong. Tak hanya itu, banyak pula ditemui guru dengan sikap mental
yang “lemah”. Mereka mudah menyerah dan malas berusaha. Jika demikian, wajar
saja pendidikan Indonesia semakin tertinggal dibandingkan negara tetangga.
Setidaknya, itulah yang ditunjukkan dari hasil studi Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2012
yang menempatkan pendidikan Indonesia terburuk kedua dari 65 negara. Sungguh
ironis bukan?
Pakar pendidikan
sepakat mengatakan jika ingin membenahi masalah pendidikan maka benahilah
gurunya. Masalah yang diderita guru kita memang sudah sedemikian kompleksnya.
Permasalahan itu bahkan sudah begitu kronis hingga menyebabkan pendidikan menjadi
kritis. Jika didiamkan apalagi dalam jangka waktu lama—bukan mustahil
kedepannya pendidikan kita akan semakin terpuruk saja. Apalagi mengingat tahun
2015 sebagai tahun Masyarakat Ekonomi Asean (MEE) dimana warga negara lain
bebas menyerbu Indonesia dalam sektor apa saja maka sudah sepatutnya Revolusi Mental guru seperti yang pernah
dicanangkan Mendikbud Anies Baswedan segera dilaksanakan.
Jangan terkejut
bila kita masih mendapati banyak guru yang justru tidak paham dengan tugas dan
fungsinya sebagai pendidik. Mereka hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja
tanpa memberikan pendidikan yang bernilai kepada anak didiknya. Di depan kelas
guru berkoar-koar menyampaikan teori namun guru lupa memberikan teladan
perilaku yang berarti. Sudah menjadi hal yang lumrah nampaknya, jika banyak
guru pria yang merokok di lingkungan sekolah. Padahal, merokok adalah perbuatan
yang tidak patut dicontoh. Bagi guru wanita banyak pula yang menghabiskan waktu
untuk sekedar “ngerumpi”
membincangkan kejelekan orang lain di kantor atau bahkan tak jarang “ngerumpi” di kelas tepat di hadapan
murid-muridnya.
Walaupun zaman
sudah menginjak abad 21 tak sedikit guru yang masih menganut prinsip pendidikan
diktator. Guru memukul atau bahkan menampar siswa yang dianggap telah melakukan
kesalahan. Guru seperti itu beranggapan bahwa hanya dengan kekerasanlah akhlak
anak bisa ditempa. Tidak banyak guru yang mau menrima kritik dari muridnya.
Guru masih beranggapan bahwa mereka adalah sosok yang lebih pintar dan serba
bisa sedangkan murid-muridnya hanylah manusia “bodoh” dan lemah. Padahal,
seiring perkembangan teknologi pola seperti itu sudah tak zaman lagi. Informasi
dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Kenyataannya, murid-murid justru
lebih banyak yang pintar dan berwawasan luas melebihi gurunya.
Dari segi
penguasaan teknologi—harus diakui guru-guru kita masih banyak yang gagap.
Banyaknya guru yang gaptek memang
disebabkan oleh pola pendidikan pada masa lampau. Pada masa itu, Indonesia
belumlah maju seperti saat ini. Sangat sedikit yang memiliki komputer atau
laptop terlebih lagi mengoperasikannya. Sebenarnya, masalah gaptek bukanlah masalah serius asalkan
guru mau belajar mengoperasikannya pasti guru bisa. Namun yang menjadi
persoalan adalah ketika banyak guru yang bermental “lemah”; malas dan mudah
menyerah.
Penulis kembali
teringat dengan kisah berakhirnya Kurikulum 2013. Konon, salah satu alasan yang
menjadi penyebab dihentikannya kurikulum 2013 adalah karena banyak guru yang
merasa kesulitan dan tidak sanggup menerapkan kurikulum 2013 yang notabenenya adalah kurikulum
terintegrasi teknologi. Miris! Seorang guru hakikatnya harus siap menerima
segala perubahan yang ada—termasuk perubahan pola pembelajaran berbasis
teknologi. Namun, guru kita nampaknya sudah terlanjur malas dan enggan berusaha.
Pengalaman penulis, banyak guru yang memang tidak mau bersusah-susah belajar
teknologi—toh toko rental komputer sudah banyak tersedia atau bisa minta tolong
siswa yang mengerti teknologi sudah cukup baginya.
Masalah kronis
guru juga sudah menjalar hingga pada ranah evaluasi hasil belajar siswa.
Cobalah lakukan survay secara acak kepada guru tentang seberapa paham dalam
melakukan perancangan penilaian hasil belajar! Jawabannya tentu sangat sedikit
sekali yang mengerti. Sebagian besar guru hanya tahu bagian luarnya
saja—membuat soal, menilai jawaban siswa, dan memasukkan nilai yang diperoleh
ke dalam rumus serta menuliskan hasilnya dalam bentuk angka. Sangat sedikit
yang mengerti bahwa penilaian hasil belajar siswa tak sekedar menuliskan angka
akan tetapi lebih dari itu—memastikan apakah angka yang ditulis memang layak
dan sesuai serta teruji kebenarnnya dengan menggunakan metode ilmiah. Akibatnya
bisa ditebak, terjadi kesenjangan pendidikan antara satu sekolah dengan sekolah
lainnya. Siswa dengan nilai 90 pada sekolah A belum tentu kemampuannya lebih
unggul dibandingkan siswa dengan nila 60 dari sekolah B atau sebaliknya.
Masalah lain
yang patut mendapat sorotan adalah minimnya guru yang berjiwa kreatif dan
inovatif. Bukan hal yang umum, jika dalam mengajar guru hanya menggunakan satu
metode pembelajaran saja bahkan tak sedikit yang tidak menggunakan metode
apapun (Catat Buku Sampai Abis (CBSA)). Jiwa kreatif dan inovatif sangat
penting dimiliiki guru karena dengan selalu berkreasi dan berinovasilah guru
dapat menemukan masalah dan menentukan pola pembelajaran seperti apa yang tepat
bagi anak didiknya. Selama ini guru cenderung pasif dalam arti hanya menerima
apa yang disampaikan dan tidak mau berpikir kritis—mempertanyakan atau mengolah
informasi itu menjadi lebih kreatif dan inovatif. Akibatnya guru kita menjadi
kaku sehingga pembelajaran di kelas menjadi tidak bermakna.
Pola hidup guru
juga tak luput dari masalah. Seiring waktu, guru yang sejak dahulu dikenal
berpola hidup sederhana—perlahan-lahan telah berubah ke arah konsumerisme dan
bermewah-mewah. Guru berlomba-lomba memakai pakaian yang bagus dan berharga wah atau berlomba-lomba membeli mobil
mewah. Khusus guru wanita—tak sedikit yang ketika mengajar wajahnya dihias bak
model ternama serta di tangannya melingkar gelang emas berkilau cahaya. Memang
tak dapat disalahkan sepenuhnya—toh itu adalah hak mereka bagaimana menghiasi
hidupnya. Apalagi kondisi keuangan mereka mumpuni seiring diberikannya
tunjangan tambahan penghasilan (sertifikasi). Namun, alangkah bijaknya jika
guru-guru tetap berpola hidup sederhana. Boleh berlomba-lomba asalkan dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa,
Apa yang penulis paparkan di atas hanyalah
segelintir dari berbagai fenomena masalah yang diderita guru kita. Seiring
datangnya tahun baru—alangkah baiknya guru-guru mulai mengubah diri menjadi baru. Baru dalam arti meninggalkan
pola-pola lama yang tidak laku dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Memang perubahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang terpenting
adalah kemauan untuk berubah dan bukan sekedar tutur kata. Sudah saatnya guru
Indonesia bangun dari tidurnya dan “mengaum” kokoh berdiri menjadi macan Asia.
Sudah saatnya guru berpikir maju dan
bervisi masa depan pendidikan unggul dan gemilang. Jayalah pendidikan
Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!