Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Wednesday 8 April 2015

SAATNYA GURU BARU

TULISAN INI ADALAH TULISANKU YANG DIMUAT  DI TRIBUN SUMSEL TANGGAL 25 FEBRUARI 2015.

SAATNYA GURU BARU

Oleh Alamsari, M. Pd.
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
(Wakil Ketua MGMP Bahasa Indonesia Kab. Ogan Ilir)



“Merosotnya kualitas pendidikan Indonesia tak terlepas dari kualitas guru itu sendiri. Harus diakui, begitu banyak masalah yang diderita guru kita. Masalah itu sudah sedemikian kompleksnya hingga membuat pendidikan menjadi kritis”


Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Upayanya dalam mencerdaskan anak bangsa menjadikan guru sebagai tokoh sentral yang perlu mendapatkan perhatian khusus sebab di tangan gurulah keberhasilan pendidikan ditentukan. Guru yang berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Lulusan yang berkualitas akan menjadikan pendidikan menjadi unggul. Namun kenyataannya, harus diakui guru kita telah “terlelap” dalam tidurnya hingga mereka lupa jika waktu telah berganti dan zaman semakin canggih. Akibatnya, masih kita temui banyak guru yang mengajar dengan pola lama, yakni mengajar seperti menuangkan air ke dalam gelas kosong. Tak hanya itu, banyak pula ditemui guru dengan sikap mental yang “lemah”. Mereka mudah menyerah dan malas berusaha. Jika demikian, wajar saja pendidikan Indonesia semakin tertinggal dibandingkan negara tetangga. Setidaknya, itulah yang ditunjukkan dari hasil studi Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2012 yang menempatkan pendidikan Indonesia terburuk kedua dari 65 negara. Sungguh ironis bukan?
Pakar pendidikan sepakat mengatakan jika ingin membenahi masalah pendidikan maka benahilah gurunya. Masalah yang diderita guru kita memang sudah sedemikian kompleksnya. Permasalahan itu bahkan sudah begitu kronis hingga menyebabkan pendidikan menjadi kritis. Jika didiamkan apalagi dalam jangka waktu lama—bukan mustahil kedepannya pendidikan kita akan semakin terpuruk saja. Apalagi mengingat tahun 2015 sebagai tahun Masyarakat Ekonomi Asean (MEE) dimana warga negara lain bebas menyerbu Indonesia dalam sektor apa saja maka sudah sepatutnya Revolusi Mental guru seperti yang pernah dicanangkan Mendikbud Anies Baswedan segera dilaksanakan.
Jangan terkejut bila kita masih mendapati banyak guru yang justru tidak paham dengan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Mereka hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja tanpa memberikan pendidikan yang bernilai kepada anak didiknya. Di depan kelas guru berkoar-koar menyampaikan teori namun guru lupa memberikan teladan perilaku yang berarti. Sudah menjadi hal yang lumrah nampaknya, jika banyak guru pria yang merokok di lingkungan sekolah. Padahal, merokok adalah perbuatan yang tidak patut dicontoh. Bagi guru wanita banyak pula yang menghabiskan waktu untuk sekedar “ngerumpi” membincangkan kejelekan orang lain di kantor atau bahkan tak jarang “ngerumpi” di kelas tepat di hadapan murid-muridnya.
Walaupun zaman sudah menginjak abad 21 tak sedikit guru yang masih menganut prinsip pendidikan diktator. Guru memukul atau bahkan menampar siswa yang dianggap telah melakukan kesalahan. Guru seperti itu beranggapan bahwa hanya dengan kekerasanlah akhlak anak bisa ditempa. Tidak banyak guru yang mau menrima kritik dari muridnya. Guru masih beranggapan bahwa mereka adalah sosok yang lebih pintar dan serba bisa sedangkan murid-muridnya hanylah manusia “bodoh” dan lemah. Padahal, seiring perkembangan teknologi pola seperti itu sudah tak zaman lagi. Informasi dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Kenyataannya, murid-murid justru lebih banyak yang pintar dan berwawasan luas melebihi gurunya.
Dari segi penguasaan teknologi—harus diakui guru-guru kita masih banyak yang gagap. Banyaknya guru yang gaptek memang disebabkan oleh pola pendidikan pada masa lampau. Pada masa itu, Indonesia belumlah maju seperti saat ini. Sangat sedikit yang memiliki komputer atau laptop terlebih lagi mengoperasikannya. Sebenarnya, masalah gaptek bukanlah masalah serius asalkan guru mau belajar mengoperasikannya pasti guru bisa. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika banyak guru yang bermental “lemah”; malas dan mudah menyerah.
Penulis kembali teringat dengan kisah berakhirnya Kurikulum 2013. Konon, salah satu alasan yang menjadi penyebab dihentikannya kurikulum 2013 adalah karena banyak guru yang merasa kesulitan dan tidak sanggup menerapkan kurikulum 2013 yang notabenenya adalah kurikulum terintegrasi teknologi. Miris! Seorang guru hakikatnya harus siap menerima segala perubahan yang ada—termasuk perubahan pola pembelajaran berbasis teknologi. Namun, guru kita nampaknya sudah terlanjur malas dan enggan berusaha. Pengalaman penulis, banyak guru yang memang tidak mau bersusah-susah belajar teknologi—toh toko rental komputer sudah banyak tersedia atau bisa minta tolong siswa yang mengerti teknologi sudah cukup baginya.
Masalah kronis guru juga sudah menjalar hingga pada ranah evaluasi hasil belajar siswa. Cobalah lakukan survay secara acak kepada guru tentang seberapa paham dalam melakukan perancangan penilaian hasil belajar! Jawabannya tentu sangat sedikit sekali yang mengerti. Sebagian besar guru hanya tahu bagian luarnya saja—membuat soal, menilai jawaban siswa, dan memasukkan nilai yang diperoleh ke dalam rumus serta menuliskan hasilnya dalam bentuk angka. Sangat sedikit yang mengerti bahwa penilaian hasil belajar siswa tak sekedar menuliskan angka akan tetapi lebih dari itu—memastikan apakah angka yang ditulis memang layak dan sesuai serta teruji kebenarnnya dengan menggunakan metode ilmiah. Akibatnya bisa ditebak, terjadi kesenjangan pendidikan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Siswa dengan nilai 90 pada sekolah A belum tentu kemampuannya lebih unggul dibandingkan siswa dengan nila 60 dari sekolah B atau sebaliknya.
Masalah lain yang patut mendapat sorotan adalah minimnya guru yang berjiwa kreatif dan inovatif. Bukan hal yang umum, jika dalam mengajar guru hanya menggunakan satu metode pembelajaran saja bahkan tak sedikit yang tidak menggunakan metode apapun (Catat Buku Sampai Abis (CBSA)). Jiwa kreatif dan inovatif sangat penting dimiliiki guru karena dengan selalu berkreasi dan berinovasilah guru dapat menemukan masalah dan menentukan pola pembelajaran seperti apa yang tepat bagi anak didiknya. Selama ini guru cenderung pasif dalam arti hanya menerima apa yang disampaikan dan tidak mau berpikir kritis—mempertanyakan atau mengolah informasi itu menjadi lebih kreatif dan inovatif. Akibatnya guru kita menjadi kaku sehingga pembelajaran di kelas menjadi tidak bermakna.
Pola hidup guru juga tak luput dari masalah. Seiring waktu, guru yang sejak dahulu dikenal berpola hidup sederhana—perlahan-lahan telah berubah ke arah konsumerisme dan bermewah-mewah. Guru berlomba-lomba memakai pakaian yang bagus dan berharga wah atau berlomba-lomba membeli mobil mewah. Khusus guru wanita—tak sedikit yang ketika mengajar wajahnya dihias bak model ternama serta di tangannya melingkar gelang emas berkilau cahaya. Memang tak dapat disalahkan sepenuhnya—toh itu adalah hak mereka bagaimana menghiasi hidupnya. Apalagi kondisi keuangan mereka mumpuni seiring diberikannya tunjangan tambahan penghasilan (sertifikasi). Namun, alangkah bijaknya jika guru-guru tetap berpola hidup sederhana. Boleh berlomba-lomba asalkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa, 
Apa yang penulis paparkan di atas hanyalah segelintir dari berbagai fenomena masalah yang diderita guru kita. Seiring datangnya tahun baru—alangkah baiknya guru-guru mulai mengubah diri menjadi baru. Baru dalam arti meninggalkan pola-pola lama yang tidak laku dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Memang perubahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang terpenting adalah kemauan untuk berubah dan bukan sekedar tutur kata. Sudah saatnya guru Indonesia bangun dari tidurnya dan “mengaum” kokoh berdiri menjadi macan Asia. Sudah saatnya guru berpikir maju  dan bervisi masa depan pendidikan unggul dan gemilang. Jayalah pendidikan Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!