Antara
Monpera dan Ampera
Oleh
Alamsari
“Katakan padaku Rasti,
berita apa yang kau dengar pagi ini? Tampaknya kau begitu terburu-buru, kupikir
pasti ada berita yang begitu penting untuk kau ceritakan.” Ucapku pada Rasti; istriku.
Sudah hampir setahun kami menikah. Saat ini, istriku pun tengah mengandung tujuh bulan.
Rasti datang dengan muka
pucat dan nafas terengah-engah. Padahal belum lama ia pergi mengawal murid-muridnya
kunjungan edukatif ke berbagai tempat
bersejarah di kota Palembang. Pagi ini, baru saja ia
pergi, Rasti pulang dengan berlinang air mata. Seraya memberikan sebuah koran
yang dibawanya kepadaku. Koran itu nampak
tak berbentuk lagi karena renyek digenggam begitu erat hingga
pada beberapa bagiannya seperti akan sobek.
Aku heran akan
tingkah anehnya itu. Kubaca
koran yang diberikannya padaku. Aku pikir tentu Rasti ingin menunjukkan kabar penting padaku. Kubaca halaman demi halaman,
tak kulihat
satupun berita yang aneh. Semua
berita di koran
itu biasa-biasa saja. Sama seperti berita biasanya yang sering kubaca setiap
pagi sebelum aku berangkat kerja.
“Tak ada yang perlu
ditangisi, Rasti”. Kulemparkan
koran itu ke atas meja. Rasti terhenyak. Ia menatapku begitu tajam.
“Tidakkah Mas menyesalinya?” Rasti nampak begitu
murka. Baru kali ini aku melihat ia seperti itu.
Aku mencoba
tenang. Tak ingin aku terpancing emosi. Apalagi minggu kemarin darah tinggiku
baru saja turun.
Rasti diam sejenak. Mulutnya gemetar menahan
tangis. Mukanya juga begitu pucat. Kupikir sewaktu di jalan, ia melihat sebuah
peristiwa tragis.
“Mas masih ingat perempuan
tua yang selalu ada di depan Monpera?” Tanya Rasti padaku.
Aku mencoba
mengingat-ingat. Ada banyak perempuan tua di sana. Monpera adalah
objek wisata. Begitu banyak orang yang mampir ke sana. Ada yang duduk-duduk
santai; ada yang berfoto-foto, ada pedagang asongan, dan ada pengemis yang
meminta belas kasih para pengunjung.
“Perempuan tua
yang mana, Rasti? Mas tidak ingat. Lagi pula untuk apa mengurusi perempuan tua,
toh ia buka ibumu!“
Rasti menghela
nafas dalam-dalam. Giginya gemeretak seperti hendak menggigit seseorang.
Kupikir ia begitu marah dengan ucapanku tadi.
“Perempuan tua yang setiap
pagi selalu duduk bersimpuh tepat di depan Monpera mas! Perempuan yang
selalu berceloteh sendiri seperti orang gila itu!” Tutur Rasti mencoba mengingatkanku.
“Oh…Perempuan itu. Ya! Aku ingat.
Lalu kenapa dengannya?” Mendengarku
bertanya demikian, tangisan Rasti
semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin deras. Sesekali ia juga sesegukan
karena tangisnya itu.
“Perempuan tua itu mas. Ia telah mati. Mayatnya ditemukan terbujur membiru
tepat di depan Monpera mas.” Rasti berlari kepelukanku. Aku memeluknya erat berusaha
menenangkannya.
“Oh…Begitu rupanya. Sudahlah, Rasti!
Tak usahlah kau menangis. Aku juga turut bersedih. Lalu apa hubunganmu dengannya; Dengan kita? Biarkan saja.
Bukankah kita bukan keluarganya.”
Rasti terdiam. Raut wajahnya menampakkan
penyesalan begitu mendalam. Tak berapa lama dengan tenaga yang tersisa, Rasti berjalan terseok-seok
menuju kamar. Lima menit kemudian, Ia
keluar lagi
sambil memegang sebuah poster gambar Garuda Pancasila.
“Mas tahu gambar apa ini?”
Tanyanya padaku.
Aku sungguh sangat heran. Aku bingung
dengan maksud pertanyaan Rasti padaku.
“Apa hubungan Pancasila
dengan kematian perempuan itu?”
Tanyaku
pada Rasti.
“Mas tahu Monpera itu kan?
Tepat di tengah-tengahnya ada lambang Pancasila juga kan?”
Aku hanya mengangguk. Aku
belum mengerti benar
alur pembicaraan antara aku dan dia. Benakku masih bertanya-tanya. Aku sungguh tak tahu apa
yang terjadi sehingga membuat Rasti menjadi seperti ini.
“Coba terangkan padaku apa
makna Monpera itu mas?” Tanyanya lagi.
“Ya, Rasti! Monpera itu Monumen
Perjuangan Rakyat. Ya kan?”
Rasti terdiam lagi untuk
kesekian kalinya. Tak lama kemudian ia menangis lagi.
“Bukankah di sebelah
Monpera berdiri kokoh Ampera mas?” Tanyanya lagi padaku.
“Ya! Kau benar Rasti. Siapa
yang tak tahu Ampera. Itu adalah
jembatan kebanggan Palembang. Jembatan yang penuh dengan sejarah perjalanan
kemerdekaan bangsa ini.”
“Ya, mas. Aku juga tahu itu.
Lalu di depan Ampera ada sebuah tugu. Kau tahu tugu apa itu, mas?”
Aku semakin heran dengan
pertanyaannya itu. Kali
ini Rasti sudah terlampau jauh. Aku juga sudah semakin kesal. Kupikir mungkin Rasti sudah terlalu letih karena
memang sudah beberapa hari ini ia disibukkan dengan tugas tambahan dari kepala
sekolahnya. Lagi pula kandungannya yang sudah tujuh bulan juga turut membuatnya lebih mudah lelah sehingga
emosinya menjadi begitu labil.
“Kau tentu lebih tahu
dariku, Rasti.
Kau kan guru sejarah. Tak perlu kau tanyakan hal itu padaku.”
“Di depannya ada Tugu
Malari, mas. Mas
tahu kan apa makna Malari itu?’ Tanyanya lagi.
Aku masih mencoba
tenang. Tak ingin aku terlanjur emosi hingga aku menampar Rasti untuk kedua
kali. Cukup sekali aku telah berbuat aniaya padanya. Itupun tidak kusengaja.
Sewaktu pulang dari kantor, aku hendak merebahkan tubuhku sekedar melepas lelah
sejenak. Rasti tiba-tiba datang dan bertanya sesuatu yang aku sendiri tak tahu
apa maksud pertannyaannya itu. Berulang kali aku menjawab, Rasti masih
menanyakan hal yang sama. Ampera, Monpera, Pancasila, semua itu membuatku
pusing. Waktu itu, aku tak mampu lagi mengendalikan emosiku hingga akhirnya aku
menampar Rasti dengan keras di pipinya.
Kali ini, aku tak
ingin menampar Rasti lagi gara-gara pertanyaan yang sama. Aku mencoba mengikuti
apa kemauannya. Kucoba
mengingat kembali peristiwa lampau yang begitu bersejarah. Kisah di balik Tugu
Malari. Pertempuran antara
pribumi melawan penjajah yang banyak menelan korban jiwa.
“Mas…Perempuan tua itu, kau sering melihatnya kan?”
Tanyanya lagi.
“Ya, Rasti. Aku sering
melihatnya. Kau pun juga sering
melihatnya!” lalu apa
hubungannya dengan pertanyaanmu, Rasti.
“Ya. Mas tentu melihatnya.
Setiap hari mas melihatnya karena mas memang melintasi jalanan itu setiap hari” Celoteh Rasti
padaku.
Ya! Perempuan tua itu
memang sering kulihat. Kala hendak berangkat kerja--setiap pagi, tepat di depan Monpera, aku memang selalu
melihatnya. Perempuan itu duduk bersimpuh di depannya ada kaleng kecil, bajunya lusuh—wajah, tangan, dan kakinya
dekil semua.
“Kapan terakhir kali mas
melihatnya”
Kali ini aku diam. Mencoba mengingat-ingat kapan
terakhir kali aku melihat perempuan tua itu.
“Seingatku empat hari yang
lalu, Rasti” Memang seingatku empat hari
yang lalu aku masih melihatnya duduk di depan Monpera. Hanya saja aku melihat
hal yang berbeda. Waktu itu kulihat wajahnya tidak biasa. Kulihat ia begitu
pucat. Bajunya basah
semua. Mungkin semalaman
ia tak beranjak dari sana hingga hujan yang turun membasahi sekujur tubuhnya.
Ia juga memegang sebuah bambu. Namun, bukan bambu runcing seperti senjata yang para
pejuang gunakan waktu melawan penjajah dulu.
Bambu yang dipegangnya sama
sekali tak runcing. Kupikir mungkin untuk menopang tubuhnya yang sudah renta
dan tak kuat lagi berjalan. Kulihat pula, perempuan itu bergumam tak jelas. Mulutnya
menympah serapah orang-orang yang lewat di depannya. Kupikir perempuan tua itu
sudah betul-betul gila. Kemarin sewaktu aku berangkat kerja, aku sudah tak lagi melihatnya di sana. Kupikir ia pulang
ke rumah atau mungkin ia sudah pindah ke tempat
lain yang lebih ramai pengunjungnya.
“Sudahlah, Rasti. Aku heran padamu. Tak usah kua
urusi gelandangan seperti itu. Begitu banyak galandangan seperti dia di sini.
Kalau kau mengurusi mereka semua, kau lama-lama akan jadi gila. Apa yang sedang kau pikirkan, Rasti?”
Tanpa menjawab
pertannyaanku, Rasti kembali masuk ke kamar. Aku juga menyusulnya. Kulihat ia
berbaring. Mungkin memang benar seperti yang kuduga, ia hanya merasa letih saja. Baru saja aku
hendak berbaring di sampingnya, Rasti bangkit kembali.
“Kapan terakhir kali mas
memberikan sedekah padanya?” Tanyanya lagi.
Aku sudah begitu
kesal dengan ocehan tak jelas, Rasti. Aku masih mencoba bersabar menghadapinya.
“Empat hari yang lalu. Ya!
Empat hari yang lalu, tepat sehari sebelum ia tak kelihatan lagi di sana”
“Apakah ia menerima uang
yang mas berikan? Berapa banyak yang mas berikan?”
“Ah! Sudahlah, Rasti. Cukup! Untuk apa kau
tanya hal itu. Untuk apa kau terlalu memperhatikan nasibnya?” Suaraku meninggi.
Aku kemudian berdiri
menghadap jendela kamar. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhirup udara segar pagi
hari. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tak ingin bertengkar dengan istriku.
Apalagi hanya gara-gara masalah sepeleh seperti ini.
“Kau tahu, Rasti! Di depan Monpera itu ada
Masjid Agung. Masjid besar; kebanggaan Palembang, jemaahnya banyak.”
“Kau tahu pula! Jalanan itu setiap hari
dilewati walikota. Gubernur juga sering lewat di sana. Kalau presiden datang pasti lewat di sana.”
Rasti menangis semakin
menjadi-jadi.
Ia menatapku begitu dalam.
Baru kali ini aku melihat tatapannya yang begitu tajam. Aku pun
sepertinya sudah tak sanggup lagi menahan amarahku padanya. Segera, kuambil
sepatu kerjaku. Lalu aku segera pergi meninggalkan Rasti.
Rasti
berteriak-teriak kepadaku. Teriakannya tak aku gubris.
“Mas, perempuan tua itu mati
dengan tubuh bersimbah darah mas. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran mas.”
Kuhidupkan mesin
mobilku. Kututup semua kaca jendela. Suara teriakan Rasti masih dapat kudengar
sayup-sayup. Perlahan mobilku melaju. Dari kejauhan masih dapat kudengar
teriakannya
“Itu cakaran Garuda mas.
Garuda telah membunuhnya.” Ucap Rasti sambil berlari mengejarku.
***
Aku terus melaju dengan kencang menyusuri jalanan kota
Palembang. Sampai di perempat lampu merah, mobilku melambat. Palembang sudah begitu macet dan
sesak. Tidak seperti dulu yang masih sepi dengan penduduk. Waktu itu masih banyak
hutan. Tetapi sekarang, kota
ini sudah
begitu pesat kemajuannya. Pembangunan di sana-sini. Mal-mal semakin bertambah banyak. Gedung-gedung semakin menjulang tinggi. Mobil dan motor sudah tak
terbilang
banyaknya.
Perekonomian Palembang sudah semakin mapan seiring
dengan semakin mapannya perekonomian warganya. Di sisi lain—tak dapat dipungkiri,
kemajuan kota ini hanya mampu dinikmati oleh orang-orang saja. Pengemis, anak jalanan,
gelandangan—mereka harus
tersingkir dari kota ini.
Kala tiba mobilku melewati
Monpera. Aku menghentikan mobilku. Turun dari mobil, kususuri sekitar Monpera. Bau
busuk menyengat dimana-mana. Pengemis berjajar disepanjangnya meminta sedekah.
Di ujung sudut Monpera, tiba-tiba kulihat seorang perempuan tua tubuhnya
bersimbah darah. Seraya menghadapkan wajah ke arah garuda, mulutnya
menyeracau—entah apa yang diucapkannya. Tak berapa lama, ia memandang ke
arahku—lalu menghilang entah kemana.
Kulihat jam
tanganku sudah pukul 08.00 wib. Aku segera meninggalkan tempat itu. Sudah
setengah jam aku terlambat ke kantor. Selama perjalanan, entah mengapa mulutnya
menyeracau tak karuan. Sepertinya Rasti, perempuan tua itu, Monpera—telah membuat
aku gila.
***
Di kantor aku
melamun saja. Roy, adik tiriku sekaligus teman kerjaku tiba-tiba mangagetkanku.
Rupanya sedari tadi, ia memperhatikan kelakuanku.
“Ada apa, Randy?
Kau memikirkan sesuatu?” tanya Roy!
Aku tak
menghiraukan pertanyaannya. Aku merasa begitu malas mengobrol dengan temanku.
“Ah! Okelah! Aku
tahu kau sedang banyak masalah!” Roy mengambil pena di saku bajuku, lalu
menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Ia lalu meletakkannya di atas mejaku
dan segera pergi. Aku mengambil kertas yang ditinggalkannya di atas meja.
“Kata saudara ibuku—ibumu menjadi pengemis di
depan Monpera. Kemarin, aku sudah memberitahukan kabar ini pada istrimu, Rasti”.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!