Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Monday 7 September 2015

ANTARA MONPERA DAN AMPERA


Antara Monpera dan Ampera
Oleh Alamsari

“Katakan padaku Rasti, berita apa yang kau dengar pagi ini? Tampaknya kau begitu terburu-buru, kupikir pasti ada berita yang begitu penting untuk kau ceritakan.” Ucapku pada Rasti; istriku. Sudah hampir setahun kami menikah. Saat ini, istriku pun tengah mengandung  tujuh bulan.
Rasti datang dengan muka pucat dan nafas terengah-engah. Padahal belum lama ia pergi mengawal murid-muridnya kunjungan edukatif ke berbagai tempat bersejarah di kota Palembang. Pagi ini, baru saja ia pergi, Rasti pulang dengan berlinang air mata. Seraya memberikan sebuah koran yang dibawanya kepadaku. Koran itu nampak tak berbentuk lagi karena renyek digenggam begitu erat hingga pada beberapa bagiannya seperti akan sobek.
Aku heran akan tingkah anehnya itu. Kubaca koran yang diberikannya padaku. Aku pikir tentu Rasti ingin menunjukkan kabar penting padaku. Kubaca halaman demi halaman, tak kulihat satupun berita yang aneh. Semua berita di koran itu biasa-biasa saja. Sama seperti berita biasanya yang sering kubaca setiap pagi sebelum aku berangkat kerja.
Tak ada yang perlu ditangisi, Rasti”. Kulemparkan koran itu ke atas meja. Rasti terhenyak. Ia menatapku begitu tajam.
“Tidakkah Mas menyesalinya?” Rasti nampak begitu murka. Baru kali ini aku melihat ia seperti itu.
Aku mencoba tenang. Tak ingin aku terpancing emosi. Apalagi minggu kemarin darah tinggiku baru saja turun.
“Apa maksud ucapanmu, Rasti? Aku sungguh tak mengerti.” Ucapku padanya.
Rasti diam sejenak. Mulutnya gemetar menahan tangis. Mukanya juga begitu pucat. Kupikir sewaktu di jalan, ia melihat sebuah peristiwa tragis.
“Mas masih ingat perempuan tua yang selalu ada di depan Monpera?” Tanya Rasti padaku.
Aku mencoba mengingat-ingat. Ada banyak perempuan tua di sana. Monpera adalah objek wisata. Begitu banyak orang yang mampir ke sana. Ada yang duduk-duduk santai; ada yang berfoto-foto, ada pedagang asongan, dan ada pengemis yang meminta belas kasih para pengunjung.
“Perempuan tua yang mana, Rasti? Mas tidak ingat. Lagi pula untuk apa mengurusi perempuan tua, toh ia buka ibumu!
Rasti menghela nafas dalam-dalam. Giginya gemeretak seperti hendak menggigit seseorang. Kupikir ia begitu marah dengan ucapanku tadi.
Perempuan tua yang setiap pagi selalu duduk bersimpuh tepat di depan Monpera mas! Perempuan yang selalu berceloteh sendiri seperti orang gila itu!” Tutur Rasti mencoba mengingatkanku.
“Oh…Perempuan itu. Ya! Aku ingat. Lalu kenapa dengannya?” Mendengarku bertanya demikian, tangisan Rasti semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin deras. Sesekali ia juga sesegukan karena tangisnya itu.
“Perempuan tua itu mas. Ia telah mati. Mayatnya ditemukan terbujur membiru tepat di depan Monpera mas.” Rasti berlari kepelukanku. Aku memeluknya erat berusaha menenangkannya.
“Oh…Begitu rupanya. Sudahlah, Rasti! Tak usahlah kau menangis. Aku juga turut bersedih. Lalu apa hubunganmu dengannya; Dengan kita? Biarkan saja. Bukankah kita bukan keluarganya.”
Rasti terdiam. Raut wajahnya menampakkan penyesalan begitu mendalam. Tak berapa lama dengan tenaga yang tersisa, Rasti berjalan terseok-seok menuju kamar. Lima menit kemudian, Ia keluar lagi sambil memegang sebuah poster gambar Garuda Pancasila.
“Mas tahu gambar apa ini?” Tanyanya padaku.
Aku sungguh sangat heran. Aku bingung dengan maksud pertanyaan Rasti padaku.
“Apa hubungan Pancasila dengan kematian perempuan itu?Tanyaku pada Rasti.
“Mas tahu Monpera itu kan? Tepat di tengah-tengahnya ada lambang Pancasila juga kan?”
Aku hanya mengangguk. Aku belum mengerti benar alur pembicaraan antara aku dan dia. Benakku masih bertanya-tanya. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi sehingga membuat Rasti menjadi seperti ini.
“Coba terangkan padaku apa makna Monpera itu mas?” Tanyanya lagi.
“Ya, Rasti! Monpera itu Monumen Perjuangan Rakyat. Ya kan?”
Rasti terdiam lagi untuk kesekian kalinya. Tak lama kemudian ia menangis lagi.
“Bukankah di sebelah Monpera berdiri kokoh Ampera mas?” Tanyanya lagi padaku.
“Ya! Kau benar Rasti. Siapa yang tak tahu Ampera. Itu adalah jembatan kebanggan Palembang. Jembatan yang penuh dengan sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa ini.”
“Ya, mas. Aku juga tahu itu. Lalu di depan Ampera ada sebuah tugu. Kau tahu tugu apa itu, mas?
Aku semakin heran dengan pertanyaannya itu. Kali ini Rasti sudah terlampau jauh. Aku juga sudah semakin kesal. Kupikir mungkin Rasti sudah terlalu letih karena memang sudah beberapa hari ini ia disibukkan dengan tugas tambahan dari kepala sekolahnya. Lagi pula kandungannya yang sudah tujuh bulan juga turut membuatnya lebih mudah lelah sehingga emosinya menjadi begitu labil.
“Kau tentu lebih tahu dariku, Rasti. Kau kan guru sejarah. Tak perlu kau tanyakan hal itu padaku.”
“Di depannya ada Tugu Malari, mas. Mas tahu kan apa makna Malari itu?’ Tanyanya lagi.
Aku masih mencoba tenang. Tak ingin aku terlanjur emosi hingga aku menampar Rasti untuk kedua kali. Cukup sekali aku telah berbuat aniaya padanya. Itupun tidak kusengaja. Sewaktu pulang dari kantor, aku hendak merebahkan tubuhku sekedar melepas lelah sejenak. Rasti tiba-tiba datang dan bertanya sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa maksud pertannyaannya itu. Berulang kali aku menjawab, Rasti masih menanyakan hal yang sama. Ampera, Monpera, Pancasila, semua itu membuatku pusing. Waktu itu, aku tak mampu lagi mengendalikan emosiku hingga akhirnya aku menampar Rasti dengan keras di pipinya.
Kali ini, aku tak ingin menampar Rasti lagi gara-gara pertanyaan yang sama. Aku mencoba mengikuti apa kemauannya. Kucoba mengingat kembali peristiwa lampau yang begitu bersejarah. Kisah di balik Tugu Malari. Pertempuran antara pribumi melawan penjajah yang banyak menelan korban jiwa.
“Mas…Perempuan tua itu, kau sering melihatnya kan?” Tanyanya lagi.
“Ya, Rasti. Aku sering melihatnya. Kau pun juga sering melihatnya! lalu apa hubungannya dengan pertanyaanmu, Rasti.
“Ya. Mas tentu melihatnya. Setiap hari mas melihatnya karena mas memang melintasi jalanan itu setiap hari” Celoteh Rasti padaku.
Ya! Perempuan tua itu memang sering kulihat. Kala hendak berangkat kerja--setiap pagi,  tepat di depan Monpera, aku memang selalu melihatnya. Perempuan itu duduk bersimpuh di depannya ada kaleng kecil, bajunya lusuh—wajah, tangan, dan kakinya dekil semua.
“Kapan terakhir kali mas melihatnya”
Kali ini aku diam. Mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali aku melihat perempuan tua itu.
“Seingatku empat hari yang lalu, Rasti” Memang seingatku empat hari yang lalu aku masih melihatnya duduk di depan Monpera. Hanya saja aku melihat hal yang berbeda. Waktu itu kulihat wajahnya tidak biasa. Kulihat ia begitu pucat. Bajunya basah semua. Mungkin semalaman ia tak beranjak dari sana hingga hujan yang turun membasahi sekujur tubuhnya. Ia juga memegang sebuah bambu. Namun, bukan bambu runcing seperti senjata yang para pejuang gunakan waktu melawan penjajah dulu. Bambu yang dipegangnya sama sekali tak runcing. Kupikir mungkin untuk menopang tubuhnya yang sudah renta dan tak kuat lagi berjalan. Kulihat pula, perempuan itu bergumam tak jelas. Mulutnya menympah serapah orang-orang yang lewat di depannya. Kupikir perempuan tua itu sudah betul-betul gila. Kemarin sewaktu aku berangkat kerja, aku sudah tak lagi melihatnya di sana. Kupikir ia pulang ke rumah atau mungkin ia sudah pindah ke tempat lain yang lebih ramai pengunjungnya.
“Sudahlah, Rasti. Aku heran padamu. Tak usah kua urusi gelandangan seperti itu. Begitu banyak galandangan seperti dia di sini. Kalau kau mengurusi mereka semua, kau lama-lama akan jadi gila. Apa yang sedang kau pikirkan, Rasti?”
Tanpa menjawab pertannyaanku, Rasti kembali masuk ke kamar. Aku juga menyusulnya. Kulihat ia berbaring. Mungkin memang benar seperti yang kuduga, ia hanya merasa letih saja. Baru saja aku hendak berbaring di sampingnya, Rasti bangkit kembali.
“Kapan terakhir kali mas memberikan sedekah padanya?” Tanyanya lagi.
Aku sudah begitu kesal dengan ocehan tak jelas, Rasti. Aku masih mencoba bersabar menghadapinya.
“Empat hari yang lalu. Ya! Empat hari yang lalu, tepat sehari sebelum ia tak kelihatan lagi di sana”
“Apakah ia menerima uang yang mas berikan? Berapa banyak yang mas berikan?”
Ah! Sudahlah, Rasti. Cukup! Untuk apa kau tanya hal itu. Untuk apa kau terlalu memperhatikan nasibnya?” Suaraku meninggi.
Aku kemudian berdiri menghadap jendela kamar. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhirup udara segar pagi hari. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tak ingin bertengkar dengan istriku. Apalagi hanya gara-gara masalah sepeleh seperti ini.
“Kau tahu, Rasti! Di depan Monpera itu ada Masjid Agung. Masjid besar; kebanggaan Palembang, jemaahnya banyak.”
Kau tahu pula! Jalanan itu setiap hari dilewati walikota. Gubernur juga sering lewat di sana. Kalau presiden datang pasti lewat di sana.”
Rasti menangis semakin menjadi-jadi. Ia menatapku begitu dalam. Baru kali ini aku melihat tatapannya yang begitu tajam. Aku pun sepertinya sudah tak sanggup lagi menahan amarahku padanya. Segera, kuambil sepatu kerjaku. Lalu aku segera pergi meninggalkan Rasti.
Rasti berteriak-teriak kepadaku. Teriakannya tak aku gubris.
“Mas, perempuan tua itu mati dengan tubuh bersimbah darah mas. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran mas.”
Kuhidupkan mesin mobilku. Kututup semua kaca jendela. Suara teriakan Rasti masih dapat kudengar sayup-sayup. Perlahan mobilku melaju. Dari kejauhan masih dapat kudengar teriakannya
“Itu cakaran Garuda mas. Garuda telah membunuhnya.” Ucap Rasti sambil berlari mengejarku.
***
Aku terus melaju dengan kencang menyusuri jalanan kota Palembang. Sampai di perempat lampu merah, mobilku melambat. Palembang sudah begitu macet dan sesak. Tidak seperti dulu yang masih sepi dengan penduduk. Waktu itu masih banyak hutan. Tetapi sekarang, kota ini sudah begitu pesat kemajuannya. Pembangunan di sana-sini. Mal-mal semakin bertambah banyak. Gedung-gedung semakin menjulang tinggi. Mobil dan motor sudah tak terbilang banyaknya.
Perekonomian Palembang sudah semakin mapan seiring dengan semakin mapannya perekonomian warganya. Di sisi laintak dapat dipungkiri, kemajuan kota ini hanya mampu dinikmati oleh orang-orang saja. Pengemis, anak jalanan, gelandangan—mereka harus tersingkir dari kota ini.
Kala tiba mobilku melewati Monpera. Aku menghentikan mobilku. Turun dari mobil, kususuri sekitar Monpera. Bau busuk menyengat dimana-mana. Pengemis berjajar disepanjangnya meminta sedekah. Di ujung sudut Monpera, tiba-tiba kulihat seorang perempuan tua tubuhnya bersimbah darah. Seraya menghadapkan wajah ke arah garuda, mulutnya menyeracau—entah apa yang diucapkannya. Tak berapa lama, ia memandang ke arahku—lalu menghilang entah kemana.
Kulihat jam tanganku sudah pukul 08.00 wib. Aku segera meninggalkan tempat itu. Sudah setengah jam aku terlambat ke kantor. Selama perjalanan, entah mengapa mulutnya menyeracau tak karuan. Sepertinya Rasti, perempuan tua itu, Monpera—telah membuat aku gila.
***
Di kantor aku melamun saja. Roy, adik tiriku sekaligus teman kerjaku tiba-tiba mangagetkanku. Rupanya sedari tadi, ia memperhatikan kelakuanku.
“Ada apa, Randy? Kau memikirkan sesuatu?” tanya Roy!
Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku merasa begitu malas mengobrol dengan temanku.
“Ah! Okelah! Aku tahu kau sedang banyak masalah!” Roy mengambil pena di saku bajuku, lalu menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Ia lalu meletakkannya di atas mejaku dan segera pergi. Aku mengambil kertas yang ditinggalkannya di atas meja.
Kata saudara ibuku—ibumu menjadi pengemis di depan Monpera. Kemarin, aku sudah memberitahukan kabar ini pada istrimu, Rasti”.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!