Membangun
Negeri:
Pedih
Antara Teknologi Informasi dan Sesuap Nasi
Saya
Alamsari. Sudah hampir enam tahun saya bertugas di SMP Negeri 4 Rantau
Panjang—sebuah sekolah kecil dengan tiga kelas—letaknya di ujung desa tepat di
tengah kebun warga Kecamatan Rantau Panjang Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera
Selatan. Sekolah kami hanya memiliki 60-an peserta didik saja. Hampir semua
siswa kami adalah anak dari keluarga tidak mampu sehingga jangan heran, jika
ada beberapa peserta didik kami yang masih belum punya televisi di rumahnya. Apalagi
laptop atau hape android! Kedua benda ini masih begitu sangat jauh dari rumah
mereka.
Bagi
peserta didik kami, uang adalah benda yang sangat mahal karena memang sulit
didapat. Orang tua mereka harus pontang panting kesana kemari bekerja demi
mendapat sepeser rupiah. Tak jarang! Banyak peserta didik kami yang juga turut
serta membantu orang tua mereka bekerja—untuk dapat bertahan hidup, tentunya!
Bahkan beberapa diantara peserta didik kami, harus pula putus sekolah (tidak
melanjutkan ke jenjang berikutnya) karena mereka lebih memilih bekerja membantu
orang tuanya.
Di
sekolah—permasalahan ekonomi keluarga tentu sangat berdampak terhadap prestasi
peserta didik kami. Ya! Bisa dibayangkan—daripada membeli buku yang harganya
“wah” atau lebih baik uang yang ada digunakan untuk membeli beras agar bisa
makan. Jadi! Jangan heran jika peserta didik kami tidak memiliki buku sama
sekali. Hal itu tentunya menjadi permasalahan serius bagi kami. “Bagaimana
peserta didik dapat pandai jika tidak membaca? Padahal buku adalah gerbang ilmu
dan membaca adalah kuncinya”.
Teknologi
Informasi di Sekolah Kami
Dalam
pembelajaran yang saya ampu, saya selalu berusaha untuk mengintegrasikan
teknologi. Saya berpikir, teknologi adalah hal yang sangat penting. Namun,
segala keterbatasan cukup menjadi penghambat bagi saya dalam kegiatan
pembelajaran. Di sekolah-sekolah besar atau di kota—para siswa sebagian besar
sudah tidak asing lagi dengan internet. Setiap hari mereka belajar dan menggali
informasi melalui teknologi nirkabel. Hape android sudah menjadi makanan
sehari-hari. Kapan saja dan dimana saja mereka dapat dengan mudah mengakses
informasi dengan segala kondisi yang memungkinkan untuk itu.
Berbeda
halnya dengan sekolah kami. Siswa kami tak kenal dengan android, laptop,
apalagi internet. Ya! Memang ada siswa yang sudah punya hape android—namun hanya
satu atau dua saja. Itu pun hanya sebatas hape saja. Maksudnya, walaupun
memiliki hape android—mereka pula masih menggunakan layaknya hape biasa (hape
zaman dahulu) karena memang mereka tak mengerti bagaimana menggunakannya dan
mereka juga tak tahu apa gunanya.
Pernah
suatu ketika saya mendapat tugas mengajar TIK. Saya pusing tujuh keliling. Saya
bingung bagaimana mengajarkan TIK kepada anak didik saya sedangkan segala
prasarana tidak ada. Di sekolah saya tidak ada komputer. Alhasil saya berusaha
mencari alternatif metode pembelajaran yang mungkin dapat saya gunakan. Untuk
mengajarkan keterampilan mengetik komputer maka saya menggunakan media papan
keyboard. Saya meminta siswa untuk menyiapkan kardus yang dipotong membentuk
persegi panjang seukuran keyboard komputer. Lalu di atas kardus tersebut
ditempeli kertas putih. Di atas kertas putih tersebut, dibuat gambar-gambar
tombol-tombol mirip seperti yang ada di keyboard komputer sungguhan. Setiap kali
pelajaran TIK—saya selalu meminta siswa untuk mengetik dengan sepuluh jari di
atas keyboard buatan mereka sendiri. Tujuannya untuk melatih jari agar tidak
kaku. Walaupun terkesan sederhana—namun metode ini sepertinya cukup efektif
untuk membuat siswa terbiasa mengetik di atas keyboard.
Untuk
mengajarkan internet—saya menggunakan hape android saya sendiri. Perlahan-lahan
saya ajarkan siswa bagaimana cara membuka internet. Saya praktikkan di depan
kelas. Saya buka mesin pencari www.google.com.
Saya ketikkan kata kunci untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Anak didik
saya terlihat sangat antusias. Walaupun sebagian siswa yang duduk di belakang
tidak terlampau jelas melihat saya mempraktikkan penggunaan teknologi di depan—mereka
tetap terlihat sangat antusias. Mereka tak menyangka bahwa ternyata internet
sangat besar manfaatnya. Mereka baru tahu bahwa melalui internet mereka dapat
mengetahui segala-galanya dalam waktu singkat saja.
Membangun
Negeri: Harapan dan Kenyataan
Perkembangan teknologi informasi
yang begitu cepat ternyata tak jua dapat dinikmati oleh anak didik kami. Daripada
harus menghabiskan uang untuk membeli pulsa guna berselancar ria di dunia maya—tentu
alangkah bahagianya jika mereka menggunakan uang itu untuk membeli bahan-bahan
kebutuhan keluarga. Bagi mereka biarlah mereka gagap teknologi daripada lapar
di ulu hati. Bagi mereka biarlah tertinggal informasi daripada perut mereka
pedih tak makan nasi.
Seandainya
saja di sekolah tersedia banyak komputer. Seandainya saja di sekolah terpasang
sambungan internet yang bisa digunakan kapan saja. Tentu anak didik kami akan
begitu senang hati. Tentu mereka tak akan ketinggalan infomasi. Mereka pula tentu
akan dapat berdiri sejajar dengan siswa-siswa lain di luar sana.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!