Ramai-Ramai “GP”
Oleh Alamsari,
M.Pd.
(Guru SMPN
4 Rantau Panjang,
Pengurus MGMP SMP Bahasa Indonesia Ogan
Ilir)
“Kemdikbud harus merancang
strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas guru. Guru Pembelajar adalah
salah satunya tetapi bukan sebagai satu-satunya alat peningkatan kualitas.
Pelaksanaan Guru Pembelajar memiliki banyak masalah dan cenderung merampas hak
dan semakin menyusahkan guru. ”
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kembali melakukan
terobosan baru. Kali ini, Kemdikbud telah resmi meluncurkan program Guru
Pembelajar (GP). Program tersebut dilaksanakan secara masif dan massal bagi seluruh
guru di Indonesia mulai bulan September—November. Ada tiga jenis GP yang dilakukan,
yakni GP moda daring, GP moda kombinasi, dan GP moda tatap muka penuh. Kemdikbud mengklaim bahwa tujuan dilaksanakannya GP
merupakan upaya untuk menjadikan guru memiliki kompetensi yang mumpuni di
bidangnya baik profesional maupun pedagogik.
Sesuai namanya, “Guru Pembelajar”—tujuan utama dari
program ini adalah agar guru menjadi insan yang senantiasa belajar. Pemikiran tersebut
dilandasi konsep bahwa jika di sekolah guru senantiasa menyuruh siswa untuk
belajar—maka gurunya pun juga harus belajar sama seperti siswa yang diajari
tersebut. Pemikiran tersebut memang sungguh bagus, sebenarnya. Kita sepakat
memang sebagai seorang guru, sebelum menyuruh siswa belajar—gurunya harus
terlebih dahulu belajar. Belajar sepanjang hayat dimana saja dan kapan saja.
Dengan belajar, guru akan semakin bertambah berkualitas di bidangnya. Saya
sendiri sepakat dan mendukung penuh pelaksanaan program Guru Pembelajar ini.
Akan tetapi sungguh sayang, diawal pelaksanaannya—Guru Pembelajar justru telah
menuai banyak polemik yang alih-alih mampu meningkatkan kualitas guru—akan
tetapi justru merenggut hak dan semakin menyusahkan guru itu sendiri.
UKG dan Guru Pembelajar
Awal mula ide pelaksanaan program guru pembelajar adalah diawali hasil Uji
Komptensi Guru (UKG) tahun 2015 lalu. Dari hasil didapatkan bahwa, hampir 90%
guru di Indonesia dianggap tidak berkualitas karena memiliki nilai UKG di bawah
standar, yakni 55,00. Pertanyaanya, apakah memang jika nilai guru di bawah
standar maka otomatis dianggap tidak berkualitas? Saya sendiri akan tegas
menjawab “TIDAK”. UKG boleh dijadikan
indikator kualitas guru akan tetapi “BUKAN” satu-satunya indikator penentu kualitas.
Banyak diantara guru yang mendapat nilai di atas standar 80-an ke atas justru
pada kenyataanya di lapangan memiliki kualitas yang sangat rendah dibandingkan
dengan guru yang memperoleh nilai di bawah standar sekalipun.
Seharusnya sebelum
memvonis kualitas seorang guru, Kemdikbud perlu melakukan kajian secara
komprehensif. Soal UKG Bahasa Indonesia contohnya—banyak diantara soal tersebut
yang tidak valid dan tidak reliabel untuk dijadikan soal standar nasional. Soal
yang dikembangkan dalam UKG terlalu luas dan tidak mampu mengkur dengan tepat
apa yang hendak diukur. Tidak ada kaitan erat antara soal UKG dengan materi
bidang kompetensi guru. Alhasil, hampir sebagian besar guru mendapat nilai
rendah di bawah standar yang ditetapkan. Dalam teori evaluasi pembelajaran—hasil
yang baik adalah hasil yang jika dibuat dalam bentuk kurva maka kurva tersebut
berbentuk normal. Artinya seperempat mendapat rendah, separuh mendapat nilai
sedang, dan seperempatnya lagi mendapat nilai tinggi. Jika demikian logikanya,
maka harus dipertanyakan, “Jika hampir semua guru mendapat nilai rendah itu
berarti soal yang diujikan memang tidak layak untuk dipakai—lalu kenapa kini
justru guru yang disalahkan?”
Kini—secara serentak
guru-guru se-Indonesia sedang melaksanakan diklat Guru Pembelajar. Guru dengan
nilai merah 2 menjadi Instruktur/mentor; merah 3—5 mengikuti diklat GP moda
daring; merah 6—7 mengikuti diklat GP moda kombinasi; dan merah 8—10 mengikuti
diklat GP tatap muka. Biaya yang dikeluarkan ratusan milyar rupiah.
Okelah—sebagai seorang guru—tentu akan mengikuti dengan baik setiap tahapan
diklat GP tersebut. Akan tetapi lagi-lagi timbul persoalan terkait teknis
pelaksanaanya di lapangan.
Pertama: jumlah modul yang
wajib dipelajari disesuaikan dengan jumlah merah yang diperoleh. Itu artinya
semakin banyak nilai merah maka semakin banyak modul yang harus dipelajari.
Setiap mapel memiliki ketebalan modul yang berbeda-beda mulai dari 80—200
halaman. Total keseluruhan ada 20 modul yang harus dipelajari. Bisa dibayangkan?
Betapa berat tugas guru. Di tengah tuntutan untuk mengajar dan melakukan
pengembangan diri, guru harus pula berjibaku mempelajari modul (dengan
bahasanya yang akademis) dan mengerjakan soal-soal uraian yang cukup
merepotkan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kedua: walaupun telah
berjalan—justru masih banyak guru yang bingung dengan diklat GP ini. Informasi
tentang pelaksanaan GP tidak jelas. Tak heran, hingga sekarang masih banyak
guru yang belum melakukan registrasi secara online diklat GP karena memang
mereka belum tahu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada
pemberitahuan resmi dari pemerintah pusat maupun daerah. Jikalau ada guru yang
telah registrasi—itu pun kebanyakan mereka yang melek teknologi (mendapat
informasi melalui internet atau media sosial). Ketiga: target Kemdikbud
dengan mengikuti diklat GP—nilai UKG guru hingga tahun 2018 akan mencapai
80,00. Target tersebut tentu sangat tinggi dan agak sulit tercapai. Hal itu
disebabkan karena soal yang diujikan tidak berkenaan langsung dengan bidang
studi guru. Untuk itu, Kemdikbud harus memastikan bahwa materi di dalam modul
yang dipelajari harus berkaitan langsung dengan soal UKG. Jangan sampai
pengorbanan guru sia-sia—setelah mempelajari modul—eh nyatanya nanti soal UKG
yang keluar justru tidak ada di dalam modul yang dipelajari.
Dalam upaya peningkatan
kualitas guru—Kemdikbud hendaknya mencari strategi yang tepat untuk mengukur
dengan tepat kualitas guru tersebut. Penilaian tidak boleh hanya sebatas soal
pilihan berganda saja akan tetapi Kemdikbud harusnya turut melakukan penilaian
kinerja secara langsung. Kemdikbud harusnya turun ke lapangan dan melihat
bagaimana guru-guru mengajar di kelas sehingga bisa diketahui layak atau tidak
guru tersebut. Sesuai dengan apa yang dikatakan Mendikbud Muhadjir Effendy
bahwa “Kualitas guru adalah yang paling penting” maka sudah saatnya Kemdikbud
meninjau ulang program Guru Pembelajar. Jangan sampai biaya ratusan milyar
rupiah hanya berbuah nilai di atas kertas; UKG 80,00 saja yang jelas-jelas
tidak dapat mengukur kualitas guru. Bijaklah dalam mengukur; cerdaslah dalam
membuat alat ukur. Akhirnya semoga pendidikan kita semkain baik di masa yang
akan datang.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!