Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Saturday 24 September 2016

RAMAI-RAMAI "GP"

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Sumsel, Kamis/ 22 September 2016.
Ramai-Ramai “GP”

Oleh Alamsari, M.Pd.
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang,
Pengurus MGMP SMP Bahasa Indonesia Ogan Ilir)

“Kemdikbud harus merancang strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas guru. Guru Pembelajar adalah salah satunya tetapi bukan sebagai satu-satunya alat peningkatan kualitas. Pelaksanaan Guru Pembelajar memiliki banyak masalah dan cenderung merampas hak dan semakin menyusahkan guru. ”

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kembali melakukan terobosan baru. Kali ini, Kemdikbud telah resmi meluncurkan program Guru Pembelajar (GP). Program tersebut dilaksanakan secara masif dan massal bagi seluruh guru di Indonesia mulai bulan September—November. Ada tiga jenis GP yang dilakukan, yakni GP moda daring, GP moda kombinasi, dan GP moda tatap muka penuh. Kemdikbud mengklaim bahwa tujuan dilaksanakannya GP merupakan upaya untuk menjadikan guru memiliki kompetensi yang mumpuni di bidangnya baik profesional maupun pedagogik.
Sesuai namanya, “Guru Pembelajar”—tujuan utama dari program ini adalah agar guru menjadi insan yang senantiasa belajar. Pemikiran tersebut dilandasi konsep bahwa jika di sekolah guru senantiasa menyuruh siswa untuk belajar—maka gurunya pun juga harus belajar sama seperti siswa yang diajari tersebut. Pemikiran tersebut memang sungguh bagus, sebenarnya. Kita sepakat memang sebagai seorang guru, sebelum menyuruh siswa belajar—gurunya harus terlebih dahulu belajar. Belajar sepanjang hayat dimana saja dan kapan saja. Dengan belajar, guru akan semakin bertambah berkualitas di bidangnya. Saya sendiri sepakat dan mendukung penuh pelaksanaan program Guru Pembelajar ini. Akan tetapi sungguh sayang, diawal pelaksanaannya—Guru Pembelajar justru telah menuai banyak polemik yang alih-alih mampu meningkatkan kualitas guru—akan tetapi justru merenggut hak dan semakin menyusahkan guru itu sendiri.  


UKG dan Guru Pembelajar
Awal mula ide pelaksanaan program guru pembelajar adalah diawali hasil Uji Komptensi Guru (UKG) tahun 2015 lalu. Dari hasil didapatkan bahwa, hampir 90% guru di Indonesia dianggap tidak berkualitas karena memiliki nilai UKG di bawah standar, yakni 55,00. Pertanyaanya, apakah memang jika nilai guru di bawah standar maka otomatis dianggap tidak berkualitas? Saya sendiri akan tegas menjawab “TIDAK”.  UKG boleh dijadikan indikator kualitas guru akan tetapi “BUKAN” satu-satunya indikator penentu kualitas. Banyak diantara guru yang mendapat nilai di atas standar 80-an ke atas justru pada kenyataanya di lapangan memiliki kualitas yang sangat rendah dibandingkan dengan guru yang memperoleh nilai di bawah standar sekalipun.
            Seharusnya sebelum memvonis kualitas seorang guru, Kemdikbud perlu melakukan kajian secara komprehensif. Soal UKG Bahasa Indonesia contohnya—banyak diantara soal tersebut yang tidak valid dan tidak reliabel untuk dijadikan soal standar nasional. Soal yang dikembangkan dalam UKG terlalu luas dan tidak mampu mengkur dengan tepat apa yang hendak diukur. Tidak ada kaitan erat antara soal UKG dengan materi bidang kompetensi guru. Alhasil, hampir sebagian besar guru mendapat nilai rendah di bawah standar yang ditetapkan. Dalam teori evaluasi pembelajaran—hasil yang baik adalah hasil yang jika dibuat dalam bentuk kurva maka kurva tersebut berbentuk normal. Artinya seperempat mendapat rendah, separuh mendapat nilai sedang, dan seperempatnya lagi mendapat nilai tinggi. Jika demikian logikanya, maka harus dipertanyakan, “Jika hampir semua guru mendapat nilai rendah itu berarti soal yang diujikan memang tidak layak untuk dipakai—lalu kenapa kini justru guru yang disalahkan?”
            Kini—secara serentak guru-guru se-Indonesia sedang melaksanakan diklat Guru Pembelajar. Guru dengan nilai merah 2 menjadi Instruktur/mentor; merah 3—5 mengikuti diklat GP moda daring; merah 6—7 mengikuti diklat GP moda kombinasi; dan merah 8—10 mengikuti diklat GP tatap muka. Biaya yang dikeluarkan ratusan milyar rupiah. Okelah—sebagai seorang guru—tentu akan mengikuti dengan baik setiap tahapan diklat GP tersebut. Akan tetapi lagi-lagi timbul persoalan terkait teknis pelaksanaanya di lapangan.
Pertama: jumlah modul yang wajib dipelajari disesuaikan dengan jumlah merah yang diperoleh. Itu artinya semakin banyak nilai merah maka semakin banyak modul yang harus dipelajari. Setiap mapel memiliki ketebalan modul yang berbeda-beda mulai dari 80—200 halaman. Total keseluruhan ada 20 modul yang harus dipelajari. Bisa dibayangkan? Betapa berat tugas guru. Di tengah tuntutan untuk mengajar dan melakukan pengembangan diri, guru harus pula berjibaku mempelajari modul (dengan bahasanya yang akademis) dan mengerjakan soal-soal uraian yang cukup merepotkan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kedua: walaupun telah berjalan—justru masih banyak guru yang bingung dengan diklat GP ini. Informasi tentang pelaksanaan GP tidak jelas. Tak heran, hingga sekarang masih banyak guru yang belum melakukan registrasi secara online diklat GP karena memang mereka belum tahu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada pemberitahuan resmi dari pemerintah pusat maupun daerah. Jikalau ada guru yang telah registrasi—itu pun kebanyakan mereka yang melek teknologi (mendapat informasi melalui internet atau media sosial). Ketiga: target Kemdikbud dengan mengikuti diklat GP—nilai UKG guru hingga tahun 2018 akan mencapai 80,00. Target tersebut tentu sangat tinggi dan agak sulit tercapai. Hal itu disebabkan karena soal yang diujikan tidak berkenaan langsung dengan bidang studi guru. Untuk itu, Kemdikbud harus memastikan bahwa materi di dalam modul yang dipelajari harus berkaitan langsung dengan soal UKG. Jangan sampai pengorbanan guru sia-sia—setelah mempelajari modul—eh nyatanya nanti soal UKG yang keluar justru tidak ada di dalam modul yang dipelajari.
            Dalam upaya peningkatan kualitas guru—Kemdikbud hendaknya mencari strategi yang tepat untuk mengukur dengan tepat kualitas guru tersebut. Penilaian tidak boleh hanya sebatas soal pilihan berganda saja akan tetapi Kemdikbud harusnya turut melakukan penilaian kinerja secara langsung. Kemdikbud harusnya turun ke lapangan dan melihat bagaimana guru-guru mengajar di kelas sehingga bisa diketahui layak atau tidak guru tersebut. Sesuai dengan apa yang dikatakan Mendikbud Muhadjir Effendy bahwa “Kualitas guru adalah yang paling penting” maka sudah saatnya Kemdikbud meninjau ulang program Guru Pembelajar. Jangan sampai biaya ratusan milyar rupiah hanya berbuah nilai di atas kertas; UKG 80,00 saja yang jelas-jelas tidak dapat mengukur kualitas guru. Bijaklah dalam mengukur; cerdaslah dalam membuat alat ukur. Akhirnya semoga pendidikan kita semkain baik di masa yang akan datang.

           

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!