Mengasuh Kedua Adik
Oleh
Alamsari
Fajar
belum menyingsing. Ibu sudah tak nampak di rumah. Sejak pukul tiga dini hari
tadi ibu sudah pergi ke pasar. Di sana ibu berjualan sayur-sayuran. Setelah
ayah tiada, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Biasanya ibu akan berjualan
hingga menjelang zuhur.
Sementara
ibu berjualan di pasar, Hengki dan nenek menjaga rumah. Hengki dan nenek
biasanya berbagi tugas. Nenek membereskan rumah dan memasak sedangkan Hengki
bertugas mengasuk kedua adiknya; Deka dan Padli. Deka adiknya yang bungsu baru
berumur tiga tahun sedangkan Padli berumur lima tahun.
Hengki
mengajak Deka dan Padli bermain di halaman rumah. Deka digendong di sebelah
kanan dan Padli digendong di belakang. Walaupun Hengki baru berumur delapan
tahun, tetapi Hengki cukup kuat menggendong kedua adiknya yang gendut-gendut
itu.
“Nah...Ayo
turun! Kita main di sini saja ya!” Ujar Hengki. Hengki menurunkan kedua
adiknya. Hengki membiarkan kedua adiknya bermain sebebas-bebasnya. Deka dan
Padli bermain tanah. Mereka sangat gembira. Hengki sendiri sibuk mengumpulkan
sampah yang ada di sekitarnya. Sampah-sampah itu dikumpulkan hingga membentuk
seperti gundukan. Hengki mengeluarkan korek api dan membakar sampah-sampah yang
telah dikumpulkannya itu.
“Deka!
Padli! Jangan main di sini! Ujar Hengki. Hengki segera menggendong kedua
adiknya menjauh dari bakaran sampah.
“Nah...Di
sini saja ya!” Ujar Hengki. Deka dan Padli begitu polos. Apapun perintah
kakaknya, pasti mereka berdua akan menurutinya.
Semakin
lama api bakaran sampah semakin mengecil. Hingga akhirnya api padam pertanda
sampah telah habis terbakar.
“Hore...Hore...”
Hengki bertepuk tangan manakala api telah padam. Deka dan Padli juga ikut
bertepuk tangan.
“Nah...Ayo
kita main” Ujar Hengki pada adiknya. Hengki, Deka, dan Padli bermain
bersama-sama. Mereka bermain kejar-kejaran. Hengki menyeringai menyerupai hantu
dan kedua adiknya segera berlari menghindar dari kejaran Hengki. Mereka bermain
dengan riang.
Lama
mereka bermain, Hengki merasa sudah agak lelah. Ia pun beristirahat sejenak dan
membiarkan adik-adiknya bermain berdua. Tanpa sepengetahuan Hengki, Padli
berjalan mendekati bekas bakaran sampah.
“Aduh...Aduh...”
Jerit padli. Padli menangis sekuat-kuatnya. Hengki seketika terperanjat
mendengar tangisan adiknya itu. Ia segera berlari mendekati Padli. Ternyata
Padli menginjak bekas kantong plastik yang terbakar bersama sampah. Kantong plastik yang
tak habis terbakar itu rupanya masih panas sehingga membuat telapak kaki Padli
terbakar. Hengki panik melihat adiknya.
“Nek...Nek...Padli
nek!” Teriak Hengki sekencang-kencangnya. Nenek keluar tergesa-gesa.
“Ada
apa hengki?” Tanya nenek.
“Padli
nek...Padli menginjak bakaran sampah” Ujar Hengki pada nenek.
“Ya
ampun...Cucuku! Cucuku!” Teriak nenek. Nenek segera menggendong Padli. Mereka
masuk ke dalam rumah.
“Ambil
Odol yang ada di kamar mandi!” Perintah nenek pada Hengki. Hengki segera mengambil
Odol dan memberikannya pada nenek.
“Tahan
ya Cu!” Ujar nenek menenangkan Padli. Nenek mengoleskan Odol secara merata ke
telapak kaki Padli. Tujuannya agar luka bakarnya cepat sembuh.
Hengki
merasa sangat bersalah karena telah lalai menjaga kedua adiknya. Namun, nenek
tak marah pada Hengki. Nenek mengerti bahwa Hengki sudah sangat letih mengasuh
adik-adiknya sedari pagi.
“Ya
sudah! Sekarang kau cepatlah mandi” Ujar nenek. Hengki berjalan gontai. Ia
cepat-cepat mandi. Setelah itu ia memakai seragam sekolahnya. Hengki memang
masuk sekolah siang. Makanya pukul 12 tepat Hengki harus sudah siap pergi ke
sekolah karena lokasi sekolahnya cukup jauh.
Baru
saja hendak berangkat, ibu sudah pulang dari berjualan di pasar.
“Bu...Padli
bu...” Hengki memeluk ibunya sambil menangis tersedu-sedu. Ibu heran melihat
Hengki yang bertingkah aneh seperti itu.
“Ada
apa Hengki? Sudah cepatlah berangkat. Nanti kau terlambat” Ujar ibu.
“Padli...Bu...Kakinya
terbakar bu” Ujar Hengki pada ibu. Ibu kaget bukan kepalang. Ibu segera masuk
ke dalam rumah melihat kondisi Padli.
“Sudah...Kakinya
sudah emak obati” Ujar nenek pada ibu.
“Maafkan
Hengki bu!” Hengki meminta maaf pada ibu.
“Ya
sudah! Tak apa-apa Hengki. Semua sudah terjadi. Cepatlah pergi ke sekolah!”
Hengki
merasa lega karena ibunya tak marah pada Hengki. Ia pun berpamitan pada ibu dan
neneknya. Tak lupa Hengki mencium pipi
kedua adiknya. Seraya melangkah ke luar rumah, dalam hati Hengki berjanji tak
akan lalai lagi menjaga kedua adiknya.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!