AKU SEORANG GURU
Alamsari
Pagi
itu udara begitu menggigilkan badanku. Dengan mata yang masih terpejam,
terseok-seok aku bangkit dari tempat tidur. Entah mengapa, pagi itu aku sungguh
merasa malas untuk beranjak. Namun aku harus memaksakan diri. Sebentar lagi aku
harus masuk kerja.
Aku segera mandi. Kupakai seragam
kuning kaki. Tak lupa kusemprotkan
sedikit wewangi. Aku pun siap berangkat.
“Din, Mas berangkat ya” ucapku pada istriku yang
dari tadi kulihat hanya duduk termangu di depan lawang dapur rumah.
Sejak bangun tidur, kuperhatikan ia
tak beranjak dari sana. Raut wajahnya kusam. Nampaknya ada sesuatu yang tidak
mengenakkan hatinya. Namun aku tak berani menyapa. Aku takut semakin menambah
kerunyaman paginya.
Dengan sepeda motor butut, aku
melaju meninggalkan istriku sendirian di rumah. Pagi itu jalanan cukup
lengang. Belum banyak kendaraan yang lalu lalang. Ya! Nanti, ketika mentari
sudah agak meninggi barulah jalanan itu akan sesak dengan ribuan mobil dan
motor yang berbaur menjadi satu. Melewati istana
gubernur, kulihat spanduk
bertebaran dimana-mana.
“Nampaknya akan ada demo sebentar
lagi” tuturku dalam hati.
Ya! Memang istana gubernur kerap menjadi tempat yang
tepat bagi kebanyakan kaum minoritas untuk beraspirasi. Mencurahkan keluh
kesahnya. Berharap pemimpin atau siapapun akan bersimpati atau peduli pada
nasibnya yang kurang beruntung itu.
***
Sesampai di kelas, aku duduk sejenak
melepas letih. Kutarik nafas panjang lalu
kumulai pembelajaran.
“Anak-anak, apa cita-citamu?” tanyaku sebagai apersepsi mengawali
pelajaran.
“Saya mau jadi dokter pak” ucap Yudha.
“Kalau saya mau jadi Polisi” timpal Joko.
“Kalau saya mau jadi seorang
Akuntan pak” Santi tak kalah semangatnya.
Anak-anak yang lainnya ada yang mau
jadi pilot, pengusaha, profesor, dan ada yang mau jadi bupati. Aku tersenyum mungil.
Sebuah cita-cita hebat dan mulia
yang dimiliki murid-muridku. Walau di sisi lain aku merasa sangat miris karena
tak ada satupun yang mau mengikuti jejakku; menjadi seorang guru. Ya! Aku tahu.
Memang sangat sedikit orang yang mau menjadi guru.
Tak terasa, bel
berbunyi—pertanda pembelajaran
hari itu telah usai. Aku segera bersiap
pulang.
“Pak Umar, kemari Pak?” panggil bendahara
sekolahku; Bu Yuli. Sudah lima tahun ia menjadi bendahara gaji. Kami sebenarnya tidak begitu senang
dengannya. Ia kerap memandang rendah guru
honorer. Di matanya, kami seperti tak berharga. Hanya sekedar pelengkap tenaga
pengajar saja.
“Nah…Tanda tangan dulu Pak” ucapnya seraya
menyodorkan daftar terima gaji periode Oktober—Desember. Kulihat gajiku Rp900.000—belum dipotong pajak lima
persen. Walau begitu, aku harus selalu bersyukur. Biarpun kecil—dari profesi inilah aku bisa menghidupi keluargaku.
Uang itu tersimpan rapi di dalam
amplop. Tampak tebal sekali. Di
dalamnya banyak uang pecahan seribu atau
sepuluh ribu. Tak
mengapa, yang penting bisa
digunakan untuk berbelanja kebutuhan dapur.
Aku pulang ke rumah. Tak sabar
ingin menyerahkan gaji pada istriku. Tentu ia sudah menunggu kepulanganku. Motor kukebut. Sembari berkendara, terbayang sudah dalam pikiran pos-pos
peruntukan uang gajiku ini. Membayar hutang, berbelanja kebutuhan dapur, atau
setidaknya membelikan baju untuk istriku. Sudah lama aku tak membelikan baju
untuknya. Kalau kuingat-ingat
mungkin sudah setahun lebih. Bukannya aku tak mau tetapi kondisi keuangan
memang tak memungkinkan.
Sesampainya aku di Jalan Sudirman, motorku
perlahan berjalan melambat—sampai
akhirnya tak bisa bergerak.
“Wah…Ini pasti gara-gara demo” pikirku.
Dengan sabar aku menanti. Perlahan-lahan melewati jalanan kota.
Kemacetan kali ini cukup parah. Mungkin demo di depan sana, cukup banyak
massanya.
Setelah beberapa lama, tepat di
depan istana gubernur yang merupakan pusat kemacetan—kulihat ribuan orang tumpah
ruah. Sungguh ramai sekali. Suara riuh dan gaduh menggema di sekitarnya. Ada
yang menabuh genderang, ada yang memukul-mukul pagar dengan kayu, ada juga yang
berjoget-joget atau bernyanyi-nyanyi. Kulihat
beberapa pria memgang toa berorasi
mengumbar semangat massa yang ada di
sana. Demo
itu, demo buruh.
“Saudara-Saudara—Sudah cukup lama kita
dimarginalkan. Kesejahteraan kita diabaikan. Hari ini, kita menuntut pemerintah
untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya; berpihak pada nasib kaum buruh seperti
kita. Merdeka!” ucap
sang orator.
Aku penasaran tentang apa yang menjadi
tuntutan kaum buruh itu. Dari beberapa spanduk yang dibentangkan, kulihat yang
menjadi fokus utama tuntutan mereka adalah meminta
kenaikan upah minimum regional mereka yang selama ini
Rp1.300.000 menjadi Rp1.800.000 per bulan.
“Wah…Besar sekali gajinya” tiba-tiba mulutku
berceloteh.
“Aku saja hanya bergaji Rp300.000 per bulan” gumamku lagi.
Terus terang, sebenarnya aku merasa
iri dengan kaum buruh tersebut. Mereka hanya tamatan SMA tetapi gajinya sudah
sebesar itu. Sedangkan aku adalah seorang sarjana. Dengan susah payah aku
mendapatkan gelar itu. Namun kenyataannya apa? Gaji yang kuterima tak bisa
dibandingkan dengan mereka; bahkan dengan seorang tukang becak sekalipun.
Tatapan mataku seketika hampa.
Tiba-tiba saja aku kembali ingat lika-liku kehidupanku. Perjalananku hingga
akhirnya aku menjadi seorang guru; cita-cita yang aku impikan. Berbagai pikiran
jahat seolah-olah merasukiku. Menggoyahkan keteguhanku menjadi seorang guru.
“Sudahlah Ka. Untuk apa kau jadi
guru?” Ucap sahabatku; Rio
dua hari yang lalu padaku. Tak sengaja aku bertemu dengannya di sebuah warung
kopi. Kalau kuingat sudah enam tahun aku tak jumpa dengannya.
“Lebih baik kau berhenti saja.
Ikutlah denganku. Kita bekerja saja di pabrik. Gajinya lumayan besar.” timpalnya lagi.
Rio adalah teman satu almamater. Ia
juga bernasib sama denganku; menjadi seorang guru honorer di desanya. Beberapa tahun yang lalu
ia memutuskan untuk berhenti menjadi guru. Ia mendapat tawaran menjadi supervisor
di salah satu pabrik yang ada di kabupatennya.
Bukan hanya Rio yang pernah berkata
seperti itu. Teman-temanku yang lainnya, sanak-familiku, bahkan istriku sendiri
pernah berkata hal yang serupa.
Bertubi-tubi pikiran itu merasukiku hingga pernah aku berniat berhenti
dari pekerjaanku ini. Kupikir apa
yang mereka katakan itu ada benarnya juga.
“Masak seorang sarjana gajinya
kalah dengan tukang cuci.” ucapku
dalam hati.
“Atau aku jadi tukang becak saja.
Toh kalau dikumpul-kumpul gajinya lebih besar dari gajiku sekarang”
Namun pikiran itu segera kutepis
jauh-jauh. Aku ingat betapa dahulu aku bersusah payah menyelesaikan kuliahku di
jurusan guru. Itu adalah demi satu tujuan. Mencapai cita-cita yang memang sejak
kecil aku dambakan. Lagi pula
ibuku pernah berpesan padaku agar aku tetap menjadi seorang guru.
“Ka, bekerjalah sesuai dengan nuranimu.
Kau itu jurusan guru—bekerjalah
sebagai seorang guru. Pekerjaan guru itu sangat mulia nak” ucapnya padaku dulu.
Ibu dan bapakku memang tak sempat
menamatkan sekolah.
Mereka terpaksa harus berhenti
sekolah karena mereka memang tidak memiliki biaya. Padahal di sekolahnya mereka
termasuk anak yang cerdas. Seandainya saja mereka berhasil tamat SR tentu
mereka sekarang telah menajdi seorang guru sama halnya seperti teman-temannya
kala itu.
Tanpa kusadari, perlahan aku
semakin menjauh dari karamaian aksi demo itu. Suara orasinya juga semakin samar terdengar hingga akhirnya menghilang
sama sekali.
“Aku adalah seorang guru. Guru
adalah pekerjaan mulia. Kalau bukan aku siapa lagi yang akan mendidik anak-anak
itu?” ucapku dalam hati.
Sebenarnya memang anak-anakku turut
memantapkan langkahku untuk tetap menjadi guru. Aku ingin menjadi bagian dari
sejarah perjuangan mencerdaskan anak bangsa. Menjadikan anak-anakku menjadi
seperti apa yang mereka cita-citakan. Agar kelak mampu membangun bangsa
ini menjadi lebih baik.
Sesampai di depan rumah, kulihat
istriku masih duduk terpaku di depan lawang dapur. Sejak pagi tadi ia masih tak
beranjak dari sana. Aku tahu, istriku pasti menantiku; menanti uang yang kubawa
setelah tiga bulan yang lalu terakhir kali aku gajian. Kulihat pipinya basah
bersimbah air mata.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!