Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Wednesday 19 December 2018

CERPEN AKU SEORANG GURU

CERPEN INI DIMUAT DI SUMATERA EKSPRES, SABTU 8 DESEMBER 2018.


AKU SEORANG GURU
Alamsari

Pagi itu udara begitu menggigilkan badanku. Dengan mata yang masih terpejam, terseok-seok aku bangkit dari tempat tidur. Entah mengapa, pagi itu aku sungguh merasa malas untuk beranjak. Namun aku harus memaksakan diri. Sebentar lagi aku harus masuk kerja.
Aku segera mandi. Kupakai seragam kuning kaki. Tak lupa kusemprotkan sedikit wewangi. Aku pun siap berangkat.
“Din, Mas berangkat ya” ucapku pada istriku yang dari tadi kulihat hanya duduk termangu di depan lawang dapur rumah.
Sejak bangun tidur, kuperhatikan ia tak beranjak dari sana. Raut wajahnya kusam. Nampaknya ada sesuatu yang tidak mengenakkan hatinya. Namun aku tak berani menyapa. Aku takut semakin menambah kerunyaman paginya.
Dengan sepeda motor butut, aku melaju meninggalkan istriku sendirian di rumah. Pagi itu jalanan cukup lengang. Belum banyak kendaraan yang lalu lalang. Ya! Nanti, ketika mentari sudah agak meninggi barulah jalanan itu akan sesak dengan ribuan mobil dan motor yang berbaur menjadi satu.  Melewati istana gubernur, kulihat spanduk bertebaran dimana-mana.
“Nampaknya akan ada demo sebentar lagi” tuturku dalam hati.
Ya! Memang istana gubernur kerap menjadi tempat yang tepat bagi kebanyakan kaum minoritas untuk beraspirasi. Mencurahkan keluh kesahnya. Berharap pemimpin atau siapapun akan bersimpati atau peduli pada nasibnya yang kurang beruntung itu.
***
Tak terasa satu jam sudah perjalanan yang kutempuh. Aku tiba di sekolah tempat kumengajar. Dari kejauhan kulihat murid-muridku telah menanti di depan pintu kelas. Mereka begitu senang melihat kedatanganku. Aku adalah seorang guru. Sebuah profesi yang sejak dulu aku impikan. Sudah sepuluh tahun aku mengabdi di sekolah itu. Bukan sebagai pegawai negerihanya sebagai guru honorer biasa yang bergaji tiga bulan sekali.
Sesampai di kelas, aku duduk sejenak melepas letih. Kutarik nafas panjang lalu kumulai pembelajaran.
“Anak-anak, apa cita-citamu?” tanyaku sebagai apersepsi mengawali pelajaran.
“Saya mau jadi dokter pak” ucap Yudha.
“Kalau saya mau jadi Polisi” timpal Joko.
“Kalau saya mau jadi seorang Akuntan pak” Santi tak kalah semangatnya.
Anak-anak yang lainnya ada yang mau jadi pilot, pengusaha, profesor, dan ada yang mau jadi bupati. Aku tersenyum mungil. Sebuah cita-cita hebat dan mulia yang dimiliki murid-muridku. Walau di sisi lain aku merasa sangat miris karena tak ada satupun yang mau mengikuti jejakku; menjadi seorang guru. Ya! Aku tahu. Memang sangat sedikit orang yang mau menjadi guru.
Tak terasa, bel berbunyipertanda pembelajaran hari itu telah usai. Aku segera bersiap pulang.
“Pak Umar, kemari Pak?” panggil bendahara sekolahku; Bu Yuli. Sudah lima tahun ia menjadi bendahara gaji. Kami sebenarnya tidak begitu senang dengannya. Ia kerap memandang rendah guru honorer. Di matanya, kami seperti tak berharga. Hanya sekedar pelengkap tenaga pengajar saja.
“Nah…Tanda tangan dulu Pak” ucapnya seraya menyodorkan daftar terima gaji periode Oktober—Desember. Kulihat gajiku Rp900.000belum dipotong pajak lima persen. Walau begitu, aku harus selalu bersyukur. Biarpun kecil—dari profesi inilah aku bisa menghidupi keluargaku.
Uang itu tersimpan rapi di dalam amplop. Tampak tebal sekali. Di dalamnya banyak uang pecahan seribu atau sepuluh ribu. Tak mengapa, yang penting bisa digunakan untuk berbelanja kebutuhan dapur.
Aku pulang ke rumah. Tak sabar ingin menyerahkan gaji pada istriku. Tentu ia sudah menunggu kepulanganku. Motor kukebut. Sembari berkendara, terbayang sudah dalam pikiran pos-pos peruntukan uang gajiku ini. Membayar hutang, berbelanja kebutuhan dapur, atau setidaknya membelikan baju untuk istriku. Sudah lama aku tak membelikan baju untuknya. Kalau kuingat-ingat mungkin sudah setahun lebih. Bukannya aku tak mau tetapi kondisi keuangan memang tak memungkinkan.
Sesampainya aku di Jalan Sudirman, motorku perlahan berjalan melambatsampai akhirnya tak bisa bergerak.
“Wah…Ini pasti gara-gara demo” pikirku.
Dengan sabar aku menanti. Perlahan-lahan melewati jalanan kota. Kemacetan kali ini cukup parah. Mungkin demo di depan sana, cukup banyak massanya.
Setelah beberapa lama, tepat di depan istana gubernur yang merupakan pusat kemacetankulihat ribuan orang tumpah ruah. Sungguh ramai sekali. Suara riuh dan gaduh menggema di sekitarnya. Ada yang menabuh genderang, ada yang memukul-mukul pagar dengan kayu, ada juga yang berjoget-joget atau bernyanyi-nyanyi. Kulihat beberapa pria memgang toa berorasi mengumbar semangat massa yang ada di sana. Demo itu, demo buruh.  
“Saudara-SaudaraSudah cukup lama kita dimarginalkan. Kesejahteraan kita diabaikan. Hari ini, kita menuntut pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya; berpihak pada nasib kaum buruh seperti kita. Merdeka!” ucap sang orator.
Aku penasaran tentang apa yang menjadi tuntutan kaum buruh itu. Dari beberapa spanduk yang dibentangkan, kulihat yang menjadi fokus utama tuntutan mereka adalah meminta kenaikan upah minimum regional mereka yang selama ini Rp1.300.000 menjadi Rp1.800.000 per bulan.
“Wah…Besar sekali gajinya” tiba-tiba mulutku berceloteh.
“Aku saja hanya bergaji Rp300.000 per bulan” gumamku lagi.
Terus terang, sebenarnya aku merasa iri dengan kaum buruh tersebut. Mereka hanya tamatan SMA tetapi gajinya sudah sebesar itu. Sedangkan aku adalah seorang sarjana. Dengan susah payah aku mendapatkan gelar itu. Namun kenyataannya apa? Gaji yang kuterima tak bisa dibandingkan dengan mereka; bahkan dengan seorang tukang becak sekalipun.
Tatapan mataku seketika hampa. Tiba-tiba saja aku kembali ingat lika-liku kehidupanku. Perjalananku hingga akhirnya aku menjadi seorang guru; cita-cita yang aku impikan. Berbagai pikiran jahat seolah-olah merasukiku. Menggoyahkan keteguhanku menjadi seorang guru.
“Sudahlah Ka. Untuk apa kau jadi guru?” Ucap sahabatku; Rio dua hari yang lalu padaku. Tak sengaja aku bertemu dengannya di sebuah warung kopi. Kalau kuingat sudah enam tahun aku tak jumpa dengannya.
“Lebih baik kau berhenti saja. Ikutlah denganku. Kita bekerja saja di pabrik. Gajinya lumayan besar.” timpalnya lagi.
Rio adalah teman satu almamater. Ia juga bernasib sama denganku; menjadi seorang guru honorer di desanya. Beberapa tahun yang lalu ia memutuskan untuk berhenti menjadi guru. Ia mendapat tawaran menjadi supervisor di salah satu pabrik yang ada di kabupatennya.
Bukan hanya Rio yang pernah berkata seperti itu. Teman-temanku yang lainnya, sanak-familiku, bahkan istriku sendiri pernah berkata hal yang serupa.
Bertubi-tubi pikiran itu merasukiku hingga pernah aku berniat berhenti dari pekerjaanku ini. Kupikir apa yang mereka katakan itu ada benarnya juga.
“Masak seorang sarjana gajinya kalah dengan tukang cuci.” ucapku dalam hati.
“Atau aku jadi tukang becak saja. Toh kalau dikumpul-kumpul gajinya lebih besar dari gajiku sekarang”
Namun pikiran itu segera kutepis jauh-jauh. Aku ingat betapa dahulu aku bersusah payah menyelesaikan kuliahku di jurusan guru. Itu adalah demi satu tujuan. Mencapai cita-cita yang memang sejak kecil aku dambakan. Lagi pula ibuku pernah berpesan padaku agar aku tetap menjadi seorang guru.
“Ka, bekerjalah sesuai dengan nuranimu. Kau itu jurusan gurubekerjalah sebagai seorang guru. Pekerjaan guru itu sangat mulia nak” ucapnya padaku dulu.
Ibu dan bapakku memang tak sempat menamatkan sekolah. Mereka terpaksa harus berhenti sekolah karena mereka memang tidak memiliki biaya. Padahal di sekolahnya mereka termasuk anak yang cerdas. Seandainya saja mereka berhasil tamat SR tentu mereka sekarang telah menajdi seorang guru sama halnya seperti teman-temannya kala itu.
Tanpa kusadari, perlahan aku semakin menjauh dari karamaian aksi demo itu. Suara orasinya juga semakin samar terdengar hingga akhirnya menghilang sama sekali.
“Aku adalah seorang guru. Guru adalah pekerjaan mulia. Kalau bukan aku siapa lagi yang akan mendidik anak-anak itu?” ucapku dalam hati.
Sebenarnya memang anak-anakku turut memantapkan langkahku untuk tetap menjadi guru. Aku ingin menjadi bagian dari sejarah perjuangan mencerdaskan anak bangsa. Menjadikan anak-anakku menjadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Agar kelak mampu membangun bangsa ini menjadi lebih baik.
Sesampai di depan rumah, kulihat istriku masih duduk terpaku di depan lawang dapur. Sejak pagi tadi ia masih tak beranjak dari sana. Aku tahu, istriku pasti menantiku; menanti uang yang kubawa setelah tiga bulan yang lalu terakhir kali aku gajian. Kulihat pipinya basah bersimbah air mata.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!