Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Monday, 20 November 2023

Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?

 


Pendidikan yang merdeka harus diawali dari kemerdekaan dalam belajar. Anak didik dilahirkan dengan membawa kodrat yang beragam. Guru ibarat petani dan anak didik umpama benih. Tugas guru adalah menuntun dan mengarahkan agar anak tidak tersesat.”

Pada masa kolonial Belanda, pendidikan diselenggarakan sebagai misi terselubung untuk mendapatkan timbal balik yang menguntungkan bagi penjajah. Rakyat Indonesia hanya diberikan pengajaran berupa keterampilan dasar seadanya, seperti membaca, menulis, dan berhitung untuk selanjutnya dijadikan sebagai pekerja yang membantu usaha dagang Belanda dan antek-anteknya. Pada tahun 1922, Taman Siswa yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara lahir sebagai wujud kemerdekaan dan kebebasan rakyat Indonesia dalam pendidikan. Ki Hajar Dewantara membawa semangat baru dalam fase pendidikan Indonesia yang lebih merdeka.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Penyelenggaraan pendidikan menjadi fondasi dasar untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Menyadari pentingnya arti pendidikan tersebut, pemerintah menaruh perhatian serius dalam upaya memajukan pendidikan Indonesia semakin bermutu dan berdaya saing global melalui program merdeka belajar.
Apakah pendidikan kita sudah merdeka? Pertanyaan menggelitik sebenarnya. Secara harfiah memang pendidikan Indonesia sudah terbebas dari penjajahan, tetapi secara maknawi masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Pada kenyataanya, pendidikan Indonesia masih belum merdeka dalam belajar. Selama ini guru terjebak dalam aktivitas membuat administrasi pembelajaran yang kompleks dan menyita pikiran dan waktu. Skenario pembelajaran yang dibuat pada praktiknya tidak terlaksana dengan baik dikarenakan guru tertekan target pencapaian kompetensi anak didik yang pada akhirnya hanya diukur kelulusannya melalui ujian nasional. Anak didik dipaksa untuk belajar secara seragam tanpa mempertimbangkan keberagaman kemampuan. Pelaksanaan pembelajaran di kelas menjadi tidak menarik dan terkungkung dalam penjara kurikulum.

IDENTIFIKASI POTENSI MELALUI KEGIATAN LITERASI: PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN SISWA UNGGUL MENUJU INDONESIA MAJU BERMUTU

            Setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi. Potensi yang dimiliki anak sangat beragam. Potensi merupakan kemampuan dasar yang berkemungkinan untuk dikembangkan1. Upaya mengembangan potensi pada anak perlu dilakukan sedini mungkin. Tujuannya adalah untuk menjadikan potensi tersebut berkembang menjadi kompetensi. Untuk itulah, identifikasi potensi pada peserta didik harus dilakukan.

Identifikasi potensi dapat dilakukan oleh individu itu sendiri. Namun sangat disayangkan, tidak sedikit peserta didik yang justru kesulitan untuk mengenali potensi yang dimilikinya. Dalam studi yang saya lakukan di sekolah tempat saya bertugas, hampir 80 persen peserta didik justru belum mengetahui potensi apa yang dimilikinya. Peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut potensi (kemampuan) masing-masing dan memerlukan bimbingan dan pengarahan serta pendampingan yang konsisten menuju ke arah titik optimal potensinya2. Oleh karena itulah, identifikasi potensi perlu dilakukan oleh pihak sekolah untuk membantu peserta didik menemukan potensinya dengan lebih cepat. Salah satu cara untuk melakukan identifikasi terhadap potensi peserta didik adalah dengan melalui kegiatan literasi di sekolah.

Untuk melaksanakan identifikasi potensi melalui literasi tersebut, pihak sekolah harus merancang aktivitas literasi yang berbasis pada identifikasi potensi. Ada banyak kegiatan literasi yang dapat dilaksanakan di sekolah, misalnya aktivitas membaca selama 15 sampai 30 menit sebelum memulai pembelajaran. Perpustakaan sekolah sebagai basis kegiatan literasi memiliki peran besar dalam upaya menciptakan iklim literasi di lingkungan sekolah. Melalui aktivitas membaca 15 sampai 30 menit diharapkan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan kualitas diri peserta didik.

Kegiatan literasi di sekolah pada hakikatnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi potensi. Kegiatan literasi di sekolah bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional, bahasa, spiritual, dan estetika.3 Melalui kegiatan literasi, sekolah mampu mengetahui potensi apa saja yang ada pada peserta didik. Hal tersebut sangat penting guna membantu sekolah dalam merencanakan tindak lanjut bagi peserta didik sehingga mampu mendorong pengembangan potensi menjadi lebih optimal.

Monday, 21 February 2022

Dilema Etika

Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, tentu kita tidak luput dari dilema etika. Apa itu dilema etika? Dilema etika adalah pertentangan batin antara sesuatu yang benar dihadapkan pada hal lain yang juga benar dalam sudut pandang tertentu. 

Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang layak harus dibuat (Arens dan Loebbecke, dikutip oleh Eko Suhascaryo)

Lebuh lanjut Eko Suhascaryo memberikan contoh situasi yang sering kali memunculkan dilema, yakni sebagai berikut. 

Ini untuk tujuan baik, atau di akhir membenarkan caranya.

Hal ini akan menggoda untuk mengambil jalan pintas dalam melakukan pengambilan keputusan ketika hasil akhirnya akan menjadi hal yang baik.

Loyalitas ganda.

Banyak orang merasa memiliki kewajiban untuk mempromosikan kepentingan dari kelompok atau teman khususnya. Ini dapat menjadi tidak etis ketika meluas ke memastikan bahwa keuntungan untuk kelompok atau individu khusus dengan mengorbankan kelompok atau individu lainnya.

Penyembunyian.

Kita semua sering kali menghindari memberikan umpan balik yang negatif atau mengungkapkan pendapat yang orang lain tidak akan suka, karena kita peduli tentang perasaan orang atau kita tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.

Namun, tidak jujur ​​adalah tidak menghormati, kuncinya adalah berbagi informasi negatif atau tidak setuju dengan orang lain dengan cara tetap berkomunikasi secara hormat.

Tak seorangpun akan tahu.

Kita mungkin akan memaafkan perilaku yang tidak memenuhi standar etika karena “tidak ada yang akan dirugikan”.

Menggunakan posisinya untuk mempengaruhi hal-hal yang kurang sesuai kepada bawahan/staf, meminta bantuan khusus atau fasilitas, atau berbagi informasi rahasia kepada orang lain mungkin tampak mudah dan tidak berbahaya, tetapi etika kepercayaan dilanggar.

Semua orang melakukannya.

Ketika banyak orang lain bertindak dengan cara-cara yang tidak etis, bukanlah izin bagi kita untuk juga berperilaku yang tidak etis.

Praktek atau sistem di beberapa organisasi dan kelompok mungkin begitu mendarah daging bahwa mereka tampaknya dapat diterima bahkan jika mereka secara etika dipertanyakan. Pemimpin etis akan selalu mengevaluasi perilakunya terhadap kode etik.

Tuesday, 24 August 2021

Mengembangkan Bakat Anak

 

 

“Di usianya yang masih muda, anakku menjadi juara satu. Dia mengikuti lomba membaca puisi yang diadakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuasin. Setiap tahun, acara serupa selalu diadakan dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.”

 

Bakat anakku dalam membaca puisi sudah terlihat sejak dini. Ketika itu aku sedang membaca buku kumpulan puisi karya Taufik Ismail. Iseng kuberikan buku itu ke anakku yang masih berusia enam tahun. Kuminta dia membacakan satu puisi. Anakku membacakannya dengan variasi intonasi yang menurutku cukup baik. Padahal dia baru sekali membaca puisi yang cukup rumit itu. Beberapa waktu kemudian, kuminta dia membacakan puisi lainnya. Anakku menunjukkan kemampuan yang sama seperti sebelumnya. Sejak itulah, aku berpikir mungkin ini adalah bakat terpendam anakku yang harus dikembangkan.

Sejak usia tiga tahun saat anakku sudah bisa berbicara—aku selalu mengajaknya membuat puisi bersama. Ketika melihat bunga, menatap rembulan, atau merasakan desir angin—aku membuatkannya puisi lalu memintanya untuk mengulangi kembali. Mungkin karena itulah anakku menjadi terbiasa dengan puisi.

Di usia tujuh tahun, iseng aku menyuruh anakku menulis puisi yang mendeskripsikan objek sederhana. Ketika aku membacanya, aku takjub dengan kemampuannya menulis puisi itu. Menurutku hasil karyanya cukup bagus karena aku tahu tidak setiap anak seusianya bisa menulis puisi. Anak di jenjang SMP saja terkadang masih belum bisa membuat puisi. Untuk itulah aku berupaya mengembangkan bakat puisinya itu.

Suatu hari wali kelas menghubungiku untuk menyuruh anakku mewakili sekolah dalam lomba membaca puisi. Aku menyambut maksud tersebut dengan rasa bahagia. Tidak setiap anak bisa beruntung mewakili sekolah dalam ajang lomba. Segera saja kuminta anakku menulis puisi dengan tema lingkungan. Selanjutnya puisi itu kami sunting bersama.

Esoknya kuminta anakku berlatih membaca puisi. Dia pun berlatih seharian. Lalu kami memulai rekaman. Hasil rekaman tersebut kuserahkan kepada pihak sekolah untuk selanjutnya dikirimkan ke panitia lomba. Aku tidak memikirkan menang atau kalah. Hal yang terpenting adalah memberikan kesempatan baginya untuk berpartisipasi menunjukkan bakatnya.

Satu bulan menunggu. Tiba-tiba pesan whatsapp masuk. Wali kelas mengabarkan berita gembira. Anakku berhasil menjadi juara satu untuk jenjang sekolah dasar. Di usianya yang baru 8 tahun, anakku berhasil mengalahkan peserta lain yang berusia jauh di atasnya. Prestasi yang sangat membanggakan.