SAAT HUTAN-HUTAN LESTARI MULAI
TERSISIH,APA YANG AKAN TERJADI?
HILANG DALAM
KELAM
Hutanku,
Bergumul dalam deru
Terseok penuh liku
Tercabik sungguh pilu
Hutanku,
Bergumul dalam deru
Terseok penuh liku
Tercabik sungguh pilu
Hutanku,
Jadi rebutan orang
Dicengkram tangan penguasa
Digusur hingga lebur
Diremuk tanpa bentuk
Dilacur sampai hancur
Hutanku,
Berjuta
asa
Rajut hari tanpa daya
Diam membungkam
Hilang dalam kelam
Rajut hari tanpa daya
Diam membungkam
Hilang dalam kelam
(Alamsari)
“Jajaran pepohonan hijau lestari. Selayar dedaun menarik hati.
Binatang hutan riang menari. Sunyi sepi damaikan diri”.
Apa yang kau pikirkan tentang hutan,
kawan? Hutan adalah rumah bagi manusia. Ia membawa berjuta makna. Banyak
manfaat yang didapat. Sejak awal bumi tercipta, hutan telah ada. Ia menyelimuti
seluruh penjuru negeri. Menjadikan dunia hijau penuh aroma. Aroma kesegaran
yang menenangkan jiwa. Manusia dengan akalnya diberikan amanah oleh Tuhan yang
Maha Kuasa. Memanfaatkan hutan sebaik-baiknya. Boleh saja mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun harus tetap mengacu pada batasan yang ada.
Menjamin keberlangsungan hutan agar tetap lestari.
Menuju Pengelolaan Hutan Lestari
![]() |
(Topik Forest Talk with Blogger Palembang) |
Rumahku ada di ujung kota. Sekitar
tahun 80-an, masih sedikit orang yang tinggal di sana. Tak heran, masih banyak
hutan di sana. Banyak pepohonan hijau menyejukkan mata. Kala malam tiba, suara
jangkrik riang bernyanyi. Kunang-kunang berpijar terbang menari. Kala malam
gelap tiba, ribuan laron datang silih berganti. Masa kecilku dihabiskan dengan
berpetualang. Menyusuri hutan, mencari burung. Mencari belalang, kupu-kupu, dan
capung. Memetik buah jambu monyet yang tumbuh liar. Memanjat pohon dan
bergelantungan di atasnya. Sungguh menyenangkan. Hari silih berganti.
Pertambahan penduduk tak terhindari. Kebutuhan akan lahan semakin meningkat.
Tempatku yang dulu asri, kini gersang sekali. Tak ada lagi jajaran pohon hijau.
Semua telah berganti rupa menjadi rumah-rumah mewah. Tak ada lagi udara segar.
Yang ada hanyalah kesesakan dan polusi udara. Dan kini jika ke Palembang,
satu-satunya hutan yang masih tersisa adalah “Hutan Wisata Punti Kayu”. Dahulu, sewaktu masih SLTP, guruku
pernah berkata “Indonesia adalah
paru-paru dunia”. Sebagai paru-paru dunia, hutan telah memberi nafas bagi
manusia. Tanpa hutan, manusia hanya akan mendapat bencana. Lalu bagaimana
eksistensi hutan sekarang? Apakah Indonesia masih layak dijuluki paru-paru
dunia?
![]() |
(Para Pembicara dalam Forest Talk with Blogger) |
Suatu waktu, aku mendapatkan
kesempatan mengikuti acara “Forest Talk
with Blogger”. Sebuah acara yang digagas oleh Yayasan Doktor Sjahrir (YDS) bekerjasama
dengan Climate Reality Indonesia.
Doktor Sjahrir sendiri adalah seorang aktivis, sekaligus ekonom dan politisi
Indonesia. Acara yang bertajuk “Menuju
Pengelolaan Hutan Lestari” itu digelar di Benteng Kuto Besak Teather dan diikuti oleh 45 orang blogger dari
berbagai penjuru Sumatera Selatan khususnya Palembang. Dalam kesempatan itu
pula, hadir beberapa narasumber yang sangat ahli di bidangnya, diantaranya Dr. Amanda Katili Niode (Manager Climate
Reality Indonesia), Dr. Atiek Widayati (Tropenbos Indonesia), Murni Titi
Resdiana (Kantor Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim), dan Bapak Janudianto (APP Sinar Mas).
Acara tersebut sangat bagus sekali. Sungguh menambah wawasan dan pengetahuan.
Aku sangat bersyukur dapat mengikuti kegiatan tersebut.
“Tahun 2018, Indonesia mengalami 2481 bencana, 97% bencana
hidrometeorologi, dan mengakibatkan 10 juta orang menderita dan mengungsi” (Dr. Amanda Katili Niode). Apa yang menyebabkan timbulnya bencana
tersebut? Tak lain akibat ulah manusia itu sendiri. Aktivitas manusia yang
berlebihan harus diakui telah memunculkan masalah baru bagi bumi. Pemanasan
global adalah dampak yang paling dirasa. Bumi semakin sukar diprediksi. Suhu
global meningkat. Terjadi cuaca ekstrem hampir di seluruh negeri. Samudra
memanas dan es meleleh. Gejala rusaknya tatanan bumi telah nyata di hadapan
mata. Harus diakui, setiap sektor industri adalah penyumbang dalam
meningkatknya pemanasan global tersebut. Setidaknya ada enam sektor yang paling
berpengaruh dalam meningkatkan pemanasan global tersebut, yakni sektor lahan kehutanan (61,6%), sektor energi
(26,2%), sektor pertanian (8,2%), sektor limbah (3,2%), sektor industri (0,7%),
dan sektor penerbangan (0,1%). Di satu sisi, keberadaan sektor tersebut
sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun di sisi lain, juga menimbulkan dampak
yang buruk bagi kelestarian bumi. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap?
Harusnya dampak buruk yang
ditimbulkan oleh sektor tersebut diimbangi pula dengan aksi nyata yang ramah
lingkungan. Kita tahu minyak dan batu bara sebagai komoditi langka yang saat
ini begitu mahal harganya. Harganya yang mahal itulah menjadikan eksploitasi bumi
semakin tidak terkendali. Keberadaannya pun kini sudah semakin langka. Untuk
itu diperlukan solusi untuk mengurangi pemanasan global tersebut. Salah satunya
adalah dengan cara beralih dari penggunaan energi tak terbarukan menuju energi
terbarukan. Di Pulau Sumba, misalnya pada tahun 2025 akan menggunakan 100%
energi terbarukan. Energi kincir angin yang memanfaatkan tenaga dorongan angin
untuk menciptakan daya listrik. Melalui perpaduan kearifan tradisonal dan
kemajuan teknologi, setidaknya telah mampu mengurangi ketergantungan terhadap
energi dari fosil bumi, seperti minyak dan batu bara. Manusia perlu pula
mengalihkan pola makannya. Walau nampak sederhana, peralihan pola makan dari
konsumsi daging menuju konsumsi sayur dan buah-buahan nyatanya diprediksi mampu
menyelamatkan 8 juta hidup manusia di tahun 2050 mendatang. Selain itu, dapat
pula menghemat biaya kesehatan dan kerusakan iklim hingga 1,5 triliun US dolar.
![]() |
(Rusaknya Hutan Kalimantan) (Sumber: https://www.mongabay.co.id/) |
Suatu ketika saya pulang ke kampung
halaman. Sudah hampir 20 tahun saya tidak mudik ke kampung. Di kampung, kami
sudah tidak punya rumah. Ibu dan bapak saya sudah menetap di Palembang sejak
lama. Tentu saja ajakan ibu untuk mudik ke kampung mengunjungi Wak yang ada di sana, saya sambut dengan
antusias. Saat itu musim duku dan durian. Ibu saya pernah bercerita di kampung,
wak masih punya kebun duku dan
durian. Tentunya saya pikir dapat makan duku dan durian sepuasnya. Tetiba di
kampung, kenyataan lain yang justru saya dapati. Konversi hutan dari pepohonan
buah menjadi kelapa sawit telah terjadi. Warga kampung berlomba-lomba menanam
kelapa sawit dan menebang pohon duku dan duriannya. Demi kepentingan ekonomi,
mereka rela kehilangan warisan buah lokal khas Indonesia. Memang fenomena
konversi ini tidak hanya terjadi di kampung saya. Hampir di semua daerah di
Indonesia mengalami hal yang sama. Berbondong-bondong menanam kelapa sawit
untuk dijual buahnya. Saat itu memang harga kelapa sawit sedang tinggi. Namun
kini lihatlah akibatnya. Harga kelapa sawit turun drastis. Apalagi larangan
impor sawit yang baru-baru ini diberlakukan oleh Uni Eropa semakin membuat
harga sawit Indonesia kian anjlok. Jika benar-benar larangan itu diberlakukan
maka habislah segala. “Bukannya untung
didapat, melainkan buntung diraih. Hutan telah habis dibabat, kelapa sawit tak
laku dibeli”.
Lalu apa akibatnya dari deforestasi, degradasi, dan konversi hutan
tersebut? Akibat yang nyata dan langsung terasa adalah
bencana kebakaran dan kabut asap. Masih ingat di tahun 2015 lalu, bencana
kebakaran hutan dan kabut asap melanda Indonesia. Bahkan asapnya mengganggu
hingga ke negara tetangga. Di tahun itu, setidaknya ada tujuh provinsi yang
terkena bencana, yakni provinsi Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
dan Papua. Khusus di Sumatera Selatan, provinsi dimana tempat saya
tinggal—saya pun termasuk yang mengalami dampak kebakaran dan kabut asap
tersebut. Bahkan saat berangkat kerja di pagi hari saya harus melambatkan motor
pelan sekali. Hal itu dikarenakan jarak pandang sangat terbatas. Tak jarang,
saya terpaksa memberhentikan laju kendaraan dan menepi. Mata saya perih dan
rasanya tak sanggup menembus tebalnya kabut asap itu. Tidak hanya kebakaran dan kabut asap, bencana
lainnya adalah banjir dan tanah longsor. Bencana terbaru adalah banjir dan
tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan. Dari hasil investigasi ternyata
disebabkan oleh eksploitasi sumber daya hutan di hulu yang mengakibatkan
rusaknya hutan.
![]() |
(Salah Satu Galeri yang Memamerkan Kerajinan yang Terbuat dari Kayu Sisa Panglong) |
Lalu apa yang musti kita lakukan?
Tidak ada cara lain, selain mengembalikan fungsi hutan sedia kala. Untuk itu
diperlukan kolaborasi atau kerjasama antara pemerintah, organisasi sosial, dan
sektor swasta. Pemerintah melalui pembuatan kebijakan, organsisasi sosial sebagai
kontrol pelaksanaan kebijakan tersebut, dan sektor swasta selaku pengeksekuasi
yang menerapkan kebijakan. Lalu bagaimana dengan masyarakat umum? Apakah hanya
bisa bertopang dagu saja? Tentu saja tidak. Masyarakat justru dapat berperan
aktif membantu dalam mengembalikan fungsi hutan sedia kala. Caranya adalah
dengan mendukung pelestarian hutan dengan tidak menebang pohon serampangan. Cara
lainnya adalah dengan mendukung hasil hutan bukan kayu. Ada yang menarik untuk
hal yang satu ini. Dalam acara Forest
Talk with Blogger, saya mendapatkan pengetahuan baru bahwa selain kayu, ada
banyak hal yang dapat dimanfaatkan dari pohon, semisal daun, akar, bahkan buah.
Setidaknya hal itulah yang disampaikan oleh Ibu Murni Titi Resdiana selaku
Kantor Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim. Ia bercerita
bahwa di sebuah kampung, ia melihat masyarakat lokal di sana memanfaatkan
kelapa untuk dibuat menjadi gula.
![]() |
(Galeri Wong Kito Memperagakan Ecoprint) |
Dalam hal lainnya, upaya mendukung
produk bukan kayu dapat dilakukan pula dengan mengolah berbagai kerajinan dari
bahan alami. Daun lontar, misalnya dapat dimanfaatkan untuk dibuat kerajinan
tas dan dompet. Daun jati dapat dijadikan sebagai pewarna kain alami atau
pewarna minuman. Serat bambu dan pelepah pisang dapat diolah menjadi anyaman
tikar. Dalam kesempatan sesi kunjung pameran, dipamerkan bagimana pemanfaatan
produk ramah lingkungan tersebut sebagai komoditi bernilai jual tinggi. Salah
satunya oleh Galeri Wong Kito. Galeri
yang bergerak di bidang usaha fashion
ini memamerkan berbagai kain dengan motif beragam dengan warna yang menarik.
Saya dan teman-teman berkesempatan secara langsung melihat bagaimana proses
pewarnaan dengan menggunakan bahan alami. Dengan beberapa helai daun jati yang
telah direndam dengan air tawas, mampu menciptakan motif dan warna yang sangat
menarik. Bahkan fashion yang
dihasilkan oleh Galeri Wong Kito ini
telah merambah pasar internasional. Luar biasa bukan! “Dari hal yang sederhana dan selama ini dianggap sebelah mata, jika
dimanfaatkan dengan baik justru dapat menjadi potensi yang luar biasa”.
Desa Makmur Peduli Api
![]() |
(Penyampaian Materi DPMA oleh Bapak Janudianto) |
Dalam kesempatan Forest Talk
with Blogger hadir pula pembicara dari APP Sinar Mas, yakni Bapak
Janudianto. Satu hal yang menarik dari apa yang disampaikan oleh pembicara
tersebut adalah adanya Desa Makmur Peduli
Api (DPMA). Terus terang baru kali ini aku mendengar istilah itu. Lalu
seperti apa rupa desa tersebut? Desa Makmur peduli api merupakan program desa
binaan oleh APP Sinar Mas yang pada intinya bertujuan untuk mendukung
pengelolaan hutan lestari yang baik dan bertanggung jawab. Apa yang sebenarnya
mendasari pemikiran tersebut? Setidaknya ada lima hal yang menjadi konteks
dilaksanakannya program Desa Makmur Peduli Api tersebut, yakni adanya perambahan dan pembakaran lahan;
monokultur ketersediaan sumber pangan di sekitar hutan; adanya masyarakat
miskin di sekitar tanah konsesi; adanya ragam praktek usaha tani namun
produktivitas rendah; dan banyaknya dusun yang tersebar di sekitar hutan.
Dalam pelaksanaan DPMA tersebut, ada empat pilar yang menjadi inti program,
yakni Pencegahan (melalui tata kelola air dan menciptakan
masyarakat peduli api); Persiapan
(Menciptakan sistim komando bencana,
pemetaan jalur patrol, dan mengadakan regu pemadam kebakaran); Deteksi Dini (Melalui deteksi wilayah kebakaran, citra
thermal, dan pemantauan dari ketinggian); dan Respon Cepat (Melakukan
pemadaman kebakaran oleh regu pemadam kebakaran dibantu helikopter pemadam
api).
Keberadaan Desa
Makmur Peduli Api ini tersebar di lima provinsi, yakni Riau, Sumatera Selatan,
Jambi, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Lalu apa saja kriteria desa
sasarannya? Dalam melakukan kemitraan, APP Sinar Mas menerapkan tiga kriteria,
yakni (1) Desa yang berada dalam konsesi atau di luar konsesi berjarak paling
jauh tiga kilometer; (2) Masyarakat desa tersebut memiliki interaksi yang erat
dengan sumber daya hutan; (3) Pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan di desa
tersebut dalam tiga tahun terakhir, pembalakan liar, dan perambahan hutan. Nantinya,
kepada desa yang bermitra akan dilaksanakan MoU dan selanjutnya diberikan dana
hibah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk membuat
usaha. Sebut saja Tuharno, petani andalan di Desa Unggul DPMA Kesuma, Riau.
Beliau telah sukses menjalankan usaha ternak kambing. Hingga saat ini kambing
yang dimilikinya sudah mencapai puluhan kambing. Sebagai informasi, hingga saat ini APP Sinar
Mas telah menyalurkan dana kepada 284 Desa. Dana tersebut dikelola oleh 77
lembaga Badan Usaha Milik Desa (bumdes), 8 Lembaga Koperasi, dan 199 Lembaga
Gapoktan. Bentuk-bentuk usahanya pun beragam mulai dari tanaman herba, buah,
sayuran, padi, perkebunan, ternak unggas, dan UMKM. Keberadaan Desa Makmur
Peduli Api ini diklaim mampu mengurangi kerusakan dan kebakaran hutan dan lahan
secara maksimal dan tentunya mampu pula meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat.
Blogger dan Hutan Lestari
![]() |
(Foto Bareng Narasumber dan Blogger Palembang) (Sumber Foto: www.lestarihutan.id) |
Pemerintah sadar betul bahwa dalam menjaga kelestarian hutan tidak bisa
dilakukan sendiri. Dibutuhkan kerjasama antarpihak. salah satunya adalah
melalui para blogger. Untuk itulah Yayasan Doktor Sjahrir Indonesia bekerjasama
dengan Climate Reality Indonesia melalui
acara Forest Talk with Blogger
menggandeng para blogger. Teknologi yang semakin canggih telah membawa
perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan. Kecanggihan teknologi telah mematahkan
kekakuan ruang dan waktu. Melalui teknologi, siapapun dapat dengan mudah
mengakses berbagai informasi dimanapun dan kapanpun. Data menyebutkan bahwa
hingga tahun 2017 sebanyak 143 juta orang Indonesia telah mengakses internet.
Dari data tersebut diketahui pula bahwa dalam sehari, 43,89% orang Indonesia
mengakses internet selama 1—3 jam per hari; 29,63% mengakses 4—7 jam per hari;
dan 26,48% mengakses internet 7 jam per hari. Luar biasa! Hal itu menunjukkan
bahwa peran media digital sangat penting bahkan telah menjadi bagian dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itulah, Yayasan Doktor Sjahrir Indonesia memandang para blogger memiliki
peranan penting dan diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam mengampanyekan
pentingnya pengelolaan hutan lestari di Indonesia.
Bagaimana caranya? Tentu saja melalui
tulisan. Para blogger melalui ide dan pemikiran kreatifnya dapat menuliskan
berbagai informasi yang penting untuk diketahui. Memberitakan informasi
mengenai pengelolaan hutan lestari;
kemitraan pemerintah, pihak swasta, LSM, dan masyarakat yang sangat
penting untuk mencegah laju kerusakan hutan dan tentunya meningkatkan penanaman
hutan kembali di kawasan yang telah rusak. Para blogger juga diharapkan dapat
mengangkat pemberitaan mengenai masalah pentingnya meningkatkan ekonomi desa
dengan memanfaatkan program perhutanan sosial, yaitu menanam pohon-pohon yang
dapat menjadi bahan baku produk unggulan desa, dan menggulirkan ekonomi kreatif
di desa tersebut. Melalui tulisan para blogger yang disebarluaskan diharapkan
dapat memberikan informasi yang edukatif dan bermanfaat bagi masyarakat yang
membaca. Dan pada akhirnya Sayyid Quthb pernah berkata “Jika satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, maka satu tulisan
dapat menembus berjuta-juta kepala”. Satu tulisan tentang pengelolaan hutan
lestari semoga mampu memberikan pencerahan kepada kita semua dan semoga hutan-hutan Indonesia agar tetap lestari. Semoga saja!
Menjelang malam marilah makan
Hidangan lezat wajah berseri
Marilah kita menjaga hutan
Agar selalu rindang lestari
Terima kasih terkhusus saya ucapkan kepada Yayasan Doktor Sjahrir(YDS) dan Climate Reality Project
Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti acara Forest Talk with Blogger. Semoga apa
yang telah saya terima dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi dan khususnya
bagi orang-orang di sekitar saya. Untuk informasi lebih lengkap mengenai hutan dan pengelolaannya silakan klik www.lestarihutan.id
Semoga dengan adanya artikel ttg pentingnya menjaga hutan ini dapat sampai ke pembaca dgn bijak. Semoga mereka tau betapa pentingnya paruparu kita ini. Jaga bumi kita, dengan mengaja hutan agar lestari.
ReplyDeleteLuar biasa ya pengaruh hutan ini terhadap Kita. Kadang ga terpikirkan bahwa memang hutan itu galepas dr kehidupan. Yuk jaga bareng2 supaya hutan ttp lestari!
ReplyDeleteliterasi lewat internet salah satu cara efektif mengedukasi masyarakat
ReplyDeleteWah, pandai berpuisi nih kak Alam. Tooop.
ReplyDeleteKeren puisinya kak Alam...
ReplyDelete