Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Sunday 29 September 2019

Dongeng Sebelum Tidur: Budaya Bertutur yang Kian Meluntur


DONGENG MENJELANG TIDUR: BUDAYA BERTUTUR YANG KIAN MELUNTUR

Alamsari, M.Pd.
(SMP Negeri 1 Indralaya Utara)

Mereka berkumpul lalu bertutur. Menceritakan legenda atawa dongeng kepada anak-anaknya. Menjelang tidur—dalam keremangan malam para orang tua mengajarkan norma atau nilai kehidupan melalui cerita sarat makna. Namun itu dulu! Dulu sekali! Sekarang jarang ditemui. Di kampung apalagi di kota—semua seolah hanyut dalam buaian kemajuan zaman yang membuat lena. Padahal mendongeng itu baik. Banyak hal yang bisa dipelajari. Melalui dongeng anak-anak dapat belajar karakter yang penting bagi kematangan pribadinya. Melalui dongeng anak-anak diajarkan berpikir kreatif dan kritis. Melalui dongeng anak-anak menjadi suka bercerita—pada akhirnya mereka akan suka membaca.
Perihal membaca—menjadi momok nyata pada era serba canggih ini. Data BPS tahun 2015 menunjukkan 91% anak Indonesia lebih suka menonton televisi dibandingkan membaca. Setali tiga uang, UNESCO mengatakan bahwa dari seribu orang Indonesia hanya satu orang saja yang memiliki minat membaca. Dalam riset yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) juga diketahui bahwa orang Indonesia rata-rata membaca 0 buku—jauh dari negara tetangga, seperti Thailand (5 buku), Singapura (6 buku), atau Brunai (7 buku).  Tak heran kemampuan literasi anak Indonesia terbilang rendah dari negara tetangga. Hasil PISA tahun 2015 menempatkan Indonesia pada posisi ke 64 dari 72 negara. Mengapa demikian? Penyebabnya karena anak Indonesia tidak terbiasa membaca. Padahal Membaca adalah kunci pembuka cakrawala. Melalui membaca ilmu pengetahuan akan bertambah. Membaca juga melatih kecerdasan berpikir. Oleh karena itulah membaca termasuk ke dalam literasi dasar yang musti dikuasai dan ditumbuhkan sejak dini.

Peradaban yang tinggi bermula dari kebiasaan membaca. Negara-negara maju, seperti Amerika, Finalandia, atau Jepang telah membudayakan gemar membaca sebagai gaya hidup sehari-harinya. Di jalan ataupun di dalam kendaraan, masyarakat di negara maju pasti akan menyempatkan diri untuk membaca buku. Membaca memang sangat penting. Begitu pentingnya membaca, sampai-sampai wahyu yang pertama kali diturunkan adalah perihal membaca “iqro (bacalah)…iqro (bacalah)…iqro (bacalah)”. Presiden Soekarno dalam pidatonya mengatakan bahwa melalui membaca ia dapat berjumpa dengan siapa saja. Baginya buku adalah dunia imajiner yang memberikan inspirasi dan informasi. Hampir sebagian besar harinya dihabiskan dengan membaca buku. Di manapun ia menyempatkan membaca buku—bahkan di dalam toilet sekalipun.
Kembali pada perihal dongeng sebelum tidur. Indonesia dianugrahi Tuhan yang Esa dengan beragam budaya dan cerita. Hampir setiap daerah punya cerita khasnya. Seyogyanya cerita-cerita itu diwariskan pula turun-temurun kepada generasi muda. Caranya tentu saja melalui budaya mendongeng sebelum tidur. Selain mewarisi folklore khas Indonesia—mendongeng juga memberikan manfaat yang luar biasa. Pakar psikologi; Monica Sulistiawati mengatakan setidaknya ada enam manfaat dari mendongeng, yakni membantu perkembangan kognitif anak; mengembangkan sosial dan emosional; mempererat ikatan di antara orang tua dan anak; mengembangkan imajinasi; mengembangkan keterampilan berbahasa; dan menumbuhkan minat membaca. Menyadari besarnya manfaat mendongeng tersebut sudah seyogyanya para orang tua mulai membiasakan menyampaikan satu cerita setiap malam kepada anaknya. Mendongeng dengan penuh ekspresi dan intonasi yang bervariasi. Anak-anak pasti akan sangat suka. Lalu pada lelap tidurnya—ia akan mengarungi dunia khayalnya berimajinasi lewat cerita yang telah didengarnya.
Dalam studi yang saya lakukan pada siswa di tempat saya mengajar, hampir 90% anak-anak suka membaca buku dongeng. Mereka berpendapat dongeng memiliki alur yang sederhana dan mudah dipahami. Selain itu, ceritanya juga menarik. Hanya sekitar 5% saja yang membaca novel dan sisanya membaca buku lainnya. Para psikolog berpendapat bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang penuh dengan imajinasi. Pada masa itu, mereka lebih suka cerita-cerita yang memuat unsur fantasi. Tak heran jika anak-anak lebih menyukai dongeng ketimbang cerita lainnya. Pada masa keemasan tersebut, harusnya dimanfaatkan sebaik mungkin. Orang tua perlu menuturkan cerita dongeng karena sangat baik bagi perkembangan otaknya.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 jelas mengatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat….”. Tujuan pendidikan tersebut tentu adalah tanggung jawab kita semua, utamanya orang tua sebagai pelaku pendidikan pertama di rumah. Orang tua harus menanamkan pendidikan karakter kepada anaknya, yakni melalui mendongeng. Sebab mendongeng adalah satu-satunya kegiatan yang mudah dilakukan—tidak juga membutuhkan biaya. Namun sangat disayangkan hasil survey yang dilakukan oleh Disney di Inggris menunjukkan bahwa dari seribu orang tua—sebagian besar mengaku tidak memiliki cukup waktu untuk mendongeng kepada anaknya. Selain itu, hasil survey juga menunjukkan bahwa dua per tiga dari responden tersebut telah menghilangkan tradisi mendongeng karena tersingkir peran teknologi. 
Bagaimana dengan Indonesia—sama saja seperti di Inggris. Kemajuan teknologi selalu saja memiliki dua sisi. Menghadapi industri 4.0, teknologi mutlak harus dikuasai—di sisi lain menghambat literasi. Gawai dengan beragam aplikasinya—lebih disukai anak-anak untuk bermain game. Anak-anak lebih suka menggunakan aplikasi seperti tik-tok, whatsapp, pengolah gambar atau aplikasi lainnya yang sifatnya “suka-suka”. Anak-anak  juga lebih suka membaca status di media sosial, seperti facebook atau twitter dibandingkan membaca buku. Data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 merilis bahwa sebanyak 768 ribu pengguna internet Indonesia adalah anak-anak usia 10—14 tahun. Apa maknanya? Sepuluh tahun saya mengajar—lebih dari 90% para pelajar mengalami kesulitan dalam menghafal. Mereka mengaku tidak sanggup berpikir hal yang sulit. Sebagian besar dari mereka tidak sanggup membaca teks yang panjang. Hal itu patut dicurigai sebagai buah dari gaya hidup yang serba instant. Konsekuensi logis dari penggunaan teknologi gawai, yakni menjadikan anak-anak menjadi malas berpikir dan membaca.
Bagaimana menyikapi kemajuan teknologi (gawai) dengan upaya menumbuhkan gemar membaca? Tentu saja sebisa mungkin orang tua harus menghindari anak dari kecanduan gawai. Batasi penggunaan gawai dan awasi. Jangan terlalu khawatir—kelak anak kita akan menjadi insan “gaptek”. Yakinlah—sebagai generasi milenial—anak-anak terlahir dengan kemampuan beradaptasi tinggi termasuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Tidak perlu waktu lama mengajarkan mereka cara menggunakan gawai—tanpa dicontohkan pun mereka akan bisa dengan sendirinya. Yang perlu kita khawatirkan adalah jika sampai besar usianya—mereka tak kunjung tumbuh minat bacanya—celakalah bagi masa depannya.
Budaya mendongeng diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Sampai pada abad 21 ini—budaya mendongeng perlahan tersisih. Oleh karenanya, perlu peran bersama untuk menghidupkan kembali tradisi bertutur itu. Pemerintah perlu membuat kebijakan atau program yang mendukung penciptaan budaya berliterasi—salah satunya melalui Gerakan Orang Tua Membacakan Buku atau dikenal dengan istilah “Gernas Baku”. Gernas Baku merupakan gerakan yang berupaya mendukung peran keluarga dalam meningkatkan minat baca anak di rumah. Gerakan ini bertujuan untuk membiasakan orang tua membacakan buku di rumah bersama anaknya. Diharapkan melalui kebersamaan membaca buku, dapat mempererat hubungan sosio-emosional di antara keduanya. Untuk itu, orang tua perlu menyambut antusias program tersebut dengan cara membiasakan aktivitas bercerita di rumah. Orang tua perlu menjadikan membaca sebagai gaya hidup dalam keluarga. Upaya tersebut harus pula didukung dengan kemudahan akses terhadap buku. Setiap sudut rumah harus dipajang buku-buku yang menarik—sehingga dimanapun anak mereka berada akan selalu melihat buku.
Gerakan nasional membaca buku sebenarnya bukanlah hal yang baru. Gerakan seperti itu bahkan telah sejak lama diterapkan di berbagai negara. Di Australia, misalnya—terkenal dengan istilah bedtime stories-nya. Program bedtime stories tersebut mewajibkan orang tua di Australia membacakan dongeng, semisal Cinderela kepada anaknya sebelum tidur. Sama halnya seperti Australia—Finlandia juga memiliki tradisi yang sama. Kultur bercerita telah mentradisi dari masa ke masa. Para orang tua membacakan buku dongeng dan mitologi sebelum tidur. Tujuannya untuk membentuk karakter. Lain halnya dengan di Jepang—untuk menumbuhkan minat membaca, pemerintah Jepang mewajibkan sekolah TK untuk membacakan buku cerita 1—3 kali sehari kepada anak. Selain itu, orang tua di Jepang juga mempunyai kebiasaan liburan yang tidak lazim, yakni mengajak anaknya ke perpustakaan untuk membaca buku.
Pada dasarnya literasi tidaklah tumbuh sendiri, melainkan ditumbuhkan. Literasi musti diajarkan dan dibiasakan. Literasi harus didukung oleh lingkungan karena pada dasarnya anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dimana ia dibesarkan. Untuk itulah perlunya kesadaran keluarga untuk menciptakan lingkungan yang berorientasi literasi. Sudah saatnya keluarga Indonesia menghidupkan kembali kebiasaan lama, yakni bertutur menjelang tidur—mendongengkan kisah kepada anaknya—sebab mendongeng itu sangat baik. Telah banyak penelitian mengenai manfaat mendongeng terhadap penumbuhan budaya literasi pada anak. Oleh sebab itu, mari kita mendongeng. Mari membudayakan literasi di tengah keluarga kita—sekarang juga!

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
#LombaBlog
#PendidikanKeluarga

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!