Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Thursday, 26 November 2020

Stop Bullying Melalui Sekolah Ramah Anak

 

Stop Bullying Melalui Sekolah Ramah Anak


Alamsari, M.Pd.

(SMP Negeri 1 Indralaya Utara)



Sepanjang tahun 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 153 pengaduan terkait kekerasan terhadap anak di sekolah. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 44 persen kekerasan di sekolah dilakukan oleh guru kepada siswa dan sebanyak 30 persen kekerasan dilakukan oleh siswa kepada siswa lainnya. Data tersebut patut menjadi perhatian kita semua mengingat bahwa aksi kekerasan kepada anak di sekolah masih terus terjadi dari waktu ke waktu.  

Salah satu upaya yang kami lakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak di sekolah adalah melalui program Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejak tahun 2018, sekolah tempat saya bertugas telah ditetapkan sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA) oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir. Untuk mendukung Sekolah Ramah Anak (SRA) tersebut, sekolah kami melaksanakan berbagai kegiatan, diantaranya:

1.      Sosialisasi Kebijakan antikekerasan (bullying)

Kegiatan sosialisasi kebijakan antikekerasan dilakukan dengan cara memberikan pelatihan kepada guru dan siswa, serta memasang spanduk dan banner yang berisi ajakan stop bullying kepada anak.

2.      Kegiatan bimbingan konseling anak

Upaya penanganan anak-anak bermasalah oleh guru memang kerap berakhir dengan kekerasan baik verbal maupun fisik. Untuk itu, sekolah kami memaksimalkan layanan bimbingan dan konseling untuk membantu guru dalam mengatasi persoalan kenakalan anak di sekolah.

3.      Pembentukan tim pencegahan kekerasan di sekolah

Tim pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah menjadi bagian yang esensial. Tim pencegahan kekerasan tersebut bertugas untuk memantau dan memastikan tidak terjadi kekerasan baik verbal maupun fisik kepada anak di sekolah.

4.      Kegiatan penumbuhan potensi dan pembentukan karakter Anak

Salah satu cara untuk mengisi waktu di sekolah agar bermanfaat bagi anak adalah dengan cara mengadakan beberapa kegiatan penumbuhan potensi dan pembentukan karakter anak. Penumbuhan potensi anak dilakukan melalui kegiatan literasi baik buku maupun kitab suci, serta kegiatan pentas seni. Pembentukan karakter anak dilakukan melalui kegiatan pendidikan kepramukaan yang wajib diikuti oleh semua siswa di sekolah.

5.      Kegiatan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak atau instansi terkait masalah anak

Untuk lebih memaksimalkan keberhasilan program Sekolah Ramah Anak, sekolah kami menjalin kerjasama dengan berbagai instansi, diantaranya Polres Ogan Ilir, Badan Narkotika Nasional (BNN) Ogan Ilir dan Puskesmas Payakabung. Beberapa kegiatan yang dilakukan terkait kerjasama tersebut, yakni kegiatan konseling dan pencegahan tindak kekerasan anak oleh Polres Ogan Ilir, kegiatan penyuluhan penyalahgunaan narkoba, dan pemeriksaan kesehatan secara rutin oleh Puskesmas Payakabung.

6.      Pembentukan duta anak

Beberapa duta anak yang telah dibentuk di sekolah, yakni duta lingkungan, duta kebersihan, duta literasi, duta kesehatan, duta kejaksaan, dan duta antinarkoba. Duta anak tersebut bertugas untuk mengampanyekan program sekolah kepada sesama siswa di sekolah terutama untuk menyampaikan berbagai aktivitas atau kegiatan terkait upaya pencegahan terjadinya kekerasan kepada anak di sekolah.

 






Penyuluhan Polres Ogan Ilir



Melalui berbagai program yang dilaksanakan tersebut dapat membantu sekolah dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak di sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua memang sudah sepantasnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Melalui sekolah yang ramah terhadap anak, diharapkan dapat menjamin tumbuh dan kembang anak menjadi lebih maksimal dan berkualitas.  

#CerdasBerkarakter #BlogBerkarakter #AksiNyataKita #LawanKekerasanBerbasisGender #BantuKorbanKekerasan

                                          

 








Thursday, 22 October 2020

Mondok: Cerminan Pemikiran dari Sudut Pandang Orang "Modern"

 

MONDOK:

CERMINAN PEMIKIRAN DARI SUDUT PANDANG ORANG “MODERN”

 

Banyak ragam perspektif pemikiran yang mendasari para orang tua tentang mengapa memasukkan anaknya mondok di pesantren. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, ternyata bagi kebanyakan orang “modern” momondokkan anak ke pesantren masih menjadi pilihan terakhir manakala mereka sudah menemui jalan buntu untuk mengatasi kenakalan anaknya. Pondok pesantren dianggap hanya sebagai tempat pelarian untuk mengatasi ketidakberdayaan orang tua dalam mendidik anaknya. Hal itu terekam dengan apik dalam film “Mondok” yang disutradarai oleh Dedi Setiadi. Film tersebut menceritakan seorang anak bernama Reyhan dengan kenakalan luar biasa. Karena kenakalannya itu, Reyhan dikeluarkan dari sekolah umum dan tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya. Pada akhirnya orang tua Reyhan memutuskan untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan harapan agar kelakuan anaknya tersebut berubah.

Film Mondok juga menggambarkan bagaimana perspektif pemikiran orang “modern” yang menganggap pondok pesantren masih sebagai tempat pendidikan yang terbelakang dan kurang maju. Pondok pesantren masih dianggap hanya sebagai tempat untuk menempa anak menjadi fanatik terhadap agama dan meninggalkan dunia. Pemikiran seperti itu acap ditemui di tengah masyarakat kita utamanya bagi mereka dengan latar belakang ilmu agama yang masih kurang. Hal tersebut tergambar jelas dalam salah satu adegan di mana Ibu Reyhan merasa bimbang memasukkan anaknya ke pesantren karena takut anaknya menjadi teroris karena terlalu fanatik dengan agama.

Namun sangat disayangkan, beberapa adegan dalam film Mondok ternyata masih menunjukkan inkonsistensi karakter. Orang tua Reyhan digambarkan sebagai sosok yang memiliki status sosial tinggi, kaya, dan berpikiran maju atau modern. Akan tetapi, karakter tersebut justru menjadi bias (inkonsisten) sebagaimana terlihat pada adegan saat orang tua Reyhan mencari informasi mengenai pondok pesentren. Orang tua Reyhan berkeliling ke seluruh penjuru tempat dan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya mengenai pesantren mana saja yang mengajarkan musik kepada santrinya. Kelakuan orang tua Reyhan dalam film tersebut alih-alih mendukung karakter modern, justru menggambarkan kekolotan. Orang dengan pendidikan tinggi dan berpikiran modern tentu tidak akan mungkin memiliki kelakuan “udik” dalam hal mencari informasi mengenai profil sekolah (pesantren). Cukup dengan memanfaatkan teknologi (internet), segala informasi mengenai apapun dapat diakses dengan mudah dan cepat.

Inkonsistensi berikutnya ditunjukkan pada adegan saat orang tua Reyhan terkejut bahwa di pesantren, anaknya tersebut diharuskan salat Tahajud dan melakukan aktivitas mandiri lainnya, seperti mencuci piring dan baju. Mengapa bisa terkejut? Karena orang tua Reyhan tidak mengetahui aktivitas di pesantren tempat anaknya mondok. Mengapa mereka bisa tidak tahu? Bukankah sebagai orang yang “modern” dengan pendidikan tinggi, seharusnya segala informasi berkaitan dengan tempat pendidikan anak sudah diketahui sejak awal pendaftaran. Orang “modern” tentu akan bertanya sedetil mungkin mengenai segala fasilitas, termasuk aktivitas harian di pondok pesantren tersebut apalagi jika menyangkut masa depan pendidikan anaknya.

Terlepas dari inkonsistensi tersebut, film Mondok patut diapresiasi karena memberikan pelajaran bagi kita (orang tua) bahwasanya anggapan mendidik anak secara “Modern” berarti memberikan kebebasan tanpa batas untuk melakukan apa saja kepada anaknya—itu adalah pemikiran yang salah. Orang tua harus mengajarkan dengan jelas nilai-nilai kebaikan sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi dengan moral atau akhlak yang baik.

Thursday, 15 October 2020

TANAH HARAPAN TANAH CITA-CITA

 

Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fberitadiy.pikiran-rakyat.com%2Fentertainment%2Fpr-70716238%2Fsinopsis-dan-trailer-film-tanah-cita-cita-pendidikan-yang-out-of-the-box-di-bima-ntb&psig=AOvVaw3mvCGocENxJZYX7k3cCROj&ust=1602859254580000&source=images&cd=vfe&ved=2ahUKEwiNzZyV6rbsAhWABrcAHYy4A7cQr4kDegUIARCMAQ
(Sumber: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fberitadiy.pikiran-rakyat.com%)

TANAH HARAPAN TANAH CITA-CITA
(Alamsari)

Perubahan untuk menggapai masa depan dan asa. Itulah yang ingin disampaikan dalam film Tanah Cita-Cita. Film yang disutradarai Anton Mabruri (2016) menceritakan seorang kepala sekolah (Rayhan) di sebuah SD yang menginginkan perubahan di dalam metode pembelajaran. Siswa tidak harus belajar di kelas, tetapi mereka bisa belajar di mana saja. Menurut Rayhan metode pembelajaran konvensional  hanya membuat siswa jemu belajar sehingga tidak akan meningkatkan mutu pendidikan.

Perubahan yang dilakukan Rayhan mendapat banyak pertentangan. Dari kalangan internal—Adalah Asta Cita, seorang guru muda yang baru datang dari kota. Pada awal kedatangannya, Ibu Cita begitu kaget dengan kondisi sekolah, di mana anak-anak diberikan kebebasan dalam belajar. Ibu Cita berulang kali protes kepada Rayhan karena menurutnya metode pembelajaran seperti itu hanya membuat siswa menjadi tidak disiplin. Sebagai pemimpin, Rayhan berusaha menjelaskan dengan sabar. Tidak hanya itu, ia juga mempraktikan langsung metodenya itu. Rayhan meminta Ibu Cita mengikutinya bersama anak-anak untuk belajar di hutan, pantai, atau kebun. Di sana, Rayhan memberi materi pelajaran melalui cara yang menarik, misalnya meminta anak mengumpulkan dedaunan untuk menjelaskan mengenai klorofil atau mengajak anak membakar jagung sambil belajar sejarah. Seiring waktu, Ibu Cita akhirnya memberikan dukungan penuh kepada Rayhan karena menurutnya metode itu berhasil membawa perubahan.

Film Tanah Cita-Cita sebenarnya semakin menarik dengan adanya alur benturan budaya. Pacoa jara adalah tradisi unik sekaligus menjadi lambang martabat diri masyarakat Bima. Budaya pacoa jara dalam film Tanah Cita-Cita diwujudkan melalui sosok anak lelaki bernama Bima. Suatu waktu ketika Rayhan mengajak siswa belajar di hutan, Bima terjatuh dan kakinya terluka. Ayah Bima (Zainal) marah besar kepada Rayhan karena akibat kaki anaknya yang terluka itu, Bima tidak bisa latihan pacoa jara. Kemarahan Zainal kepada Rayhan semakin menjadi-jadi manakala termakan hasutan Nasrudin (Pak Kades). Nasrudin yang sejak awal sudah membenci Rayhan—menghasut Zainal dan orang tua siswa lainnya agar melakukan protes kepada Rayhan. Kebencian Nasrudin bermula dari gosip yang tersebar di desa bahwa Rayhan akan mencalonkan diri menjadi kades. Nasrudin tidak ingin Rayhan menjadi saingannya.

Namun sayang, benturan antara gagasan Rayhan dengan budaya setempat (pacoa jara) belum mampu digarap dengan baik. Akibatnya, banturan budaya tersebut hanya sekadar menjadi pemanis alur cerita. Ide sentral “perubahan” yang ingin ditunjukan dalam film ini, menjadi hambar dan antiklimaks. Padahal jika benturan budaya tersebut ditonjolkan sejak awal cerita, tentu film ini akan menjadi sangat menarik.

Kehambaran ide “perubahan” juga terlihat dalam salah satu adegan, dimana pada puncaknya Rayhan didatangi warga untuk dimintai pertanggungjawaban terkait ide apa yang ia terapkan di sekolah. “Saya ingin melahirkan inovasi baru. Sekolah sebagai taman belajar. Siswa datang dengan senang, belajar dengan riang, dan meninggalkan sekolah dengan berat hati.” Akan tetapi, pemikiran yang dilontarkan Rayhan dalam cerita tersebut harusnya belum mampu memantik konflik diantara keduanya. Mengapa? Karena ide briliant yang disampaikan dalam cerita tersebut pada prinsipnya hanyalah ide biasa. Ide tersebut adalah lumrah dan banyak ditemui di berbagai sekolah sehingga ide tersebut bukanlah masalah besar yang harus mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Terlepas dari kehambaran ide cerita, Film Tanah Cita-Cita menyisipkan pesan moral bahwasnya Tanah Indonesia adalah tanah cita-cita bagi siapa saja yang ingin mewujudkannya.   

Tuesday, 1 September 2020

PEMBELAJARAN DARING DI MASA PANDEMI

                PEMBELAJARAN DARING  DI MASA PANDEMI

                                              Alamsari, M.Pd.

                                   (SMPN 1 Indralaya Utara)

                                        

                         Bunga cempaka tumbuh di taman,

                         Alangkah indah bunga melati,

                         Teriring doa mari panjatkan,

                         Semoga pandemi segera berhenti.

 

Pagebluk Covid-19 telah menjadi ancaman jiwa bagi lebih 250 juta penduduk Indonesia. Ada banyak hal yang berubah, yang awalnya terasa berbeda. Selama ini tak pernah terbayang oleh kita semua akan datang suatu waktu di mana perubahan konsep paradigma pembelajaran akan mewujud secara nyata.  Pembelajaran yang selama ini secara konvensional mengandalkan tatap muka pada satu ruang dan waktu, kini menjelma dalam dunia maya, yang selama ini saya pikir hanya akan ada di negara maju.

Covid-19 telah memaksa, saya dan kita, untuk melakukan inovasi. Keputusan pemerintah meliburkan sekolah, tidak berarti aktivitas belajar harus terhenti. Anak-anak harus tetap mendapatkan haknya. Kewajiban menuntut ilmu harus tetap dilakukan karena mereka adalah generasi penerus bangsa di masa depan. Tentunya dengan kondisi yang tidak biasa, menggunakan sistem daring. 


Mengajar Daring
(Mengajar Daring)

Saat ini ada banyak aplikasi yang mendukung pembelajaran. Walau begitu, sebagai guru hendaknya kita harus selektif dalam memilih aplikasi apa yang akan digunakan. Tujuannya adalah agar pembelajaran yang dilaksanakan dapat berjalan secara efektif. Dalam pembelajaran, saya menggunakan aplikasi whatsapp dan facebook. Aplikasi whatsapp digunakan untuk berkomunikasi dengan siswa sedangkan facebook digunakan untuk melaksanakan pembelajaran. Mengapa saya menggunakan whatsapp dan facebook? Anak didik kita adalah generasi milenial. Untuk itu guru pun harus mendekatkan pembelajaran dengan cara yang kekinian. Mayoritas anak didik memiliki whatsapp dan facebook sehingga lebih mudah bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran dan tidak membutuhkan waktu lama untuk memberikan edukasi penggunaan teknologi karena mereka sudah terbiasa menggunakannya.

 

(Facebook sebagai media pembelajaran daring)

Pembelajaran daring memang tidak dapat disamakan dengan pembelajaran tatap muka. Begitu banyak problematika. Tidak semua siswa mempunya gawai. Masih banyak diantara mereka yang berasal dari keluarga dengan kekurangan ekonomi. Banyak di antara mereka yang terkendala dengan jaringan internet. Sinyal masih belum stabil sehingga terkadang timbul dan tenggelam. Jika mati lampu, sinyal juga terkadang ikut-ikutan hilang. Banyak siswa yang bahkan harus pergi ke tempat lain demi mendapatkan sinyal internet. Di tengah pembelajaran tidak jarang ada yang kehabisan kuota. Kuota masih menjadi permasalahan utama karena di Indonesia harga kuota internet memang terbilang cukup mahal harganya. Itulah permasalahan lumrah yang tidak hanya dialami oleh siswa-siswa saya saja tetapi juga dialami oleh hampir sebagian besar siswa lain di seluruh Indonesia.

Pembelajaran daring memang hanya untuk sementara. Hanya pembelajaran darurat di masa pandemi covid 19. Setelahnya pembelajaran dapat kembali normal dengan tatap muka di sekolah jika vaksin Covid-19 sudah ditemukan atau jika pandemi covid 19 sudah tidak lagi ada. Namun kapankah waktu itu? Tiada yang dapat dilakukan kecuali kita hanya dapat berdoa semoga pandemi covid-19 ini cepat berakhir. Semoga di awal tahun nanti, kita semua dapat kembali ke sekolah, bertatap muka, bercanda tawa hanyut dalam pembelajaran yang menyenangkan. Sambil menunggu waktu tersebut, mari kita manfaatkan pembelajaran daring ini dengan sebaik-baiknya untuk melakukan banyak hal yang positif.


#CerdasBerkarakter
#BlogBerkarakter
#SeruBelajarKebiasaanBaru
#BahagiaBelajardiRumah