Kurikulum 2013: Implementasi, Hambatan dan Tantangan
Oleh:
Alamsari, M. Pd.
(Tenaga
Pendidik di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
“Adanya
berbagai penolakan, nyatanya tak menyurutkan niat Kemdikbud untuk
mengimplemntasikan Kurikulum 2013. Konsekuensinya, akan banyak hambatan yang
ditemui dalam pengimplentasiannya dan itu harus diatasi jika ingin pelaksanaan
Kurikulum 2013 berjalan dengan baik”
Dunia
pendidikan tanah air kita kembali mengalami perubahan kurikulum. Setelah
sebelumnya selama kurun waktu enam tahun, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) diterapkan, kini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
kembali mengubah KTSP menjadi Kurikulum 2013. Perubahan tersebut telah secara
resmi dilansir oleh pihak Kemdibud pada awal tahun lalu. Bahkan rencananya
Kurikulum 2013 akan segera diimplementasikan secara terbatas pada tahun ajaran
baru ini (sekitar pertengahan Juli).
Sekedar
menapak tilas, pada awal kemunculannya, Kurikulum 2013 itu sendiri sebenarnya
mendapatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan akademisi baik guru maupun
pemerhati pendidikan. Hal itu terlihat dari banyaknya respons negatif yang
diberikan pada awal pelaksanaan uji publik terkait rencana pengimplementasian
Kurikulum 2013. Adanya berbagai penolakan terhadap Kurikulum 2013 tersebut
sebenarnya adalah sangat wajar mengingat hakikatnya, perubahan kurikulum
dianggap perlu dilakukan hanya jika memang didapati kekurangan atau kelemahan
dari kurikulum sebelumnya.
Lalu
terkait KTSP, benarkah terdapat kelemahan atau kekurangan? Berkaitan dengan
itu, dalam kacamata Kemdikbud, KTSP memang memiliki banyak kelemahan. Namun
benarkah demikian adanya? Menurut hemat penulis, tentu dalam hal ini pihak
Kemdikbud terlalu terburu-buru menafsirkan kegagalan/kelemahan dalam KTSP
tersebut. Seyogyanya, untuk dapat melihat kelemahan atau kekurangan suatu
kurikulum diperlukan waktu yang cukup lama. Bukan setahun, dua tahun, atau
beberapa tahun saja. Selain itu pula, diperlukan pengamatan dan penelitian yang
mendalam dan komprehensif sehingga benar-benar didapatkan data yang valid
terkait ada atau tidaknya kelemahan dalam kurikulum sebelumnya sehingga dapat
dijadikan rujukan terkait penting atau tidaknya perubahan kurikulum.
Sayangnya,
berbagai penolakan yang disampaikan berbagai kalangan tersebut, sepertinya tak
digubris oleh Kemdikbud. Adanya Uji Publik Kurikulum 2013 tampaknya hanya
sekedar retorika belaka. Buktinya, Kemdikbud tetap akan mengimplementasikan
Kurikulum 2013. Bahkan, untuk menjamin kelancaran pengimplementasian Kurikulum
2013, Kemdikbud akan melatih ribuan Guru Pamong (Master Teacher) yang akan menjadi ujung tombak penerapan Kurikulum
2013 di tingkat sekolah. Di beberapa daerah seperti, Jakarta, Jawa, dan
Lampung, pelatihan Master Teacher
telah berlangsung.
Jika
demikian, bagaimana sikap kita? Ya! Nasi telah menjadi bubur. Kita tentu tidak
akan mungkin lagi menyuarakan penolakan terhadap Kurikulum 2013. Sebab, sudah
begitu banyak tenaga, usaha, dan dana yang terkuras dalam pengubahan kurikulum
tersebut, mulai dari perancangan sampai pelatihan pengimplementasian pada
tingkat sekolah. Sekarang sikap kita sebaiknya berlapang dada. Bersatu dan
bersinergi, menjalin kerjasama yang baik guna mensukseskan pengimplementasian
Kurikulum 2013 itu. Setidaknya, kita ikut berperan serta dalam mengawasi
pengimplementasian Kurikulum 2013 sehingga dapat terimplementasi dengan baik
dan benar.
Hambatan dan Tantangan
Keputusan
Kemdikbud untuk tetap mengimplentasikan Kurikulum 2013 ditengah banyaknya
penolakan, tentu memiliki konsekuensi. Konsekuensi tersebut yakni, akan banyak hambatan
dalam pengimplementasiannya. Jika tidak ditangani secara serius, hambatan
tersebut akan menjadi bumerang bagi terciptanya kegagalan Kurikulum 2013 itu
sendiri. Beberapa diantara hambatan tersebut, justru muncul dari struktur
Kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada pendekatan sains untuk tingkat SD.
Selain itu juga, terjadi perampingan beberapa mata pelajaran pada setiap
jenjang satuan pendidikan mulai dari SD, SMP, dan SMA juga menjadi hambatan
tersendiri yang cukup serius.
Struktur
kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan sains pada tingkat SD, mau tak
mau menuntut kemampuan guru untuk menguasai bidang sains itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah guru-guru SD kita sudah mumpuni? Jawabannya tentu belum. Bagaimana
tidak, sebagian besar guru-guru SD kenyataannya belum menamatkan S—1 atau belum
bergelar sarjana. Itu artinya, jangankan dari segi keilmuan, syarat
kesarjanaannya saja mereka belum memenuhi. Kalaupun sudah bergelar sarjana,
pertanyaannya, apakah mereka sudah mampu melaksanakan pendekatan sains
tersebut? Jawabannya tentu bergantung pada seberapa paham dan luas penguasaan
mereka terhadap sains itu. Logikanya, untuk mengajarkan sains, tidak
sembarangan guru yang dapat melakukannya. Kalau mau jujur, guru yang berlatar belakang
pendidikan sains saja belum tentu mumpuni di bidangnya, apalagi guru lain yang
tidak berlatar belakang pendidikan sains sama sekali.
Perampingan
beberapa mata pelajaran pada jenjang SD, SMP, dan SMA juga menjadi hambatan
yang patut ditanggapi serius. Pada tingkat SD, dari 10 mata pelajaran,
dirampingkan sehingga menjadi 6 mata pelajaran saja. Artinya ada empat mata
pelajaran yang dihilangkan, yaitu IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan pengembangan
diri. Pertanyaannya adalah bagaimana siswa akan menguasai secara luas dan mendalam
pelajaran tersebut? Sedangkan selama ini saja—keempat mata pelajaran tersebut
masih ada, siswa belum mampu menguasai secara maksimal.
Hal
yang sama juga terjadi pada jenjang SMP dan SMA. Pada jenjang SMP dan SMA, mata
pelajaran Teknologi dan Informasi (TIK) dihilangkan. Kemdikbud berdalih bahwa
TIK tidaklah dihilangkan, akan tetapi diaplikasikan secara langsung pada setiap
mata pelajaran. Itu artinya, setiap guru mata pelajaran wajib mengajar dengan
menggunakan TIK (baca:laptop dan LCD). Pertanyaannya, apakah mungkin TIK
diterapkan pada setiap mata pelajaran? Tentunya terlalu naif jika Kemdikbud
berpendapat demikian. Bukankah, jika mau jujur kita sependapat bahwa masih
begitu banyak sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan
memadai. Harus diakui, di berbagai pelosok atau pinggiran kota, masih banyak
sekolah-sekolah yang hanya memiliki fasilitas seadanya. Bahkan di beberapa
daerah banyak pula yang belum teraliri listrik. Jika demikian, tentu sangat
tidak mungkin untuk menggunakan TIK tersebut dalam pembelajaran.
Belum
lagi permasalahan terkait pemberian buku pegangan (Buku Babon) guru. Buku Babon
yang didalamnya memuat berbagai perangkat pembelajaran dan kriteria penilaian
hasil belajar siswa dinilai beberapa pihak akan membatasi gerak dan kreativitas
guru. Sebab mau tak mau, guru harus menuruti secara konseptual segala kegiatan
pembelajaran di kelas yang ada dalam buku tersebut. Padahal, kita tahu
kebutuhan pembelajaran di setiap sekolah berbada satu dengan lainnya. Sekolah
di kota tentu tuntutan akan pembelajarannya lebih tinggi dan lebih kompleks
dibandingkan sekolah di pelosok atau sekolah di daerah terpencil. Jika semua
pelaksanaan pembelajaran disamakan, bagaimana jadinya? Tentu akan menyulitkan
bagi siswa di sekolah terpencil itu.
Pada
intinya, penulis ingin menegaskan bahwa berbagai permasalahan tersebut tak
dapat dipungkiri akan menjadi hambatan dalam pengimplemntasian kurikulum 2013
itu. Secara tidak langsung, hambatan-hambatan tersebut juga sekaligus menjadi
tantangan bagi Kemdikbud untuk mencari cara yang efektif guna mengatasinya.
Akhirnya, penulis berharap semoga saja langkah Kemdikbud menerapkan Kurikulum
2013 adalah sebagai langkah awal yang baik untuk mewujudkan generasi emas
Indonesia dan bukannya malah menjadi awal kehancuran pendidikan kita. Semoga
saja.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!