Pemuda satu mengurai kata
Pemuda dua takjub berkata:
Aku selalu takjub akan kata-kata yang engkau goreskan.
Ada
semacam kepedihan mendalam; ada kesepian tak kunjung padam.
Aku merasa
engkau telah menjelma sosok lelaki berjiwa dewasa.
Ah! Kau pula cocok
kusebut pujangga Besemah.
Kata-katamu
begitu puitis romantis.
Beryukurlah! Kau dianugrahi alam yang
sepi--ramai burung berkicau lirih; pepohonan hijau begitu asri; sejuk
semilir angin bergaun embun.
Ah! Aku merasa kau telah jauh menuju
penghulu aksara. Aku merasa tak sanggup mengejarmu untuk berbiduk tinta.
Pemuda dua mengurai rindu:
Beriring angin, kuhembuskan kabarku baik-baik saja.
Hanya! Masih seperti dulu!
Aku masih sepi--menantimu menjejak kaki di sini.
Pemuda satu duduk termangu
Pemuda satu mencoba tegar
Pemuda dua terlanjur gusar:
Memang!
Doa terhampar untukmu selalu.
Namun--rindu terlanjur menghempas
dalam-dalam.
Ragaku memang bernyawa, tetapi tiada berjiwa.
Rindu--Tak
padam sampai kau menampak wajah walau sesaat saja.
Sahabatku! Kau tahu
rasaku!
Pemuda dua berurai tangis:
Kau
tahu? Kala malam sepi--kusempatkan membaca cerita tentang kita bertiga.
Lewat tajuknya "Di Sini Aku Menanti" aku mengisahkan manisnya
kebersamaan kau, aku, pun dia.
Lalu! Mata ini menangis kala pada akhir
cerita kudapati skenario penuh liku berakhir
penantian tak kunjung sampai.
Hingga tiga bunga yang kemarin kuncup
tetap pula kuncup--akhirnya mekar--ia tetap kuncup karena tak kunjung
dipetik!
Aku menangis kala mendapati kau, aku, pun dia telah berada pada
ruang dan waktu yang terlampau jauh!
Pemuda satu sakit meringis
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!