Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Friday 3 July 2015

PUASA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA


Puasa dan Pembentukan Karakter Bangsa


Alamsari, M.Pd.
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)

“Puasa itu bukan hanya sekedar menahan lapar atau dahaga, melainkan juga menahan hawa nafsu. Puasa adalah wasilah untuk menempa jiwa-jiwa menjadi pribadi yang berkarakter bangsa. Melalui karakter yang kuat, Indonesia akan semakin maju dan beradab.”

“Selamat datang Ramadhan. Selamat datang bulan puasa”. Alhamdulillah, pada tahun ini kita kembali berjumpa dengan bulannya Allah; bulan yang sungguh istimewa—selalu dinanti-nanti seluruh orang di penjuru negeri. Sebagai euphoria tahunan, tak heran jika masyarakat menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Namun, ada yang begitu memiriskan hati—sama seperti tahun-tahun sebelumnya, puasa tahun ini pun kita (bangsa) masih saja didera oleh krisis akhlak yang merajalela.
Tak disangkal lagi, kita semua sepakat bahwa korupsi begitu lumrah terjadi hampir di semua lini. Pembunuhan, pemerkosaan, hampir tak pernah absen dalam keseharian. Masyarakat masih begitu mudah berpecah belah. Harta dan jabatan masih menjadi thogut (Tuhan) dalam kehidupan. Toleransi sudah tak ada lagi. Kekerasan dijadikan satu-satunya solusi memecahkan masalah. Bukan perkara mudah menemukan orang jujur karena akhlak kita (masyarakat) perlahan hancur. Sungguh Ironis! Bangsa kita masih saja terjatuh dalam lubang yang sama; digerus degradasi karakter bangsa. Lalu kemanakah jerih payah puasa yang dilakukan selama ini?
Sebagai suatu kewajiban, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk melaksanakannya (puasa). Tujuannya hanya satu, yaitu untuk membina jiwa-jiwa agar menjadi insan yang berkarakter takwa. Namun nyatanya? Berkaca dari puasa-puasa pada tahun sebelumnya, lapar dan dahaganya (baca:puasa) masyarakat kita hanyalah menjadi sekedar ritual tahunan tak bermakna. Puasa yang dijalani hanya sekedar menjalankan perintah tanpa adanya esensi berarti di dalamnya. Akibatnya, tak dinyanah ketika nanti puasa Ramadhan berlalu, karakter-karakter keburukan kembali datang dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang semestinya sudah “murni”—sehingga bisa kita kira,  sia-sia sajalah puasanya.
Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia—puasa sebenarnya dapat menjadi media yang sangat ampuh untuk mengatasi segala problema kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang melanda negeri kita. Namun faktanya? Walaupun penduduk Muslim Indonesia begitu besar adanya, toh tak mengubah apa-apa. Sebabnya, masih saja banyak di antara kita yang menganggap puasa hanyalah sekedar formalitas—hanya sekedar persyaratan keimanan keagamaan saja yang musti dituruti agar kita (Muslim) dapat dikatakan manusia “beragama” dalam pandangan Muslim lainnya. Sangat sedikit sekali di antara kita yang memahami bahwa berpuasa itu hakikatnya bukanlah hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan pula menahan diri dari hawa nafsu (sifat-sifat keburukan) sebagaimana yang telah disabdakan Rosulullah SAW.
Manfaat Puasa
Tak diragukan lagi—sebagai suatu kewajiban yang sumbernya langsung dari Allah—tentunya perintah berpuasa mengandung kebaikan untuk manusia baik bagi raga maupun jiwanya. Bagi raga, telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa puasa itu memang sangat baik untuk kesehatan. Tak diragukan lagi, puasa dapat membantu seseorang mengurangi beban kerja organ-organ tubuhnya. Puasa juga dapat membersihkan tubuh dari berbagai jenis racun dan juga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan bermacam-macam penyakit.
Bagi jiwa, berpuasa sangat bermanfaat sebagai alat pengendalian diri (kontrol) bagi individu. Pengendalian diri dalam arti mencegah keinginan (hawa nafsu) untuk melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Adanya larangan-larangan yang harus dijauhi bagi orang-orang yang berpusa, seperti berdusta, bergosip, berzina, korupsi, membunuh, dll—menjadikan puasa begitu efektif untuk membentuk karakter bangsa yang beriman, bertakwa, dan beradab. Seseorang yang berpuasa tentu akan terbiasa untuk menahan emosi atau amarah. Selain itu, kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama bulan suci, seperti bersedekah, membantu sesama, sholat lima waktu, mengaji—semakin menempa manusia menjadi pribadi yang senantiasa mengamalkan kebaikan-kebaikan dalam kesehariannya.
Contoh sederhana saja, secara kasat mata, kita tentu dapat membandingkan betapa kondusifnya kehidupan bermasyarakat di bulan puasa dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya. Jika di bulan-bulan sebelumnya, masyarakat kita begitu bringas dalam bersikap maupun bertindak, di bulan puasa sikap maupun tindak masyarakat kita berubah menjadi santun dan penuh kasih sayang. Tak hanya itu, tingkat kriminalitas yang begitu tinggi pada bulan-bulan sebelumnya, di bulan puasa tingkat keriminalitas  itu setidaknya semakin berkurang. Alasannya mudah saja—masyarakat kita berlomba-lomba berbuat kebajikan dan juga berlomba-lomba menjauhkan keburukan.
Puasa dan Pembentukan Karakter Bangsa
Sejarah membuktikan, kehancuran suatu bangsa diawali dengan hancurnya moralitas masyarakatnya. Bangsa yang bermartabat dan maju, tentunya dapat dilihat dari adat, sikap, dan perilaku masyarakatnya. Ki Supriyoko dalam tulisannya Membangun Kembali Karakter Bangsa, pernah mengutip sebuah kalimat bijak "When wealth is lost,  nothing is lost;  when health is lost,  something is lost; (but) when character is lost everything is lost". Maksudnya "Ketika kekayaan hilang, tidak ada yang hilang; ketika kesehatan hilang,ada sesuatu yang hilang; (namun) ketika karakter hilang, segalanya telah hilang. Benar adanya, jika karakter yang seharusnya melekat pada jati diri masyarakat sudah hilang, tak tahu lagi akan jadi apa bangsa kita ini.
Sebagai media pembentukan karakter bangsa, puasa merupakan pendidikan atau palatihan yang sangat tepat. Sebulan puasa, sudah cukup ampuh untuk menempah jiwa-jiwa penuh dosa menjadi jiwa-jiwa yang murni. Puasa akan mengembalikan manusia kepada fitrah (kesucian), seperti awal penciptaannya di dunia. Puasa adalah alat untuk memanusiakan manusia; menjadikan manusia yang selalu penuh cinta baik kepada seesama maupun pada alam sekitarnya.
Tak dapat dipungkiri, puasa yang berdimensi horisontal memang sangat erat kaitannya dengan kesalehan sosial. Pahala yang berlipat-lipat yang diberikan oleh Allah SWT bagi siapa saja yang melakukan kebaikan (walaupun sebiji zarrah), menjadikan kita berlomba-lomba melakukan amal ibadah. Berderma, menyantuni fakir miskin, dan anak yatim, bersikap sabar dalam menerima setiap cobaan—secara tidak langsung menjadikan diri kita sebagai pribadi yang kritis; yang peduli akan sesama. Puasa yang begitu sarat dengan pesan moral, seperti pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, tenggang rasa, dan dan solidaritas untuk menolong sesamanya yang kesusahan akan membentuk karakter masyarakat kita menjadi masyarakat (bangsa) yang saleh, bersatu dan teguh.
Akhirnya, kembali mengutip hadis Rosulullah SAW "Beberapa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja " (HR Ibnu Majah). Sudah saatnya, bukan hanya masyarakat namun juga Indonesia—bersama-sama kita berpuasa dengan sebenar-benarnya. Jangan sampai puasa kita tahun ini hanya menjadi seperti yang diriwayatkan Rosulullah tadi. Bukankah kita tidak ingin jika setelah bersusah-susah payah berpuasa sebulan lamanya—kita menjadi  insan yang suci di hari yang fitri. Dengan kesucian yang kita dapatkan itu menjadikan pribadi kita sebagai pribadi yang berkarakter bangsa. Karakter yang kuat menjadikan Indonesia maju dan bermartabat. Selamat berpuasa!

2 comments:

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!