Mereka
yang Terpinggirkan: Mewujudkan Akses Pendidikan yang Luas, Merata, dan
Berkeadilan
“Bila Anda membuat rencana untuk satu tahun, tanamlah
padi. Jika Anda membuat rencana untuk sepuluh tahun, tanamlah pohon. Bila Anda
membuat rencana untuk seumur hidup, didiklah orang-orang” (Peribahasa China)
Tak ada masalah yang
lebih besar dan mendesak untuk diatasi selain masalah pemerataan pendidikan.
Sebagai negara besar, upaya pemerataan pendidikan memang menjadi momok
tersendiri yang sulit diatasi. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan tahun 2013 tentang
Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Indonesia diketahui bahwa APM anak usia 7—12 tahun (93,30%), usia 13-15
tahun (76,55%), usia 16-18 tahun (55,88%), dan usia 19-23 (29,15%). Data
tersebut jelas menunjukkan bahwa keterbatasan akses telah membuat pendidikan
kita masih belum merata sehingga belum dapat dinikmati oleh semua anak bangsa.
Padahal pendidikan adalah investasi masa depan yang sangat berharga. Melalui
pendidikan, akan tercipta insan-insan cerdas dan tangguh sebagai generasi
penerus Pancasila. Negara dapat maju dan dapat pula hancur karena
pendidikannya.
![]() |
(Dok. Pribadi: Siswa SMPN 4 Rantau Panjang sedang belajar mengaji) |
Undang-Undang nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa
setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang adil dan layak. Amanat tersebut
kemudian menjadi tanggung jawab pemerintah guna mewujudkannya. Salah satu
bentuknya adalah penyediaan anggaran 20% dari APBN. Melalui penyediaan anggaran
yang besar, pemerintah serius meningkatkan pembangunan pendidikan melalui
pemerataan dan perluasan akses pendidikan serta peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan di semua wilayah. Dalam hal pemerataan dan perluasan akses
pendidikan, pemerintah secara berkesinambungan melakukan pembangunan
gedung-gedung sekolah baru, rahab gedung yang rusak, ataupun menyediakan sarana/prasarana
guna mendukung pemberian layanan minimal pendidikan di sekolah.
Mereka yang Terpinggirkan
Mudah sekali kita
temui sekolah-sekolah yang sangat miris kondisinya. Gedung-gedung nyaris roboh,
dinding yang retak, atap yang bocor, dan sarana/prasarana yang minim dapat
ditemui di hampir setiap sekolah yang ada di pelosok kabupaten/kota di seluruh
tanah air. Belum lagi di daerah-daerah tertentu terutama daerah perbatasan, terluar,
dan terpencil—akses pendidikan bahkan masih belum ada sama sekali sehingga
banyak anak bangsa yang terpaksa tidak dapat duduk di bangku sekolah. Ironisnya, kondisi
sedemikian justru tidak ditemui di sekolah-sekolah yang notabenenya berada di pusat kota. Selain gedung-gendung yang megah,
rombel yang lengkap, fasilitas sarana dan prasarananya pun mencukupi. Telah
terjadi kesenjangan akses pendidikan antara di kota dan di desa. Pembangunan
akses pendidikan masih tersentra di pusat kota, sedangkan di ujung pelosok
kota/desa alih-alih di daerah perbatasan, terluar, dan terpencil seolah-olah
masih dipandang sebelah mata. Jika demikian, bagaimana mungkin akses pendidikan
yang seluas-luasnya, merata, dan berkeadilan dapat terwujud?
![]() |
(Sekolah Nyaris Roboh http://hariantangerang.com/news/2014/08/nyaris-roboh-kondisi-sdn-cijawa-serang-memprihatinkan) |
Pemerintah dalam hal
ini Kementerian Pendidikan mengetahui dan sadar betul akan kesenjangan
pendidikan itu. Lalu mengapa kondisi sedemikian masih belum teratasi? Padahal
anggaran yang disediakan sudah sedemikian besarnya. Tentu saja ada banyak
faktor penyebab sehingga walaupun anggaran yang disediakan sudah sebegitu besar,
toh nyatanya penyediaan akses pendidikan masih belum merata.
Beberapa Faktor Penyebab
Apa yang sebenarnya
terjadi? Setiap tahun, pemerintah sendiri selalu menganggarkan dana guna membangun
akses pendidikan. Tak hanya itu, peningkatan kualitas pendidikan juga terus
dilakukan, seperti penyediaan sarana/prasarana dan perbaikan mutu guru. Ada banyak
faktor penyebab gagalnya pemerintah dalam upaya membangun akses pendidikan yang
luas, merata, dan berkeadilan.
Pertama: Beban Pemerintah
Pusat dan Bukan Pemerintah Daerah.
![]() |
Ilustrasi: Beban Pemerintah Pusat dan Daerah |
Pembangunan
akses pendidikan sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pusat akan
tetapi juga tanggung jawab pemerintah daerah. Faktanya? Selama ini, pembangunan
akses pendidikan seolah-olah hanya beban pemerintah pusat saja. Sedangkan
pemerintah daerah masih kurang aktif mendukung kebijakan pemerintah pusat itu. Padahal
tugas menyediakan akses pendidikan yang luas dan merata adalah kewajiban
bersama. Namun, pemerintah daerah bergeming dan seolah tidak memiliki tanggung
jawab. Hal itu terbukti dari sedikitnya pemerintah daerah yang menyediakan sebagian
besar anggarannya guna pembangunan akses pendidikan.
Untuk
itu, perlu adanya koordinasi intensif antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Perlu ada kesepakatan yang jelas mengenai komitmen untuk bersama membangun
akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan tersebut sebab tanpa
dukungan dan bantuan pemerintah daerah, sangat sulit mewujudkannya. Bila
memungkinkan perlu dipertimbangkan pemberian reward dan punnishment bagi
daerah yang tidak mau menyediakan dana besar untuk mendukung program pemerintah
pusat tersebut.
![]() |
(Ilustrasi: Reward dan Punnishment http://ma-maha.blogspot.co.id/2016/04/reward-dan-punishment-dalam-pembentukan.html) |
Kedua: Pembangunan yang
Kurang Tepat Sasaran.
Setiap
tahunnya pemerintah pusat melalui anggaran yang tersedia memberikan kucuran
dana guna pembangunan gedung sekolah baru, rehab, ataupun penyediaan
sarana/prasarana. Dana tersebut diberikan langsung kepada sekolah-sekolah yang
dianggap perlu. Sayangnya, penggunaan anggaran tersebut banyak yang kurang
tepat sasaran.
![]() |
(Ilustrasi: Ketimpangan Pembangunan http://www.bangsaonline.com/berita/17718/tidak-tepat-sasaran-anak-anggota-dewan-di-jember-dapat-bsm) |
Bukan
rahasia umum bahwa dana yang disediakan pemerintah justru hanya dinikmati oleh
sekolah-sekolah tertentu saja. Padahal sekolah tersebut sudah memiliki gedung
yang bagus, rombel yang lengkap, dan sarpras yang memadai. Sangat memillukan,
di saat banyak gedung sekolah yang nyaris roboh, pemerintah justru sibuk membagusi sekolah yang kondisinya sudah
bagus. Sangat ironis, di saat banyak anak bangsa yang harus putus sekolah
lantaran tidak ada akses sekolah di dekat tempat tinggalnya, pemerintah justru
merobohkan gedung sekolah yang sudah ada lalu mendirikan gedung sekolah yang
baru.
Pembangunan
yang kurang tepat sasaran sebenarnya terjadi karena pemerintah pusat kurang
selektif dalam memilah sekolah mana yang layak mendapatkan bantuan dana. Segala
ajuan dari pemerintah daerah diterima mentah-mentah tanpa melakukan kroscek
apakah sekolah yang diajukan itu benar-benar layak atau tidak. Seharusnya
pemerintah pandai dalam memprioritaskan pembanguan akses pendidikan. Alhasil,
tidak mengejutkan jika terjadi ketimpangan pembangunan akses pendidikan seperti
yang dirasakan saat ini.
Ketiga: Praktik Korupsi.
![]() |
Ilustrasi: Uang Banyak |
Korupsi
benar-benar telah menjangkiti berbagai elemen termasuk pendidikan. Dana yang
besar lenyap dikarenakan oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, dana
yang ada seolah-olah tidak mencukupi padahal jika jujur, anggaran 20% tentulah
sudah cukup guna menyediakan akses pendidikan yang luas, merata, dan
berkeadilan.
Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), misalnya. BOS diberikan oleh pemerintah
pusat kepada sekolah dengan tujuan agar sekolah dapat menyelenggarakan
pendidikan gratis dan berkualitas. Jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Akan
tetapi, sangat disayangkan hampir kebanyakan di sekolah-sekolah, dana BOS
justru disalahgunakan—bukannya diperuntukkan guna pembangunan akses pendidikan
yang berkualitas tetapi justru dijadikan alat untuk menambah pundi-pundi harta
segolongan tertentu.
Beberapa Solusi
Untuk
mempercepat pembangunan akses pendidikan agar dapat dinikmati oleh semua anak
usia sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah, sudah
seyogyanya pemerintah sebagai lembaga yang berwenang memikirkan solusinya.
Salah satu kesuksesan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi anak
usia jenjang sekolah dasar adalah dengan menetapkan program wajib belajar
sembilan tahun. Melalui program tersebut, terbukti efektif meningkatkan angka
partisipasi anak usia sekolah.
Kini,
pemerintah telah memperluas program wajib belajar sembilan tahun tersebut
menjadi program wajib belajar 12 tahun. Tujuannya tak lain adalah meningkatnya
akses pendidikan bagi anak jenjang sekolah menengah. Untuk menjamin
terselenggaranya program tersebut, pemerintah bahkan telah menganggarkan
bantuan operasional sekolah (BOS) yang jumlahnya cukup besar. Namun sangat
disayangkan, di banyak daerah, program wajib belajar 12 tahun ini masih menemui
kendala. Salah satunya adalah masalah mahalnya biaya pendidikan sekolah
menengah. Akibatnya, walaupun telah ada dana BOS, sekolah tetap saja memungut
bayaran yang jumlahnya cukup besar dan hal itu tentu sangat memberatkan siswa
terutama bagi yang tidak mampu. Untuk itu, perlu ada monitoring sistematik dari
pemerintah agar program wajib belajar 12 tahun dapat terlaksana sesuai harapan.
![]() |
(Ilustrasi: Anak Bangsa Harus Sekolah http://internalpublik.com/kurang-profesionalisme-hingga-kip-di-malinau-masih-belum-tepat-sasaran/) |
Perlu
juga dilakukan pengembangan teknologi terutama teknologi pembelajaran jarak
jauh. Saat ini Kementerian Pendidikan sendiri telah memiliki layanan pendidikan berupa
TV-Edukasi sebagai upaya pemerataan akses pendidikan secara luas dan
berkualitas kepada seluruh masyarakat. TV Edukasi ini tentunya memang sangat
bermanfaat sebab dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Selain itu,
Kemdikbud juga telah mengembangkan berbagai portal yang dapat diakses secara
mandiri, seperti portal rumah belajar dan portal mobile edukasi. Konten-konten
pendidikan yang tersedia di dalamnya sangat variatif dan efektif meningkatkan
wawasan siswa.
Pada
akhirnya, kiranya pemerintah pusat perlu bersinergi dengan pemerintah daerah
dan stake holder lainnya guna
memikirkan solusi pembangunan akses pendidikan ini. Menyatukan langkah demi
mewujudkan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan. Masalah
pendidikan adalah masalah kita semua. Anak bangsa adalah generasi emas yang
akan meneruskan perjuangan kita—nanti!
Sangat inspiratif....
ReplyDeleteTerima kasih. Senang bisa berbagi.
Deletesemangat mengabdi Bapak...
ReplyDeleteSelamat ya mas, telah memenangkan juara III GPR Blog Competition. Semoga artikelnya bermanfaat bagi masyarakat luas dan dapat mengetuk hati pemerintah untuk melakukan pembangunan yang merata di seluruh Indonesia
ReplyDeleteCongratulation kak , sudah menjadi Juara 3 GPR Blog Competion :-)
ReplyDeleteTerus menginspirasi yak kak , dalam hal menulis :-)