Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Thursday, 9 October 2014

Puisi



Taubat
Oleh Alamsari

Sebilah belati menghujam dalam-dalam                                                   
Mengoyak rajutan kesabaran
Luka menganga
Diri lebam sehitam-hitam
Jiwa berkelebat mungkar
Setan bisikkan kalimat ingkar

Belati mencabik begitu dalam
Menembus batas nalar dan islam
Menumpahkan segala iman
Aku diombak murka
Hidupku sebatang kara, jera

Tuhan tak diam saja
Dititipkan aku pada segaris takwa
Mengoles jiwa-jiwa berdosa
Lafaz pertaubatan tertumpah
Jiwa berlabuh di langit yang tujuh
Menggelepar malu dihadapan-Nya
Mengemis untuk berpeluk dalam fitrah

Indralaya, 26 Februari 2013

Cerpen

Antara Monpera dan Ampera
Oleh Alamsari
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
“Katakan padaku Rasti, berita apa yang kau dengar pagi ini? Tampaknya kau begitu terburu-buru, kupikir pasti ada berita yang begitu penting untuk kau ceritakan.” Ucapku pada Rasti; istriku. Sudah hampir setahun kami menikah. Saat ini, istriku pun tengah mengandung  tujuh bulan.
Rasti datang dengan muka pucat dan nafas yang terengah-engah. Padahal belum lama ia pergi mengawal murid-muridnya Kunjungan Edukatif ke berbagai tempat bersejarah di kota Palembang. Tetapi, pagi ini baru saja Rasti pergi ia pun pulang dengan berlinang air mata. Seraya memberikan sebuah koran yang dibawanya kepadaku. Koran itu tampak tak berbentuk lagi karena runyek digenggam dengan begitu erat hingga pada beberapa bagiannya tampak seperti akan sobek.
Kubaca koran yang diberikannya padaku dengan seksama. “Tentu ada sesuatu yang begitu penting” Pikirku. Namun, kubaca halaman demi halaman, tak ada satupun berita yang aneh. Menurutku semua berita yang ada dalam koran itu biasa-biasa saja. Tak ada yang perlu ditangisi.
“Tidakkah mas menyesalinya?” Gumam Rasti padaku.
“Apa maksud perkataanmu Rasti? Aku sungguh tak mengerti.” Ucapku padanya
Rasti terdiam sesaat. Mulutnya gemetaran menahan tangis yang menderanya.
“Mas masih ingat perempuan tua yang selalu ada di depan Monpera?” Tanyanya tiba-tiba padaku.
Aku mencoba mengingat-ingat. Ada banyak perempuan tua di sana.
“Perempuan tua yang setiap pagi selalu duduk bersimpuh tepat di depan Monpera mas!” Tutur Rasti mencoba mengingatkanku tentang perempuan tua itu.
“Oh…Perempuan itu. Ya! Aku ingat. Lalu kenapa dengannya?” Tanyaku penasaran.
Mendengarku bertanya demikian, tangisan Rasti semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin deras. Sesekali ia juga sesegukan karena tangisnya itu.
“Perempuan tua itu mas. Ia mati mas. Jasadnya ditemukan terbujur membiru tepat di depan Monpera mas.” Ucap Rasti menjelaskan peristiwa yang menimpa perempauan tua itu padaku.
“Oh…Begitu rupanya. Lalu apa hubungannya denganmu? Dengan kita Rasti? Biarkan saja. Bukankah kita bukan keluarganya.” Ucapku
Rasti terdiam lagi. Dari raut wajahnya menampakkkan penyesalan yang begitu mendalam. Tak berapa lama, ia pun bangkit lalu dengan sisa tenaga yang ada ia berjalan terseok-seok menuju ke kamar. Tak berapa lama ia keluar kembali sambil memegang poster gambar Garuda Pancasila yang sebelumnya dipajang di dinding kamar.
“ Mas tahu gambar apa ini?” Tanyanya padaku.
Aku menjadi sangat heran. Aku bingung dengan maksud pertanyaannya.
“Apa hubungan Pancasila dengan kematian perempuan itu” Pikirku dalam hati.
Belum sempat aku berkata, Rasti tiba-tiba berujar lagi.
“Mas tahu Monpera itu kan? Tepat di tengah-tengahnya ada lambang Pancasila juga kan?” Ucapnya lagi.
Aku hanya mengangguk. Aku belum mengerti alur pembicaraan itu. Benakku masih dihujani tanda tanya besar. Aku sungguh tak tahu gerangan apa yang terjadi.
“Coba terangkan padaku apa makna Monpera itu mas?” Tanyanya lagi.
“Ya Rasti Monpera itu kan Monumen Perjuangan Rakyat. Ya kan?” Jawabku.
Rasti terdiam lagi untuk kesekian kalinya. Tak lama kemudian ia pun menangis lagi.
“Bukankah di sebelah Monpera berdiri kokoh Ampera mas?” Tanyanya lagi padaku.
“Ya! Kau benar Rasti. Siapa yang tak tahu Ampera. Itukan jembatan kebanggan Palembang. Jembatan yang penuh dengan sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa ini.”
“Ya mas. Aku juga tahu itu. Lalu di depan Ampera ada sebuah tugu”
Aku semakin heran dengan pertanyaannya. Kali ini Rasti sudah terlampau jauh. Kupikir mungkin ia sudah terlalu letih karena memang sudah beberapa hari ini ia disibukkan dengan tugas tambahan dari kepala sekolahnya. Lagi pula kandungannya yang juga sudah begitu besar tentu membuatnya lebih mudah lelah.
“Kau tentu lebih tahu dariku Rasti. Kau kan guru sejarah. Tak perlu kau tanyakan hal itu padaku.” Ucapaku padanya.
“Di depannya ada Tugu Malari mas. Mas tahu kan apa makna Malari itu?’ Tanyanya padaku.
Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh. Mencoba mengingat kembali peristiwa lampau yang begitu bersejarah itu. Kisah di balik Tugu Malari. Pertempuran antar pribumi melawan penjajah yang banyak menelan korban jiwa.
“Mas…Perempuan tua itu kau sering melihatnya kan?” Tanyanya lagi.
“ Ya Rasti. Aku sering melihatnya. Kau pun juga pernah melihatnya”
“Ya. Mas tentu melihatnya. Setiap hari mas melihatnya karena mas memang melintasi jalanan itu setiap hari”
Ya! Perempuan tua itu memang sering kulihat. Kala hendak berangkat kerja, setiap pagi, tepat di depan Monpera, aku memang selalu melihatnya. Perempuan itu duduk bersimpuh di depannya ada kaleng kecil. Bajunya lusuh. Wajah, tangan, dan kakinya dekil semua.
“Kapan terakhir kali mas melihatnya”
Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali aku melihat perempuan tua itu.
“Seingatku empat hari yang lalu Rasti”
Ya! Memang seingatku empat hari yang lalu aku masih melihatnya duduk di depan Monpera. Hanya saja aku melihat hal yang berbeda. Waktu itu kulihat wajahnya tidak biasa. Kulihat ia begitu pucat. Bajunya pun basah semua. Mungkin semlaman ia tak beranjak dari sana sehingga hujan yang turun semalam membasahi sekujur tubuhnya. Ia juga memegang sebuah bambu. Namun, bukan bambu runcing seperti senjata yang para pejuang gunakan sewaktu melawan penjajah. Tetapi bambu yang dipegangnya sama sekali tak runcing. Kupikir mungkin untuk menopang tubuhnya yang sudah renta dan tak kuat lagi berjalan. Keesokan harinya, kala pagi kembali datang aku sudah tak melihatnya lagi di sana. Kupikir ia pulang ke rumahnya atau mungkin ia sudah pindah ke tampat yang lain.
“Sudahlah Rasti. Aku heran denganmu. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?”
Rasti kemudian terdiam. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar. Aku pun segera menyusulnya. Kulihat ia berbaring. Mungkin ia sungguh begitu letih.
“Kapan terakhir kali mas memberikan sedekah padanya?” Tanyanya lagi.
“Empat hari yang lalu Rasti. Ya! Empat hari yang lalu, tepat sehari sebelum ia tak kelihatan lagi di sana”
“Apakah ia menerima uang yang mas berikan? Berapa banyak yang mas berikan?”
“Sudahlah Rasti. Cukup! Untuk apa kau tanya hal itu. Untuk apa kau terlalu memperhatikan nasibnya?” Suaraku meninggi.
Aku kemudian berdiri menghadap jendela kamar. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhirup udara segar pagi hari. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku tak ingin bertengkar dengan istriku. Apalagi hanya gara-gara masalah sepeleh seperti ini.
“Kau tahu Rasti, di depan Monpera itu ada Masjid Agung. Masjid besar; kebanggaan Palembang. Jemaahnya juga banyak.”
Kau tahu pula. Jalanan itu setiap hari dilewati walikota. Gubernur pun tak jarang lewat di sana. Kalau presiden datang juga pasti lewat di sana.”
Kulihat Rasti perlahan berhenti menangis. Tampaknya ia sudah mulai tenang. Ia pun menatapku dalam-dalam. Baru kali ini aku melihat tatapannya yang begitu tajam.
“Mas perempuan tua itu mati dengan tubuh bersimbah darah mas. Tubuhnya penuh dengan luka cakaran mas.” Ucap Rasti padaku.
Aku semakin heran dengan perkataannya.
“Ah sudahlah Rasti. Lupakanlah. Aku mau berangkat kerja dulu.”
Aku pun segera keluar kamar. Bergegas memasang sepatu lalu segera berangkat ke kantorku.
“Itu cakaran Garuda mas. Garuda yang telah membunuhnya.” Ucap Rasti yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu rumah.
Aku terus melaju menyusuri jalanan kota Palembang yang sudah begitu macet dan sesak. Kota ini telah begitu pesat kemajuannya. Pembangunan di sana-sini. Mal-mal semakin bertambah jumlahnya. gedung-gedung pun semakin tinggi menjulang. Mobil dan motor ssudah tak berbilang. Pertanda perekonomian kota Palembang semakin mapan seiring dengan semakin mapannya perekonomian warganya. Namun di sisi lain, memang tak dapat dipungkiri, kemajuan kota ini hanya mampu dinikmati oleh orang-orang kaya ataupun orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas saja. Sisanya, pengemis, anak jalanan, gelandangan, harus tersingkir dari kota ini.
Kala tiba mobilku melewati Monpera. Aku tak melihat lagi perempuan tua itu seperti yang diceritakan istriku. Tanda-tandanya pun tak ada. Tak ada ceceran darah ataupun garis polisi. Tak ada pula riuh orang yang lalu lalang memperbincangkan kematian perempuan tua itu. Mungkin kematiannya memang tak penting. Toh, perempuan tua itu memang bukan siapa-siapa. Namun, aku masih melihat hal yang sama. Monpera yang ditengahnya ada lambang Burung Garuda. Disampingnya ada Ampera yang berdiri gagah. Di depannya ada tugu saksi sejarah perjuangan rakyat merebut kemerdekaan bumi pertiwi dari tangan penjajah.

Artikel

Darurat Sinetron
Oleh Alamsari, M.Pd.
(Tenaga Pendidik di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Banyak sinetron Indonesia yang tak laik konsumsi. Ceritanya tak bernilai seni. Para penggiat industri kreatif ini seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap sinetron yang dibuatnya. Jangan sampai masyarakat yang harus  menerima getahnya.
Siapa yang tak pernah nonton sinetron? Tentu kita sepakat hampir tak ada satu orang pun di antara kita yang belum pernah menontonnya, kecuali mereka yang benar-benar tak punya tv di rumah. Anak-anak—dewasa, pria—wanita, begitu antusias menonton sinetron yang disajikan itu. Beberapa tahun terakhir, memang dunia persinetronan di tanah air mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal itu terbukti dari banyaknya tayangan sinetron yang ditampilkan di berbagai stasiun televisi dalam setiap harinya.
Besarnya jumlah penduduk Indonesia disertai tingginya animo masyarakat harus diakui memang menjadi peluang besar bagi para penggiat industri kreatif untuk berlomba-lomba menciptakan dan menyuguhkan tontonan yang disenangi masyarakat. Bayangkan, dalam sekali episode saja tayangan sinetron dengan rating tinggi dapat meraup keuntungan ratusan juta hingga satu milyar rupiah. Sebuah pendapatan yang sangat fantastis. Sehingga wajar jika persaingan antar dunia persinetronan semakin gencar. Siapa yang mampu berpikir kreatif tentulah ia yang akan mendapatkan rating tertinggi.
Namun disadari atau tidak, persaingan untuk selalu dapat menyuguhkan sinetron yang disukai dan banyak disenangi penonton secara perlahan telah membuat sinetron kehilangan jati dirinya. Seyogyanya sinetron yang ditayangkan haruslah menampilkan cerita yang sesuai dengan kultur budaya dan karakter yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat kita. Faktanya? Ruh yang seharusnya dimilki sinetron sekarang telah bereinkarnasi dalam wujud yang menakutkan dan membahayakan. Bukan lagi menampilkan cerita yang mengutamakan moral bangsa, justru sinetron sekarang hanya berlomba-lomba mengejar popularitas (rating) demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mengutip pernyataan Rieke Mustika (Pusat Litbang Aptika IKP), “Televisi (sinetron) sebagai industri bisnis semakin menunjukkan kecenderungan orientasi komersil dibandingkan memberikan perhatian pada upaya pembentukan nilai-nilai moral yang berkepribadian dan beridentitas kebangsaan”.
Beberapa kali menonton sinetron, saya selaku penulis merasakan keprihatinan yang begitu mendalam. Melihat banyak sinetron yang sangat jauh dari kata laik. Laik dalam arti benar-benar pas dan cocok untuk dikonsumsi sehari-hari oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa.Walaupun memang pada dasarnya fungsi sinetron itu sendiri adalah sebagai media hiburan semata bagi masyarakat, namun tentu harus tetap diiringi dengan fungsi pendidikan (edukasi) dalam setiap ceritanya. Fungsi edukasi adalah mutlak harus lebih ditonjolkan dalam setiap tayangan mengingat sinetron yang merupakan  hasil cipta kreatif pengarangnya adalah bagian dari sebuah seni dan harus dipertanggungjawabkan kepada penikmatnya.
Kita ingat dulu ada beberapa sinetron yang begitu bagus dan berkualitas. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat, Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, Rumah Masa Depan dan masih ada segelintir sinetron lagi. Namun seiring perkembangan zaman, sinetron sekarang mengalami banyak perubahan dan banyak yang tidak berkualitas. Hanya sekedar menampilkan adegan-adegan tak bermakna. Contohnya saja dalam sinetron komedi atau laga, lebih banyak ditampilkan adegan kekerasan di dalamnya. Tokoh jahat selalu sukses melawan tokoh baik. Seorang anak yang mengerjai orang yang lebih tua atau seorang anak yang tertawa ketika melihat temannya kesusahan. Di latar sebuah sekolah, ada pula anak baik yang dikerjai oleh teman-teman sekelasnya. Ada adegan tokoh jahat berniat membunuh tokoh baik. Belum lagi narasi  yang mengandung unsur penindasan, kekerasan, caci maki, begitu banyak ditemukan. Sungguh sangat memprihatinkan.
Tokoh dan penokohannya pun sungguh mengada-ada dan cenderung menyerupai dongeng atau cerita fantasi. Ada tokoh yang bisa berbicara dengan peri. Anak sekolah selalu digambarkan tak terlepas dari kehidupan percintaan dan rebutan pacar. Tokoh remaja putri yang baik digambarkan dengan memakai rok mini dan baju yang seksi. Anak sekolah bajunya dikeluarkan semua dan yang wanita rok sekolahnya seksi-seksi. Banyak pula anak sekolah yang ditampilkan memiliki rambut yang gondrong, kribo seperti Edi Brokoli, rambut seperti sapu lidi, atau tokoh dengan rambut yang dikepang ala vampir. Anak perempuan akan merasa senang jika dicium pacarnya. Ada pula sinetron yang mengaku religius, manampilkan tokoh wanita berjilbab dan pria alim. Namun ternyata adegannya digambarkan pacaran dan pegangan tangan. Tokoh baiknya digambarkan begitu penyabar hingga walupun disiksa bertubi-tubi dia rela menerima. Tokoh dan penokohan dalam cerita sinetron kita sungguh berlebih-lebihan. Padahal, nyatanya di tengah masyarakat kita tak ada yang seperti itu.
Jika kita amati, sinetron yang ditayangkan di Indonesia lebih banyak menampilkan adegan-adegan yang  menjauhkan penonton dari realitas yang ada. Cerita-cerita yang disajikan banyak menampilkan orang-orang kaya, berlatar rumah mewah, mobil mewah, individualis, materialistis, dan bersifat konsumtif. Demi mengejar keuntungan, sinetron akan dipanjangkan manakala sinetron tersebut mendapatkan penonton yang banyak. Di sisi lain, jika sinetron yang ditampilkan kurang mendapat animo dari masyarakat, maka sang produser akan segera mengakhirinya demi menghemat pengeluaran. Hal itu tentunya akan mempengaruhi cerita dan berdampak pada kualitas sinetron itu sendiri. Pada akhirnya,  nilai-nilai yang ingin disampaikan pada masyarakat pun menjadi bias dan menyimpang.  
Apa yang akan terjadi jika tontonan seperti itu dikonsumsi setiap hari bagi kita pun anak-anak kita? Tentunya perlahan akan merasuk ke dalam jiwa dan merusak kepribadian dan karakter penikmatnya. Karakter yang seharusnya dimilki yang sesuai dengan kultur budaya dan karakter masyarakat Indonesia, seperti adab sopan santun, toleransi, kerja keras, dll. Jika kita hubungkan dengan realita sekarang, kita secara gamang dapat menemukan ada anak yang berkelahi, memperkosa, atau bahkan membunuh temannya sendiri karena mengikuti tayangan yang ditontonnya. Realitanya banyak pula anak-anak yang masih usia sekolah yang berpacaran dan jauh dari sifat-sifat keterpelajaran. Memang masih terlalu kabur jika peristiwa tersebut dikaitkan sebagai akibat dari tayangan yang tak laik konsumsi. Di Indonesia sendiri memang belum ada pembuktian secara ilmiah terkait ada atau tidaknya pengaruh signifikan terhadap perubahan karakter penontonnya, namun tetap saja harus diantisipasi sedini mungkin dampak tersebut.
Sinetron yang dibuat tentu harus disertai rasa tanggung jawab yang besar. Seorang penggiat industri kreatif haruslah memikirkan pula dampak yang ditimbulkan sinetron yang dibuatnya bagi penontonnya. Mengingat masyarakat (baca:penonton) adalah sebagai pengapresiasi dari hasil cipta kreatif tersebut. Tanpa adanya penonton, akan sia-sia sajalah apa yang telah dihasilkan itu. Jangan sampai hanya sekedar asal menelurkan sinetron tetapi ujung-ujungnya sinetron yang dihasilkan tidaklah berkualitas sama sekali.
Menanggapi krisis sinetron tak laik konsumsi di Indonesia ini seharusnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komnas HAM, dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaaan secara langsung haruslah dapat mengambil kebijakan yang pro masyarakat. Misalnya, membatasi atau menyensor sinetron yang tak laik konsumsi itu. Walaupun beberapa hal mungkin sudah dilakukan pihak-pihak tersebut, contohnya mewajibkan setiap tayangan memberikan kode R (remaja), BO (bimbingan orang tua), atau SU (semua umur) di sudut kiri tayangannya, Namun tetap saja kenyataanya selama ini pihak-pihak yang bersangkutan cenderung melakukan pembiaran terhadap tayangan-tayangan yang tak laik tersebut. Alhasil, sinetron-sinetron yang asal-asalan dan tidak bernilai semakin banyak dan subur di tanah air.
Karakter masyarakat (penonton) kita yang “gelap pikir” juga semakin membuat para penggiat industri kreatif senang. Mereka tak perlu bersusah-susah memikirkan skenario sinetron yang digarapnya apalagi memikirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Toh sejelek apapun sinetron yang dibuat, ujung-ujungnya masih banyak pula yang menontonnya. Yang terpenting uang terus mengalir. Jika demikian, tinggallah kita selaku penonton yang menuai getahnya. Untuk itu diperlukan keterbukaan pikiran bagi setiap pengonsumsi sinteron. Jangan hanya sekedar menonton namun kita harus menjadi penonton cerdas yang mampu memilah-milah dan mengambil apa manfaat sinetron yang ditontonnya.
Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Sedini mungkin semua pihak yang terkait harus bekerja sama mengatasi krisis sinetron tak laik konsusmsi itu. Tujuannya tentu saja agar kultur budaya dan karakter kepribadian asli masyarakat Indonesia tidak hilang begitu saja.

Artikel

Menanti Implementasi Kurikulum 2013
Oleh: Alamsari, M. Pd.
(Tenaga Pendidik di SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
Terlalu dini jika pemerintah menetapkan pergantian KTSP menjadi Kurikulum 2013. Seyogyanya untuk dapat melihat kelemahan suatu kurikulum diperlukan waktu yang cukup lama. Bukan setahun, dua tahun, atau beberapa tahun saja.
Dunia pendidikan kita kembali digemparkan oleh perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Perubahan tersebut telah secara resmi dilansir oleh pihak Kementrian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemdibud). Bahkan, rencananya Kurikulum tersebut akan segera diimplementasikan secara terbatas pada tahun ajaran baru ini.
Terkait perubahan kurikulum lama (KTSP) ke kurikulum baru (Kurikulum 2013) tersebut, Kemdikbud menandaskan ada beberapa alasan yang melandasi mengapa perlunya perubahan kurikulum tersebut. Pertama: Konten dalam KTSP dianggap masih terlalu padat. Kedua: KTSP dianggap belum sepenuhnya berbasis kompetensi. Ketiga: Kompetensi dianggap belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Keempat: KTSP dianggap belum peka dengan perubahan sosial. Kelima: Standar proses pembelajaran dianggap belum menggambarkan pembelajaran inti. Keenam: Standar penilaian dianggap belum mengarah pada penilaian berbasis kompetensi.
Hakikatnya, perubahan sebuah kurikulum dianggap perlu dilakukan hanya jika memang didapati kekurangan atau kelemahan dari kurikulum sebelumnya. Lalu terkait KTSP, benarkah terdapat kelemahan atau kekurangan? Tentu, dalam hal ini pihak Kemdikbud terlalu terburu-buru menafsirkan kegagalan dalam KTSP tersebut.
Seyogyanya, untuk dapat melihat kelemahan atau kekurangan suatu kurikulum diperlukan waktu yang cukup lama. Selain itu pula, diperlukan pengamatan dan penelitian yang mendalam dan komprehensif sehingga benar-benar didapatkan data yang valid terkait ada atau tidaknya kelemahan dalam kurikulum sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, jika menengok pada proses pengimplementasian KTSP, penulis beranggapan masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa KTSP perlu pembenahan.
KTSP pertama kali diterapkan dalam dunia pendidikan kita pada tahun 2006. Dengan demikian, jika merunut waktunya,  sampai sekarang KTSP telah diimplementsikan dalam dunia pendidikan selama tujuh tahun. Sebelumnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) malah hanya sempat diterapkan selama tiga tahun saja, yaitu dalam kurun waktu 2004—2006. Alangkah mirisnya dunia pendidikan kita. Belumlah cukup waktunya, sebuah kurikulum diimplementasikan, pemerintah malah telah merancang kurikulum baru untuk menggantikan kurikulum sebelumnya.
Lalu benarkah KTSP sudah saatnya diubah menjadi Kurikulum 2013? Menurut hemat penulis, hakikatnya, belum saatnya KTSP tersebut digantikan dengan kurikulum baru,. Hal itu didasarkan beberapa alasan. Pertama: Jangka waktu pengimplemntasian KTSP masih terlalu muda, sehingga masih terlalu dini untuk dapat memvonis bahwa KTSP memiliki banyak kekurangan (baca:gagal). Kedua: Alasan yang disampaikan pemerintah, sungguh tidak masuk akal. Kalau kita menelisik lebih mendalam, apa yang disampaikan pemerintah justru terkesan dibuat-buat (dicari-cari alasannya).
Sebagai contoh, dari segi Kompetensi Lulusan. Menurut pemerintah dalam KTSP, lulusan dianggap belum menekankan pada pendidikan karakter. Selain itu, lulusan juga dianggap belum memiliki keterampilan-keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut pemerintah, seharusnya kondisi ideal adalah lulusan memiliki akhlak mulia dan menguasai keterampilan-keterampilan sesuai kebutuhan. Contoh lainnya dari Segi Penilaian. Dalam KTSP, penilaian dianggap hanya menekankan pada Aspek Kognitif saja. Selain itu, test hanya menjadi penilaian dominan. Lagi-lagi, menurut pemerintah, kondisi idealnya penilaian menekankan pada Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik. Serta penilaian terdiri atas test dan portofolio yang dilaksanakan secara seimbang.
Tanpa bermaksud menghakimi pemerintah, adalah sebuah pola berpikir yang salah jika alasan-alasan yang disebutkan itu kemudian justru dijadikan alasan untuk mengubah kurikulum. Pada kenyataannya, apa yang disebutkan pemerintah sebagai kondisi ideal tersebut, sebenarnya sudah terdapat dalam KTSP. Menurut hemat penulis, KTSP sudah cukup sempurna. KTSP sebenarnya dapat memberikan efek pendidikan yang luar biasa seperti yang diharapkan, jika memang benar-benar diimplementasikan sebagaimana  mestinya. Hanya saja memang kenyataannya di lapangan,  pengimplementasian KTSP sejauh ini masih menyimpang dari yang seharusnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, hendaknya pemerintah berpikir jernih. Pemerintah seharusnya memperbaiki atau menatar kembali tenaga pelaksananya (pendidik dan tenaga kependidikan) dan bukan malah mengubah kurikulumnya. Pemerintah hendaknya memberikan perhatian khusus pada guru sebagai tulang punggung pelaksana pendidikan di tingkat sekolah. Adalah sesuatu yang sia-sia jika sebuah kurikulum yang tertata apik dan sempurna tidak didukung dengan tenaga pelaksana yang baik.
Respons Positif
Lalu bagaimanakah sikap kita terkait perubahan KTSP menjadi Kurikulum 2013? Pada awal pelaksanaan uji publik terkait rencana pengimplementasian Kurikulum 2013, sebenarnya telah banyak pihak yang telah berpartisipasi, menyampaikan aspirasi mereka terkait perlu atau tidaknya perubahan kurikulum tersebut. Berbagai kalangan sebagian besar cenderung menolak adanya Kurikulm 2013 karena dinilai memang belum perlu dilakukan perubahan.
Sayangnya, aspirasi yang disalurkan tersebut sepertinya tak digubris oleh pemerintah. Walaupun menurut pihak Kemdikbud sendiri, pihaknya telah menampung segala aspirasi yang disampaikan. Adalah sesuatu yang percuma jika aspirasi hanya sekedar ditampung tanpa ada tindak lanjutnya.
Kini, pemerintah (Kemdikbud) telah bulat bertekad menerapkan kurikulum 2013. Hal tersebut ditunjukkan dengan keseriusan pemerintah untuk melengkapi dan memenuhi segala sesuatunya terkait perangkat pendukung pengimplementasian Kurikulum 2013, seperti bahan ajar dan tenaga pelaksananya. Jika demikian, bagaimana sikap kita? Ya! Nasi telah menjadi bubur. Kita tentu tidak akan mungkin lagi menyuarakan penolakan terhadap Kurikulum 2013. Sebab, sudah begitu banyak tenaga, usaha, dan dana yang terkuras dalam pengubahan kurikulum tersebut, mulai dari perancangan sampai pelatihan pengimplementasian pada tingkat sekolah.
Sekarang sikap kita sebaiknya berlapang dada. Bersatu dan bersinergi, menjalin kerjasama yang baik guna mensukseskan pengimplementasian Kurikulum 2013 itu. Setidaknya, kita ikut berperan serta dalam mengawasi pengimplementasian Kurikulum 2013 sehingga dapat membantu pemerintah mengatasi kelemahan atau kekurangan dalam Kurikulum 2013. Hingga pada akhirnya, apa yang didambakan terhadap kondisi ideal dalam diri anak bangsa (generasi)  kita sesuai dengan apa yang diharapkan. Semoga saja!