Selepas menamatkan S-1 tahun 2008, saya memutuskan pulang ke kampung halaman saya di Ngulak Sanga Desa Muba. Kebetulan saya mendapat kabar kalau di kampung kelahiran saya itu sedang dibangun sebuah SMK Negeri yang membutuhkan tenaga pengajar. Maka saya pun mencoba mengadu peruntungan dengan memasukkan lamaran sebagai guru honorer di sana. Dengan pakaian rapi dan berbekal selembar ijazah saya menemui kepala sekolah. Saya berikan surat lamaran kerja itu kepadanya dengan perbincangan sedikit saja. "Wah, putra daerah ya. IPK juga besar. Dari universitas negeri juga. Tapi sayang dek, adek terlambat memasukkan lamarannya. Kami sudah penuh gurunya. Padahal jurusan adek sesuai dengan ijazahnya. Di sini yang masuk banyak dari fakultas ekonomi, ada yang pertanian, pokoknya tidak sesuai jurusanlah. Maaf ya dek. Adek pulang saja. Adek tidak usah khawatir. Saya yakin, di tempat lain pasti akan banyak yang membutuhkan adek.". Saya hanya diam. Lalu permisi pulang. Dan hari itu juga saya memutuskan pulang kembali ke Palembang.
Keesokan harinya, saya tiba-tiba mendapatkan telepon dari kakak tingkat saya. Beliau menawari saya untuk bekerja di sebuah sekolah yang ada di Ogan Komering Ilir. Tanpa pikir panjang, saya pun menerima tawaran tersebut. Dua hari berselang, saya pergi menuju lokasi yang dimaksud. Tempat yang selama ini masih asing bagi saya. Maka berangkatlah saya ke sana seorang diri. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya saya tiba di sekolah yang dituju. Saya menghadap sang kepala sekolah. Karena sekolah itu baru saja berdiri dan memang mereka sedang membutuhkan guru Bahasa Indonesia, maka saya pun langsung diterima dan diberikan jadwal mengajar. Di sinilah kisah itu bermula.
Sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah baru. Muridnya sekitar 45 orang. Sistem belajarnya fullday. Sekolah itu berbayar cukup mahal. Saya sendiri waktu itu bergaji sekitar