MENYIKAPI VONIS “MATI” KURIKULUM “SETENGAH JADI”
Oleh
Alamsari,
M.Pd.
(Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir)
“Sejak awal pelaksanakannya, Kurikulum 2013 memang telah menuai banyak
masalah. Kini, seiring pergantian Menteri—Nasib Kurikulum 2013 diputuskan.
Pemerintah akhirnya menetapkan pengimplementasian Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah agar dihentikan”
Jelas sudah nasib Kurikulum 2013. Di tangan Mendikbud Anies Baswedan—takdir
Kurikulum 2013 telah diputuskan. Melalui surat edarannya, mulai semester genap
nanti, implementasi Kurikulum 2013 harus dihentikan di semua sekolah kecuali
sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2013 selama tiga semester (baca: sekolah percontohan). Penghentian
sementara Kurikulum 2013 tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
waktu kepada pemerintah dalam melakukan revisi terkait kelemahan-kelemahan
ataupun hambatan-hambatan dalam penerapan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013: Kurikulum
“Setengah Matang”
Sekedar merefleksi, sejak awal kemunculannya, Kurikulum 2013 memang telah
menuai banyak kontroversi. Berbagai pihak sebenarnya telah mendesak M. Nuh
sebagai Mendikbud pada waktu itu agar menghentikan penerapan Kurikulum 2013.
Alasannya, karena banyak kalangan menilai Kurikulum 2013 memiliki banyak
kelemahan diantaranya adalah kompleksitasnya materi dan penilaian. Selain itu,
proses pembelajaran yang dirancang dalam Kurikulum 2013 juga dirasakan membuat
guru sedikit mengalami kesulitan. Akan tetapi, Kurikulum 2013 tetap juga
dilaksanakan oleh pemerintah. Bahkan, pemerintah meyakinkan bahwa Kurikulum
2013 adalah kurikulum terbaik dari kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Dalam upaya mensukseskan pengimplementasian Kurikulum 2013, berbagai cara
dilakukan oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, pemerintah telah merekrut
ribuan tenaga Instruktur Nasional (IN) untuk melakukan pelatihan-pelatihan
kepada guru-guru sasaran di seluruh sekolah di Indonesia. Pemerintah juga telah
melakukan pencetakan terhadap jutaan buku Kurikulum 2013 berbagai mata
pelajaran. Dana yang dikucurkan untuk menyegerakan pengimplementasian pun
sungguh fantastis mencapai triliunan rupiah. Namun, setelah banyak “pengorbanan” dilakukan—seiring pergantian Menteri
Pendidikan yang baru, Kurikulum 2013 ternyata dihentikan.
Memang,
dalam memutuskan nasib Kurikulum 2013 ini pemerintah telah mempertimbangkan
berbagai hal. Melalui tim yang telah dibentuk, pemerintah melakukan kajian terhadap
kelayakan Kurikulum 2013. Hasilnya, pemerintah mendapati bahwa Kurikulum 2013 dianggap
sebagai Kurikulum “Setengah Matang”. Banyak masalah yang terjadi seperti, ketidaksesuaian antara ide dengan desain kurikulum, maupun dengan isi buku teksnya. Masalah
lainnya terkait teknis pelaksanaan Kurikulum 2013 itu sendiri, yakni banyaknya sekolah dan guru yang mengaku tidak siap dengan penerapan
Kurikulum 2013, belum
meratanya pelatihan guru dan kepala sekolah, dan distribusi buku yang masih belum terlaksana dengan
baik.
Pasca dihentikannya Kurikulum 2013, sesuai edaran Mendikbud, sekolah yang
telah menerapkan Kurikulum 2013 selama tiga semester wajib menggunakan
Kurikulum 2013. Sedangkan sekolah yang baru satu semester menerapkannya
diperintahkan kembali menggunakan KTSP. Lalu apa dampaknya?
Sebenarnya sungguh aneh jika dalam kurun waktu satu tahun ada dua kurikulum
yang digunakan. Seyogyanya, suatu kurikulum hendaknya dilaksankan secara tuntas
(setidaknya satu tahun ajaran) terlebih dahulu baru kemudian dihentikan.
Memang, sebagian pengamat mengatakan semakin cepat Kurikulum 2013 dihentikan
maka akan semakin baik. Namun, menurut hemat penulis, penghentian Kurikulum
2013 setidaknya haruslah mempertimbangkan berbagai resiko yang mungkin muncul. Setelah
dihentikannya Kurikulum 2013, tentu akan muncul banyak masalah. Beberapa masalah
tersebut terkait dengan kejelasan struktur mata pelajaran dan penilaian hasil
belajar peserta didik.
Adanya beberapa mata pelajaran yang sebelumnya dihilangkan dalam Kurikulum
2013 secara otomatis akan kembali diajarkan pada KTSP. Mata pelajaran tersebut
diantaranya TIK dan Mulok pada jenjang SMP dan SMA, serta Bahasa Inggris pada
jenjang SD. Hal itu tentunya akan membuat guru dan murid menjadi bingung. Guru
akan kesulitan mengejar ketertinggalan materi sebab materi pada Kurikulum 2013
sangat berbeda dengan materi pada KTSP. Padahal, pada beberapa mata pelajaran
antara materi pada semester satu dan materi pada semester dua tentu sangat
berkaitan. Sebaliknya, murid akan kesulitan menerima materi pada semester dua
karena pada semester pertama mereka menerima materi yang berbeda sama sekali.
Jumlah jam pelajaran yang terdapat pada beberapa mata pelajaran juga
menjadi masalah yang sangat riskan. Jumlah jam pelajaran pada Kurikulum 2013 enam
kali lebih banyak dari jumlah jam pelajaran pada KTSP. Penambahan jam pelajaran
tersebut terjadi pada mata pelajaran agama, ppkn, penjaskes, bahasa indonesia,
dan matematika, dan IPA. Jika harus kembali pada jam mata pelajaran seperti
sedia kala tentu akan membuat guru-guru kebingungan. Pasalnya, untuk
mendapatkan sertifikasi guru, mereka dituntut mengajar 24 jam mata pelajaran
yang relevan. Jika demikian, akan banyak sekali guru yang terpaksa mencari
tambahan jam mengajar ke sekolah lain hanya untuk mencukupi pemenuhan 24 jam
tersebut.
Permasalahan yang selanjutnya adalah terkait penilaian hasil belajar siswa.
dalam Kurikulum 2013, format penilaian pada rapor sangat berbeda dengan format
penilaian rapor pada KTSP. Dalam Kurikulum 2013, penilaian hasil belajar
peserta didik tidak dituliskan dalam bentuk angka akan tetapi dituliskan dalam
bentuk penilaian alfabetik, yakni A—D. Selain itu, dalam rapor juga dituliskan
tiga aspek penilaian siswa, kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dalam
rapor KTSP, penilaian menggunakan bentuk satuan angka dengan rentang 10—100.
Selain itu, dalam rapor model KTSP, hanya menggunakan satu aspek penilaian
saja, yakni kognitif.
Bayangkan apa tanggapan siswa jika dalam satu tahun ajaran saja mereka
mendapatkan dua jenis rapor yang berbeda yakni, rapor Kurikulum 2013 dan rapor
KTSP. Tentunya siswa akan merasa kebingungan dan terheran-heran melihat laporan
hasil belajar yang mereka terima itu. Pada akhirnya, bukan tidak mungkin akan
muncul rasa skeptis siswa terhadap pendidikan di sekolahnya.
Menyikapi Vonis Kurikulum 2013
Sebagai hasil rancangan manusia, harus diakui Kurikulum 2013 memang tidak
terlepas dari ketidaksempurnaan. Kini, takdir baru Kurikulum 2013 telah
dituliskan. Terlepas dari pro dan kontra penghentian Kurikulum 2013 itu
sendiri, ada baiknya kita mulai belajar untuk memetik hikmah di balik itu
semua. Kurikulum 2013 adalah momentum bagi pemerintah dan seluruh elemen
pendidikan laiannya untuk senantiasa selalu berhati-hati dalam membuat
kebijakan. Setiap keputusan apapun yang diambil hendaknya diperhitungkan secara
seksama dampak baik dan buruknya. Jangan sampai, karena satu kebijakan yang
tergesa-gesa, hancurlah pendidikan kita.
Pada akhirnya, penulis mengajak kita semua untuk terus mendukung apapun
yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai seorang guru, penulis juga mengajak
semua pendidik dan tenaga kependidikan untuk senantiasa mensukseskan segala
kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk kebijakan penghentian Kurikulum
2013. Jayalah penddikan Indonesia.
Menurut saya mas, sebaiknya pemerintah harus memikirkan dengan matang dan bijaksana terhadap kurikulum yang akan di terapkan. jadi nggak ribet kayak gini.
ReplyDeleteyupz. seharusnya memang gitu. tapi ya sudah terlanjur.
Deleteoh iya lupa, Blogwalkingnya di tunggu di http://iqbalpajatapuih.blogspot.com/
ReplyDeleteok
Deletebermanfaat bagi yg lagi cari tugas sekolah
ReplyDeleteyupz...makasih ya
DeleteKurikulum yang diterapkan pastinya ada sisi positif dan sisi negatifnya. Kembali lagi bagaimana kita bisa meminimalisir sisi negatifnya agar semakin banyak positif yang dapat diterima. :)
ReplyDeleteTerima kasih atas penjelasan mengenai Kurikulum 2013 ini.
ok.sama-sam
Deletebagus buat yang sedang nyari tugas nih artikel :D
ReplyDeletepemenrintah yang setengah mateng jadinya gini , owkowkwkkw
ReplyDeleteBlogwalking