Akulah sang Guru Kehidupan
Oleh Alamsari, S. Pd.
Guru SMPN 4 Rantau Panjang, Ogan Ilir, Sumatera
Selatan
April
2010, pertama kali menginjakkan kaki di SMPN 4 Rantau Panjang , pandanganku
langsung tertunduk lesu. Miris sekaligus sedih berkecamuk dalam diriku “ Inikah
sekolah tempatku mengabdi?” Begitu pikirku. Ya, aku ditugaskan untuk mengajar
di SMPN 4 Rantau Panjang. Sebuah sekolah satu atap yang letaknya tidak terlalu
jauh, namun tidak pula dapat dikatakan dekat. Untuk menuju ke sekolah itu aku
harus naik “getek” sebuah kapal tradisonal yang memakai mesin (baru tiga bulan
terakhir jalan menuju ke sekolah sudah dikerikil oleh pemerintah sehingga
kendaraan bermotor bisa masuk). Menyusuri sungai yang cukup lebar dan deras
arusnya, 10-15 menit kemudian aku baru tiba ke tepian. Dari tepian itulah, aku
kemudian melanjutkan perjalan sekitar 1,5 Km dengan berjalan kaki. Memasuki
perkampungan dan menyusuri jejeran pohon-pohon rindang di kebun orang. Di
tengah kebun itulah sekolahku berada.
Sesampainya
di sana, hanya akan Anda lihat sebuah kelas dan sebuah kantor guru. Namun
jangan khawatir, biarpun kelasnya hanya satu, sekolah itu memiliki cukup banyak
siswa; 84 orang siswa jumlahnya. Namun jangan berharap anda akan menemukan
siswa yang berpakaian bagus, memakai sepatu bagus, dan menggendong tas yang
berisi buku di pundak; yang ada hanyalah anak-anak yang berwajah lusuh,
berpakaian seadanya, sebagian ada yang bersepatu sebagian lagi tidak. Yang
mereka jinjing juga bukanlah tas yang berisi buku, tetapi hanyalah tas kosong
yang hanya berisi pensil, pena dan beberapa buku tulis untuk sekedar menulis
saja.
Kalau
ditanya motivasi belajar, sungguh miris sekali. Hampir 95% siswa di sana tak
memiliki motivasi belajar. Untung-untung mereka mau pergi ke sekolah. Pernah
kutanya kenapa mereka mau sekolah. Ada yang menjawab karena disuruh orang tua; ada
yang alasannya karena hanya ingin tak disuruh bekerja di rumah; ada juga yang
berharap mendapatkan BSM (Bantuan Siswa Miskin); dan ada juga yang hanya
geleng-geleng kepala karena mereka tak tahu untuk apa sekolah.
Dari beberapa kali meluluskan alumni, sekitar 85% siswa lulusan sekolah tak melanjutkan ke tingkat SMA. Alasannya bermacam-macam. Ada yang karena mau bekerja membantu orang tua; ada yang mau menikah; ada yang alasannya kerana SMA lokasinya jauh dari rumahnya; ada yang ingin sekolah namun tak punya biaya. Dari fenomena tersebut, saya berasumsi bahwa pembelajaran yang selama ini telah saya lakukan tentulah sia- sia saja. Mengajarkan materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam KTSP, berkoar-koar berceramah di depan kelas, berpusing-pusing membuat soal ujian, bekerja keras menjadikan sang anak sebagai seseorang yang berintelek, toh hasilnya ternyata tak seperti yang diharapkan. Tentunya sia-sia sajalah apa yang telah saya ajarkan apabila mereka tak melanjutkan sekolah. Sebab, ilmu yang mereka terima ketika di SMP tentunya akan terputus dan tidak bermanfaat secara langsung bagi mereka.
Oleh
karena itu, saya berinisiatif untuk membongkar kebiasaan lama dalam mengajar
tersebut. Jika selama ini saya mengikuti kurikulum yang ada, maka kali ini
kurikulum hanyalah sekedar polesan saja dalam pembelajaran saya. Jika selama
ini saya bekerja keras menyampaikan materi, maka kali ini yang saya sampaikan
adalah kisah-kisah kehidupan. Karena dengan mengajarkan kehidupan; ilmu yang
mereka perolah akan sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka walaupun mereka
tidak melanjutkan sekolah.
Dalam
mengajarkan kehidupan, setiap pembelajaran yang saya lakukan selalu dimulai dengan
memberikan kisah-kisah yang inspiratif dan menggugah kesadaran diri ataupun memotivasi
diri untuk terus berjuang menghadapi kehidupan. Kisah-kisah yang saya berikan
bermacam-macam dan berbeda-beda setiap pertemuannya. Bisa dalam bentuk fable,
dongeng, kisah nyata, kisah-kisah dalam Al-Quran, atau kisah-kisah pengalaman
pribadi saya, dan tak jarang saya menyuruh siswa untuk berkisah mengenai
pengalaman pribadinya sendiri. Setelah menceritakan kisah-kisah tersebut, saya
akan menyuruh siswa mengambil hikmah atau kesimpulan dari kisah tersebut.
Hikmah yang diambil tersebut kemudian dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Setelah
mereka menyadari benar hikmah kehidupan tersebut, maka barulah saya mengajarkan
sedikit materi pembelajaran. Ditengah-tengah penyampaian saya akan menyelingi
dengan melakukan refleksi. Refleksi itu berupa perenungan (siswa memejamkan
mata dan guru akan melakukan muhasabah diri), atau dapat juga dengan menyelingi
permainan agar siswa tidak bosan. Muhasabah dan permainan merupakan bagian
“Guru Kehidupan”. Muhasabah bertujuan untuk merefleksi kehidupan yang telah
mereka alami selama ini dan untuk memberikan motivasi agar mereka berjuang
keras memperbaiki kehidupan yang akan dating. Sedangkan permainan, membantu
siswa untuk menikmati kehidupan (menjadikan kehidupan mereka di sekolah
bermanfaat untuk menyenangkan diri). Pada akhir pembelajaran, saya akan kembali
mengingatkan dan memberi nasihat mengenai kehidupan.
Sepulang
sekolah saya akan mengumpulkan siswa di dalam kelas untuk mengajarkan mengaji
atau sholat. Sebab, ilmu dunia hanyalah untuk kehidupan dunia dan tentunya tidak
cukup bermanfaat jika siswa itu tidak melanjutkan pendidikan. Maka, dalam Guru
kehidupan, saya mengajarkan ilmu akhirat agar kelak walaupun mereka miskin di
dunia, namun mereka akan menjadi insan yang kaya di akhirat. Di dunia sengsara,
namun masuk surga di akhirat. Saya juga memberikan sebuah kertas yang
didalamnya sudah tertulis agenda kegiatan sehari-hari. Agenda tersebut
meliputi: sholah lima waktu, mengaji, berpuasa senin dan kamis, belajar
dan membantu orang tua. Agenda tersebut
harus diketahui dan diparaf oleh orang tua yang bersangkutan. Tujuan dari
pemberian agenda kehidupan tersebut adalah untuk memastikan kehidupan
sehari-hari mereka bermanfaat dan berarti.
Hasilnya
cukup efektif. Selain terbukti ampuh memperbaiki perilaku siswa dari yang
kurang sopan menjadi sopan; dari yang pembantah menjadi penurut; dari yang
motivasi belajar rendah memiliki motivasi belajar cukup tinggi; dari yang tak
memiliki tujuan hidup menjadi memiliki tujuan hidup; dan yang terpenting dari
yang tak tahu cara menyikapi hidup menjadi tahu bagaimana dalam menyikapi
kehidupan.
Demikianlah
kisah Guru Kehidupan ini. Semoga dapat menjadi inspirasi bagi guru-guru untuk
tidak hanya sekedar berkutat pada upaya penyampaian materi, melainkan juga
harus berfokus pula pada upaya untuk mengajarkan kehidupan pada sang anak.
Sehingga diharapkan setelah lulus mereka tidak hanya menjadi insan yang
berintelektual tinggi, namun juga insan yang berakhlak dan beriman.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!