Selamat Datang di www.pengingatku.blogspot.com

Wednesday 5 November 2014

Cerpen



Cerpen ini pernah dimuat di My Story Metro Riau

 

Syahidku di Halte Bus Kota



Oleh Alamsari

Udara malam itu begitu menusuk sampai-sampai menggigilkan badanku. Kesendirianku hanya bertemankan malam yang tak kunjung padam. Sunyi senyap, sesekali diiringi oleh nyaringnya deru mesin kendaraan yang melintas tepat di depan tempat aku berbaring untuk beristirahat sejenak melepas penat dan letih setelah berjalan seharian.
Sakit yang menyusup di tubuhku sedikit demi sedikit mulai kurasa. Sungguh begitu menyiksa. Hanya tabah dan tegar saja yang kupunya sebagai modal bagiku mengarungi detik-detik perjalananku di dunia fana ini.
*******
Malam itu, kuhempaskan ragaku di sebuah halte bus kota. Keletihan yang menyertai langkahku dalam mengarungi kerasnya jalanan kota ini telah menuntunku untuk beristirahat sejenak melepaskan pegalnya jantung betisku.
“Ya! Mungkin malam ini aku akan tidur di sini.”
Gulitanya malam turut menemani peraduanku. Tak ada seorang pun juga di sana. Hanya aku sendiri. Ya! Hanya aku yang masih setia menemani gulitanya malam. Mengiringi lantunan nada-nada  sepi dan hanya aku yang masih setia mendengarkan bisikan angin yang berpesan syahdu padaku.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kubaringkan tubuhku yang sudah tak bertenaga ini di atas tempat duduk halte itu. Dingin rasanya karena tempat duduknya terbuat dari semen berlapis marmer putih berdebu. Kepalaku kusandarkan di atas sebuah bontel. Ya! Itu adalah bontel bajuku; satu-satunya harta berharga yang masih kumiliki. Di dalamnya ada dua lembar baju yang sudah sobek di bagian ketiaknya. Ada juga celana jeans yang sudah kusam warnanya. Sebuah pasta gigi dan tak lupa sepasang sandal butut yang sudah hamper putus talinya.
Malam itu, aku merasa sangat kesepian. Namun kulawan kesepian itu dengan sisa ketegaran yang kumiliki.
“Aku harus tegar.”
“Ini kota metropolitan, hanya orang-orang yang tegar sajalah yang mampu bertahan.”
Hembusan angin kurasa semakin menggigilkan tubuhku. Kumencoba mendekap tubuhku dengan kedua tanganku. Kaki yang tadinya selonjoran, kini kutarik.
“Semoga tubuhku tak terlalu menggigil.” Pikirku.
Namun dingin yang mendekapku masih enggan menjauh. Tubuh yang memang sudah dingin semakin menjadi dingin sampai-sampai tubuhku seolah-olah mati rasa. Namun aku harus tetap bertahan.
“Kau harus tegar Alif; Kau harus tegar.” Aku terus menyemangati diriku sendiri berharap mampu melewati pahitnya kehidupan malam ini.
Kumentap redup ke atas langit. Terlihat bentangan alam raya yang begitu luas mengangkasa. Bintang-bintang kerlap-kerlip bertebaran memenuhi langit. Bulan memancarkan sinarnya sehingga bumi sedikit terang olehnya.
“Maha Suci Engkau Tuhanku.” Ucapku takjub atas kemegahan mahakarya Tuhanku.
Aku tahu, Tuhan tak pernah alfa memandang; Tak pernah luput  mengawasi hamba-hambanya. Begitu pula padaku, Tuhan tak pernah ragu memandangku dengan penuh kasih dan sayang walau sering aku yang terkadang lupa dan berpaling pada-Nya.
Malam itu kurasa akan menjadi malam yang begitu panjang untuk kulalui. Namun, detik-detik waktu terus bergulir; Saat waktunya tiba pasti mentari akan menyambut pagiku dengan sinar indahnya.
********
Mataku masih terpejam. Namun aku masih bisa merasakan kaki, tangan, dan tubuhku yang membeku. Aku pun juga tahu kalau saat itu, mentari pagi telah menyeruak dari persemayamannya. Ingin rasanya kumembuka mata; menyambut datangnya sang mentari. Tapi tenaga yang kumiliki tak cukup lagi membuatku mampu menggerakkan kedua kelopak mataku. Semenjak aku terusir dari gubukku, sudah tiga hari aku tak makan. Ya! Aku terusir dari rumahku. Rumah yang sudah reyot dengan mudah diluluhlantakkan oleh gagahnya mesin buldoser.
“Katanya sih biar kota ini menjadi lebih bersih dan rapi.”
“Tapi bukan begitu caranya.”
Mereka tak tahu, rumah-rumah itu; yang mereka anggap ilegal dan kumuh adalah satu-satunya tempat bernaung bagi orang-orang tak berdaya sepertiku. Orang-orang lemah seharusnya dilindungi dan diayomi. Itu merupakan tugas utama pemerintah. Katanya orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara tapi nyatanya orang-orang seperti kami malah dibuang. Apakah memang sudah kodratnya yang kuat menindas yang lemah. Mungkin pula sudah takdirnya orang-orang pinggiran seperti aku dan yang lainnya diabai dan dilupakan. Apakah?
“Ah….Sudahlah aku bingung memikirkannya.” Namun yang jelas aku dan yang lainnya adalah kaum yang terzolimi.
Sakit itu! Sakit yang mendera malamku kala itu, kini perlahan kembali kurasa. Perlahan-lahan tapi pasti, aku mulai merasakan sakit yang menjalar di seluruh kujur tubuhku. Aku tak tahu pasti sakit apa ini. Namun aku hanya tahu kalau sakit yang kualami ini semakin menggila, menggerogoti cekingnya tubuhku ini. Aku mulai meringis kesakitan. Kupegang perutku! Rasanya sakit sekali. Entah, mungkin ini hanyalah sakit karena lapar berhari-hari tak makan.
Aku semakin merintih. Sungguh sakit. Sungguh sakit sekali. Air mata kelelakianku tak mampu kubendung. Itu adalah air mata kepedihanku dalam mengarungi kejamnya dunia ini. Air mata yang sebenarnya tak pantas aku keluarkan hanya untuk meratapi hidup.
Sesekali aku batuk. Mulanya aku mengangggap batuk itu hal yang wajar. Mungkin karena telah bermalam-malam tidur diterpa angin, jadi paru-paruku menjadi basah. Tapi, betapa terkejutnya aku, ketika genangan merah kental meluncur bersamaan batukku tadi. Aku batuk darah!
Kecemasan semakin menghantui diriku. Aku masih penasaran dan semakin bertanya-tanya sakit apakah yang aku derita?
“Semoga sakit ini hanya sakit biasa saja dan akan segera hilang bersamaan waktu yang terus berjalan.”
Saat itu memang sudah cukup pagi. Kalau kumelihat condongnya sinar mentari sepertinya saat itu sudah sekitar pukul sembilan.
“Ya! Itu adalah waktu yang cukup lama untuk kulalui.”
Aku terus meringis kesakitan. Aku menangis mengiba. Tapi tiada seorang pun yang peduli pada keberadaanku. Padahal, aku tahu disekitarku banyak orang-orang yang sedang lalu lalang, silih berganti naik dan turun dari bus kota. Tapi mereka tak peduli akan rintihanku. Akupun juga tak mau berharap pada mereka.
“Sekarang ini zaman edan, orang-orang sudah sibuk mengurusi diri mereka masing-masing.”
Ya! Aku memang seorang gelandangan. Jadi tak pantas aku mendapat iba.
Kesadaranku semakin jauh. Kurasa sakit yang melandaku dengan begitu dahsyatnya semalam sudah melumpuhkan syaraf-syarafku. Tubuhku juga masih membeku. Bahkan kini tubuhku juga mulai membiru. Aku terus bergulat dengan sakit itu. Berulang kali kucoba membolak-balikkan tubuhku untuk melawan rasa sakitku. Namun apa daya, aku tak punya tenaga.
Samar-samar seorang wanita berkerudung biru perlahan mendekatiku. Diberikannya aku sepotong roti. Mungkin ia tahu kalau aku kelaparan. Namun sungguh sayang, ketulusan hatinya tak mampu aku balas dengan etika selayaknya. Roti pemberiannya tak sanggup kugubris. Aku sudah tak sanggup memikirkan apapun termasuk roti itu. Yang kurasa hanyalah sakit dan sakit saja.
Melihatku yang tak merespons apa-apa, wanita itupun meletakkan roti yang diberikannya di samping tubuhku. Lalu ia perlahan pergi meninggalkan pucatnya tubuhku ini.
Aku batuk lagi, kali ini darah yang keluar cukup banyak. Lebih banyak dari yang tadi. Orang-orang  yang ada di sekitarku tampaknya merasa jijik dengan batukku itu. Mereka berhamburan kesana-kemari. Mencari posisi yang cukup jauh dari tempatku.
“Jijik! Jijik! Ya! Wajar saja kalau mereka merasa jijik kepadaku”
Tubuhku semakin lemah tak berdaya. Aku juga semakin hilang kesadaran. Sayup-sayup kudengar suara seorang wanita yang berkata pada teman lelakinya.
“Aduh, kasihan sekali orang itu! Ayo tolonglah dia!”
“Ya! Kita harus bagaimana lagi? Kita kan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mau dibawa ke rumah sakit, siapa yang akan menanggung biayanya? Lagian, sebentar lagi kitakan ada jam kuliah, nanti kita terlambat”
Mendengar ucapan itu, aku sedikit bergembira. Ya! Aku bergembira karena setidaknya masih ada yang peduli dengan nasibku.
“Aku sungguh bahagia”
“Tuhan, Engkau memang Maha Pengasih lagi Penyayang pada hamba-Mu. Karena itu kasihanilah aku dan masukkan aku ke surgamu dengan rahmatmu.”
Tubuhku semakin lemah. Aku sungguh tak berdaya.
“Biarlah, akan kuhabiskan waktuku bersama sakit ini.”
Angin semilir, menghembus ke arahku. Sungguh sejuk sekali. Daun-daun berguguruan dari dahan pohon yang berada di samping halte bus kota. Pun deru mesin kendaraan turut menghias hariku melalui detik-detik tarikan nafasku.

No comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!