Cerpen ini pernah dimuat di My Story Metro Riau
Syahidku di Halte Bus Kota
Oleh
Alamsari
Udara
malam itu begitu menusuk sampai-sampai menggigilkan badanku. Kesendirianku
hanya bertemankan malam yang tak kunjung padam. Sunyi senyap, sesekali diiringi
oleh nyaringnya deru mesin kendaraan yang melintas tepat di depan tempat aku
berbaring untuk beristirahat sejenak melepas penat dan letih setelah berjalan
seharian.
Sakit
yang menyusup di tubuhku sedikit demi sedikit mulai kurasa. Sungguh begitu
menyiksa. Hanya tabah dan tegar saja yang kupunya sebagai modal bagiku
mengarungi detik-detik perjalananku di dunia fana ini.
*******
Malam
itu, kuhempaskan ragaku di sebuah halte bus kota. Keletihan yang menyertai
langkahku dalam mengarungi kerasnya jalanan kota ini telah menuntunku untuk
beristirahat sejenak melepaskan pegalnya jantung betisku.
“Ya!
Mungkin malam ini aku akan tidur di sini.”
Gulitanya
malam turut menemani peraduanku. Tak ada seorang pun juga di sana. Hanya aku
sendiri. Ya! Hanya aku yang masih setia menemani gulitanya malam. Mengiringi
lantunan nada-nada sepi dan hanya aku
yang masih setia mendengarkan bisikan angin yang berpesan syahdu padaku.
Aku
menghela nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kubaringkan tubuhku yang sudah tak
bertenaga ini di atas tempat duduk halte itu. Dingin rasanya karena tempat
duduknya terbuat dari semen berlapis marmer putih berdebu. Kepalaku kusandarkan
di atas sebuah bontel. Ya! Itu adalah bontel bajuku; satu-satunya harta
berharga yang masih kumiliki. Di dalamnya ada dua lembar baju yang sudah sobek
di bagian ketiaknya. Ada juga celana jeans yang sudah kusam warnanya. Sebuah
pasta gigi dan tak lupa sepasang sandal butut yang sudah hamper putus talinya.
Malam
itu, aku merasa sangat kesepian. Namun kulawan kesepian itu dengan sisa
ketegaran yang kumiliki.
“Aku
harus tegar.”
“Ini
kota metropolitan, hanya orang-orang yang tegar sajalah yang mampu bertahan.”
Hembusan
angin kurasa semakin menggigilkan tubuhku. Kumencoba mendekap tubuhku dengan
kedua tanganku. Kaki yang tadinya selonjoran, kini kutarik.
“Semoga
tubuhku tak terlalu menggigil.” Pikirku.
Namun
dingin yang mendekapku masih enggan menjauh. Tubuh yang memang sudah dingin
semakin menjadi dingin sampai-sampai tubuhku seolah-olah mati rasa. Namun aku
harus tetap bertahan.
“Kau
harus tegar Alif; Kau harus tegar.” Aku terus menyemangati diriku sendiri
berharap mampu melewati pahitnya kehidupan malam ini.
Kumentap
redup ke atas langit. Terlihat bentangan alam raya yang begitu luas
mengangkasa. Bintang-bintang kerlap-kerlip bertebaran memenuhi langit. Bulan
memancarkan sinarnya sehingga bumi sedikit terang olehnya.
“Maha
Suci Engkau Tuhanku.” Ucapku takjub atas kemegahan mahakarya Tuhanku.
Aku
tahu, Tuhan tak pernah alfa memandang; Tak pernah luput mengawasi hamba-hambanya. Begitu pula padaku,
Tuhan tak pernah ragu memandangku dengan penuh kasih dan sayang walau sering
aku yang terkadang lupa dan berpaling pada-Nya.
Malam
itu kurasa akan menjadi malam yang begitu panjang untuk kulalui. Namun,
detik-detik waktu terus bergulir; Saat waktunya tiba pasti mentari akan
menyambut pagiku dengan sinar indahnya.
********
Mataku
masih terpejam. Namun aku masih bisa merasakan kaki, tangan, dan tubuhku yang
membeku. Aku pun juga tahu kalau saat itu, mentari pagi telah menyeruak dari persemayamannya.
Ingin rasanya kumembuka mata; menyambut datangnya sang mentari. Tapi tenaga
yang kumiliki tak cukup lagi membuatku mampu menggerakkan kedua kelopak mataku.
Semenjak aku terusir dari gubukku, sudah tiga hari aku tak makan. Ya! Aku
terusir dari rumahku. Rumah yang sudah reyot dengan mudah diluluhlantakkan oleh
gagahnya mesin buldoser.
“Katanya
sih biar kota ini menjadi lebih bersih dan rapi.”
“Tapi
bukan begitu caranya.”
Mereka
tak tahu, rumah-rumah itu; yang mereka anggap ilegal dan kumuh adalah
satu-satunya tempat bernaung bagi orang-orang tak berdaya sepertiku.
Orang-orang lemah seharusnya dilindungi dan diayomi. Itu merupakan tugas utama
pemerintah. Katanya orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara tapi
nyatanya orang-orang seperti kami malah dibuang. Apakah memang sudah kodratnya
yang kuat menindas yang lemah. Mungkin pula sudah takdirnya orang-orang
pinggiran seperti aku dan yang lainnya diabai dan dilupakan. Apakah?
“Ah….Sudahlah
aku bingung memikirkannya.” Namun yang jelas aku dan yang lainnya adalah kaum
yang terzolimi.
Sakit
itu! Sakit yang mendera malamku kala itu, kini perlahan kembali kurasa.
Perlahan-lahan tapi pasti, aku mulai merasakan sakit yang menjalar di seluruh
kujur tubuhku. Aku tak tahu pasti sakit apa ini. Namun aku hanya tahu kalau
sakit yang kualami ini semakin menggila, menggerogoti cekingnya tubuhku ini.
Aku mulai meringis kesakitan. Kupegang perutku! Rasanya sakit sekali. Entah,
mungkin ini hanyalah sakit karena lapar berhari-hari tak makan.
Aku
semakin merintih. Sungguh sakit. Sungguh sakit sekali. Air mata kelelakianku
tak mampu kubendung. Itu adalah air mata kepedihanku dalam mengarungi kejamnya
dunia ini. Air mata yang sebenarnya tak pantas aku keluarkan hanya untuk
meratapi hidup.
Sesekali
aku batuk. Mulanya aku mengangggap batuk itu hal yang wajar. Mungkin karena
telah bermalam-malam tidur diterpa angin, jadi paru-paruku menjadi basah. Tapi,
betapa terkejutnya aku, ketika genangan merah kental meluncur bersamaan batukku
tadi. Aku batuk darah!
Kecemasan
semakin menghantui diriku. Aku masih penasaran dan semakin bertanya-tanya sakit
apakah yang aku derita?
“Semoga
sakit ini hanya sakit biasa saja dan akan segera hilang bersamaan waktu yang
terus berjalan.”
Saat
itu memang sudah cukup pagi. Kalau kumelihat condongnya sinar mentari sepertinya
saat itu sudah sekitar pukul sembilan.
“Ya!
Itu adalah waktu yang cukup lama untuk kulalui.”
Aku
terus meringis kesakitan. Aku menangis mengiba. Tapi tiada seorang pun yang
peduli pada keberadaanku. Padahal, aku tahu disekitarku banyak orang-orang yang
sedang lalu lalang, silih berganti naik dan turun dari bus kota. Tapi mereka tak
peduli akan rintihanku. Akupun juga tak mau berharap pada mereka.
“Sekarang
ini zaman edan, orang-orang sudah sibuk mengurusi diri mereka masing-masing.”
Ya!
Aku memang seorang gelandangan. Jadi tak pantas aku mendapat iba.
Kesadaranku
semakin jauh. Kurasa sakit yang melandaku dengan begitu dahsyatnya semalam sudah
melumpuhkan syaraf-syarafku. Tubuhku juga masih membeku. Bahkan kini tubuhku
juga mulai membiru. Aku terus bergulat dengan sakit itu. Berulang kali kucoba
membolak-balikkan tubuhku untuk melawan rasa sakitku. Namun apa daya, aku tak
punya tenaga.
Samar-samar
seorang wanita berkerudung biru perlahan mendekatiku. Diberikannya aku sepotong
roti. Mungkin ia tahu kalau aku kelaparan. Namun sungguh sayang, ketulusan
hatinya tak mampu aku balas dengan etika selayaknya. Roti pemberiannya tak
sanggup kugubris. Aku sudah tak sanggup memikirkan apapun termasuk roti itu.
Yang kurasa hanyalah sakit dan sakit saja.
Melihatku
yang tak merespons apa-apa, wanita itupun meletakkan roti yang diberikannya di
samping tubuhku. Lalu ia perlahan pergi meninggalkan pucatnya tubuhku ini.
Aku
batuk lagi, kali ini darah yang keluar cukup banyak. Lebih banyak dari yang
tadi. Orang-orang yang ada di sekitarku
tampaknya merasa jijik dengan batukku itu. Mereka berhamburan kesana-kemari.
Mencari posisi yang cukup jauh dari tempatku.
“Jijik!
Jijik! Ya! Wajar saja kalau mereka merasa jijik kepadaku”
Tubuhku
semakin lemah tak berdaya. Aku juga semakin hilang kesadaran. Sayup-sayup
kudengar suara seorang wanita yang berkata pada teman lelakinya.
“Aduh,
kasihan sekali orang itu! Ayo tolonglah dia!”
“Ya!
Kita harus bagaimana lagi? Kita kan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mau dibawa
ke rumah sakit, siapa yang akan menanggung biayanya? Lagian, sebentar lagi
kitakan ada jam kuliah, nanti kita terlambat”
Mendengar
ucapan itu, aku sedikit bergembira. Ya! Aku bergembira karena setidaknya masih
ada yang peduli dengan nasibku.
“Aku
sungguh bahagia”
“Tuhan,
Engkau memang Maha Pengasih lagi Penyayang pada hamba-Mu. Karena itu
kasihanilah aku dan masukkan aku ke surgamu dengan rahmatmu.”
Tubuhku
semakin lemah. Aku sungguh tak berdaya.
“Biarlah,
akan kuhabiskan waktuku bersama sakit ini.”
Angin
semilir, menghembus ke arahku. Sungguh sejuk sekali. Daun-daun berguguruan dari
dahan pohon yang berada di samping halte bus kota. Pun deru mesin kendaraan
turut menghias hariku melalui detik-detik tarikan nafasku.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentarnya ya! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan!